28/12/21

Azan Hayya Ala Khairil Amal dalam Kitab Sunni dan Pengakuan Umar [by Muhammad Bhagas]

image

Ada yang berpendapat bahwa lafaz hayya 'ala khairil 'amal dalam adzan/azan adalah bid'ah yang dibuat oleh Syi'ah. Karena bid'ah, apalagi buatan Syi'ah, maka hal itu terlarang dalam hal ibadah. Benarkah demikian?

Dalam kitab hadits di sisi Sunni yakni Sunan Al-Kubra karya Al-Baihaqi (w. 458 H), jld. 1, hlm. 792, riwayat no. 1991 dan no. 1992, berikut:

١٩٩١- أخبرنا أبو عبد الله الحافظ وأ بو سعيد بن أبي عمرو قالا ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا يحيى بن أبي طالب ثنا عبد الوهاب بن عطاء ثنا مالك بن أنس عن نافع قال : كان بن عمر يكبر في النداء ثلاثا ويشهد ثلاثا وكان أحيانا إذا قال حي على الفلاح قال على أثرها حي على خير العمل...

Dengan sanad sampai kepada Nafi' yang berkata bahwa Ibn 'Umar... terkadang jika telah mengucapkan hayya 'alal falah maka setelahnya ia mengucapkan hayya 'ala khairil 'amal...

١٩٩٢ - كما أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنا أبو بكر بن إسحاق ثنا بشر بن موسى ثنا موسى بن داود ثنا الليث بن سعد عن نافع قال : كان بن عمر لا يؤذن في سفره وكان يقول حي على الفلاح وأحيانا يقول حي على خير العمل...

Dengan sanad kepada Nafi' yang berkata bahwa Ibn 'Umar... jika telah mengucapkan hayya 'alal falah, terkadang setelahnya mengucapkan hayya 'ala khairil 'amal.


Status riwayat

Pada catatan kaki riwayat no. 1991, muhaqqiq kitab yakni Islam Manshur 'Abdul Hamid berkomentar: صحيح لغيره  (Shahih lighairih). Sedangkan pada catatan kaki riwayat no. 1992, muhaqqiq kitab berkomentar: صحيح (Shahih).

Riwayat shahih tersebut menunjukkan bahwa sahabat Nabi Muhammad Saw, yakni Ibn 'Umar ra mengucapkan lafaz "hayya 'ala khairil 'amal" ketika adzan. Apakah mereka akan menghujat bahwa Ibn 'Umar ra berbuat bid'ah? Karena itu, jika mereka menghujat Syi'ah hanya karena lafaz adzan tersebut, maka itu sama seperti menghujat sahabat Nabi Saw juga. Kita berlindung kepada Allah Ta'ala dari kecutian nalar.

PENGAKUAN UMAR 

Pada hari Sabtu, 9 Mei 2020, kemarin dalam kajian redaksi azan pada masa awal Islam (abad ke-1 H sampai abad ke-3 H) via Zoom yang diselenggarakan IJABI Muda, ada Ustadz Mustamin Al-Mandary bertanya mengenai literatur yang menyebutkan pengakuan Umar bin Khaththab bahwa dialah yang melarang hayya 'ala khairil 'amal. Karena kemarin saya tidak sempat tampilkan buktinya di layar, maka pagi ini dibuatkan postingan khusus. 

Ini jawabannya. Pengakuan 'Umar itu dinukil oleh Sa'duddin al-Taftazani (712 H - 793 H), ulama fiqih Syafi'i dan teolog besar Asy'ari, dalam kitabnya berjudul Syarah al-Maqashid, jilid 5, halaman 283: 

و قد كان معترفا بشرعية المتعتين في عهد النبي صلى اللّه عليه (وآله) و سلّم على ما روي عنه أنه قال: ثلاث كن على عهد رسول اللّه صلى اللّه عليه (وآله) و سلّم أنا أنهى عنهن و أحرمهن، و هي متعة النساء، و متعة الحج، و حي على خير العمل.

“Dahulu keabsahan dua mut'ah dikenal pada zaman Nabi Saw berdasarkan apa yang diriwayatkan dari 'Umar, ia berkata: Ada tiga hal di masa Nabi Saw yang kemudian aku melarangnya yaitu nikah mut'ah, haji tamattu, dan hayya 'ala khairil 'amal.” 

Sebenarnya, Al-Taftazani menukil itu dalam rangka menjawab soal mut'ah. Tentu ia jawab dengan pendapat masyhur di kalangan Sunni. Poin yang menarik adalah: 

Pertama, awalnya Al-Taftazani mengakui tiga hal ini (termasuk hayya 'ala khairil 'amal) merupakan masalah ijtihadiyyah. Ijtihadiyyah itu bukan ushul, tapi masalah furu' yang padanya terbuka pintu ijtihad bagi ulama/tokoh yang berkompeten dalam bidang itu. Jadi, apa maksudnya? Al-Taftