03/07/21

Mengganti Hewan Kurban dengan Uang [by Afif Muhammad]


image

Sampai saat ini kondisi perekonomian kita belum juga membaik. Bahkan, di saat kita sedang melakukan perbaikan-perbaikan dalam bidang ekonomi, dan telah memperlihatkan titik-titik terang, tiba-tiba kita dihadapkan kembali pada ancaman resesi yang lebih besar. Mungkin, yang sedikit membedakan kondisi saat ini dengan kondisi sebelumnya adalah bahwa masyarakat sudah sangat terbiasa dengan itu semua. Mereka sudah tidak ambil pusing soal harga minyak mentah di pasaran dunia, tidak peduli pada kondisi dan situasi politik yang berkembang. Tidak peduli pada apa yang terjadi di gedung DPR/MPR.

Ketika Ramadan tiba, mereka menjalani puasa dengan tenang, lalu ber-Lebaran dengan ceria dan mudik dengan motor kreditan. Apa lagi yang harus dipikirkan? Jalani saja semuanya dengan senang hati. Sekalipun begitu, bukan berarti bahwa keadaan mereka oke-oke saja. Kalau sekadar untuk makan, dengan selembar uang sepuluh ribu pun jadi. Akan tetapi, mencari yang sepuluh ribu itulah persoalannya. Sulitnya bukan main!

Lebaran telah lewat dengan seluruh keceriaannya, dan insya Allah, Iduladha akan tiba. Hewan kurban akan disembelih dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Lalu saya teringat peristiwa sepuluh tahun silam, saat krisis ekonomi baru mulai melanda negeri kita. Saat itu, seperti juga hari ini, sudah mendekati Idul adha.

Salah seorang kawan saya yang sehari-harinya menjabat sebagai ketua pada suatu bagian yang berurusan dengan pengabdian kepada masyarakat, atas inisiatifnya sendiri melakukan semacam survei. Survei itu berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang pembagian hewan kurban, karena dia memang langganan menjadi ketua pelaksana pembagian daging kurban setiap Iduladha. Dalam survei yang dia lakukan terhadap calon penerima daging kurban, karib saya tersebut mengajukan pertanyaan, “Pilih mana, daging kurban atau uang?” Ternyata semuanya menjawab, “Lebih suka uang.”

Setiap Idul adha instansi kawan saya itu memang menyelenggarakan pembagian daging kurban. Dulu, rata-rata setiap tahun instansinya menyembelih sekitar sepuluh ekor sapi, yang dagingnya kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar. Tahun ini mudah-mudahan juga seperti itu. Dulu, ketika harga beras belum mahal, pembagian daging kurban mereka terima dengan senang hati. Akan tetapi, ketika saat ini mendapatkan uang sepuluh ribu demikian sulitnya, saya pun teringat lagi pada hasil “survei” kawan saya itu. Lalu saya mengajak beberapa kawan untuk mendiskusikannya lagi. Semacam majlis mudzakarah tiba-tiba terbentuk.

Sebagian dari kawan-kawan yang terlibat diskusi, dengan penuh antusias mengatakan bahwa uang yang nanti akan dibelikan sapi, sebaiknya dibagikan dalam bentuk uang saja. Salah seorang di antara kami bahkan sempat membuat kalkulasi kasar. Jika harga seekor sapi sekarang ini sekitar Rp 10.000.000,00 maka sepuluh ekor sapi akan berharga Rp100.000.000,00. Bukan main besarnya! Kami sempat tercenung dengan jumlah itu. Hitung saja. Kalau dibagikan kepada 1.000 orang, masing-masing orang bisa menerima Rp 100.000,00. Kalau dikurangi menjadi 500 orang, tiap orang mendapat Rp 200.000,00. Dengan uang itu mereka dapat membeli beras 10 kg, elpiji dua tabung kecil, ikan asin, tahu, tempe, dan sayur untuk seminggu, atau membeli buku anak mereka di SMP, sebab sekalipun ada BOS, toh mereka tetap harus membeli buku.

Akan tetapi, belum selesai kawan saya itu melanjutkan argumennya dengan detail-detail lainnya, seorang kawan yang lain dengan tidak kalah semangatnya membantah. Dia mengatakan bahwa hal seperti itu tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun Sunah. Oleh karena itu, hukumnya bidah. Lagi pula, kata dia, ada hikmah tertentu yang terdapat dalam penyembelihan binatang kurban itu. Kalau kita ganti dengan uang, kita kehilangan nilai-nilai sakral dalam penyembelihan hewan kurban.

Kawan yang tadi mengajukan pendapat agar sapi diganti dengan uang, mengajukan argumen balasan, “Bukankah zakat fitrah dapat diganti dengan uang, dan uang tersebut bebas digunakan untuk membeli sesuatu yang diinginkan mustahiknya?” “Kalau itu kan ada keterangannya,” kata
kawan tadi menjawab. Diskusi semakin hangat, dan hingga kini belum selesai. Dengan demikian, tulisan ini mendahului hasil akhir mudzakarah tersebut. Akan tetapi, dalam diskusi tersebut sudah terlihat tanda-tanda bahwa jalan tengah akan ditempuh, menyembelih sebagian binatang kurban dan mengganti sebagian lainnya dengan uang.

Diskusi kawan-kawan tersebut mengingatkan saya pada pendapat, kalau saya tidak salah, Prof. Dr. Atho` Mudhar (mantan Rektor IAIN Yogya) yang dimuat majalah Tempo lebih dari 15 tahun yang lalu. Saat itu Pak Atho` mengatakan, sebaiknya binatang kurban itu diganti saja dengan
uang, dengan alasan lebih praktis dan bersih. Karena alasan Pak Atho` simpel sekali, diskusi kawan-kawan tersebut menggoda saya untuk “berdiskusi sendiri” dengan membuka-buka beberapa kitab fikih dengan kemampuan saya yang cekak.

Kitab-kitab fikih, lazimnya, secara rinci mengemukakan tentang hukum menyembelih kurban, jenis-jenis binatang yang boleh dijadikan kurban, waktu penyembelihan, hingga sifat-sifat binatang yang akan disembelih.

Akan tetapi, tidak ada satu pun literatur yang saya baca menjelaskan tentang boleh tidaknya binatang sembelihan itu diganti dengan uang atau barang lainnya. Memang ada sedikit isyarat ke arah itu, tetapi kualitas riwayatnya dinyatakan dha`if (lemah). Riwayat tersebut menuturkan bahwa Ikrimah pernah diberi uang dua dirham oleh Ibnu `Abbas untuk membeli daging, dengan pesan, “Terhadap orang yang bertemu denganmu (dan menanyakan ihwal daging ini), katakan kepadanya bahwa ini adalah (daging) kurban Ibn `Abbas” (Ibn Rusy, Bidayat Al-Mujtahid, I, halaman: 429).

Mohon segera digarisbawahi, bahwa dalam riwayat di atas Ibn Abbas tidak menyerahkan uangnya sebagai ganti zakatnya, melainkan untuk dibelikan daging, dan dianggap daging tersebut sebagai daging kurban. Seandainya kualitas hadis ini sahih, barangkali diskusi kawan-kawan tadi tidak akan terjadi. Riwayat lainnya, juga dengan kualitas dha`if, mengatakan bahwa Bilal pernah berkurban dengan seekor ayam jantan. Karena nilai kedua riwayat tersebut dha`if, kita mesti melupakannya sebagai sandaran pendapat.

Hikmah kurban adalah memberi konsumsi “istimewa” kepada kaum miskin di hari yang istimewa pula (Iduladha). Jika dilihat dari sini, fungsinya mirip dengan zakat fitrah. Akan tetapi, mirip bukan berarti sama. Sebab, jika sama, tentunya Islam mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok saja, misalnya kurma atau beras. Sementara, dalam segi hukum juga ada perbedaan. Jika zakat fitrah hukumnya wajib, maka hukum kurban diperselisihkan. Sebagian ulama mengatakan wajib, dan sebagian lainnya mengatakan Sunah Muakadah. Dasar dari perbedaan pendapat ini adalah hadis-hadis Rasulullah saw, yang memang dapat ditafsirkan
secara berbeda.

Dengan perintah menyembelih binatang ternak, dan bukan berkurban dengan kurma atau bahan makanan lainnya, di situ jelas terdapat hikmah tertentu. Hikmah tersebut, antara lain, karena di dalam penyembelihan binatang kurban tersebut terkait persoalan “nyawa” atau “jiwa” (nafs, jamaknya anfus). “Nyawa” atau “jiwa” ini mengingatkan kita pada kewajiban kita untuk berjuang di jalan Allah dengan harta dan “jiwa” yang berulang-ulang disebutkan di dalam Alquran.

Hikmah lainnya adalah simbol penyembelihan nafsu-nafsu hewani: angkara murka, zalim, rakus, tamak, tidak kenal aturan, kejam, dll. Dengan demikian, berkurban dengan menyembelih binatang ternak, berarti latihan berkurban dengan jiwa, atau simbol dari penyembelihan nafsu-nafsu hewani. Akan tetapi, ini kan cuma hikmah, dan menyebut hal itu sebagai hikmah, hanyalah kira-kira. Sebab, yang tahu tentang hikmah yang sebenarnya hanyalah Allah SWT.

Kurban yang berasal dari bahasa Arab, “qurban” itu sendiri memiliki arti lafziah “pendekatan”, yakni pendekatan kepada Allah. Usaha mendekatkan diri tersebut disebut taqarrub, dan orang-orang yang berhasil menempati kedudukan yang dekat dengan Allah disebut nuqarrabîn (orang-orang yang didekatkan kepada Allah).

Mendekatkan diri kepada Allah memang tidak dengan benda atau materi, melainkan dengan amal yang diridai-Nya. Jika amal tersebut membutuhkan sesuatu sebagai sarana, misalnya kurban dengan menyembelih hewan maka hewan tersebut hanya merupakan alat, bukan substansi dari pengurbanan itu sendiri.

Hikmah bukan tujuan hukum, dan seandainya memang hikmah tersebut yang ingin dituju maka kurban memang tidak akan mencapai hikmahnya tanpa ada penyembelihan. Akan tetapi, bukankah Allah berfirman di dalam Alquran Surah Al-Hajj ayat 38, “Tidak akan sampai kepada Allah dagingnya, dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu sekalian.”

Ayat ini secara sharih (jelas) menyatakan bahwa bukan darah yang ditumpahkan, dan bukan pula daging yang dibagikan, yang menjadi tujuan dari kurban itu, melainkan “pengurbanan” itu sendiri. Maknanya, tidak ada artinya menyembelih hewan kurban dan membagi-bagikan dagingnya, jika “semangat” dari penyembelihan tersebut tidak dapat dicapai. Singkat kata, menurut ayat di atas, tak pentinglah darah dan dagingnya. Yang penting berkurbannya.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa salah satu hikmah menyembelih hewan kurban adalah “latihan” menghadapi darah. Akan tetapi, harus cepat-cepat diingatkan bahwa menyembelih sendiri hewan kurban tidak wajib hukumnya sehingga orang yang berkurban boleh-boleh saja mewakilkan penyembelihan hewan kurbannya kepada orang lain, dan itu banyak terjadi.

Di Arab Saudi, baik binatang kurban maupun hadyu, diserahkan oleh orang yang mengeluarkannya kepada lembaga khusus yang dibentuk untuk itu sehingga mereka cukup hanya membayarkan uangnya. Hewan kurban dan hadyu-nya tidak mereka sembelih sendiri, bahkan tidak pernah mereka lihat. Ini berarti bahwa dalam pengurbanan hewan tersebut, orang yang mengeluarkan hewan kurban tidak menjalani “latihan” penyembelihan itu.

Oleh karena itu, baik Ibn Abbas maupun Bilal, menurut riwayat di atas, mengorbankan daging seharga dua dirham dan seekor ayam. Seakan-akan, bagi Ibn Abbas dan Bilal, tak pentinglah bentuk materialnya. Yang penting semangat berkurbannya.

Untuk yang mempunyai cukup uang, berkurbanlah secara sempurna, sedangkan yang tidak mempunyai uang cukup, berkurbanlah dengan mencontoh Ibn Abbas dan Bilal. Jangan tidak berkurban.

Di situ terdapat pula peluang untuk mengganti hewan kurban dengan uang atau beras. Akan tetapi, itu baru peluang. Jika ingin dimanfaatkan, silakan diskusi kawan-kawan saya dilanjutkan, dan jika tidak, ya kita hentikan sampai di sini.

Semuanya terpulang pada ijtihad para ulama yang lebih mumpuni, sedangkan tulisan ini hanyalah pandangan yang didasarkan pada ilmu yang sangat cekak. Wallahualam bissawab.***

Prof Afif Muhammad
 adalah Guru Besar Pemikiran Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

(Tulisan pernah dimuat dalam H.U. Pikiran Rakyat, 28 November 2008)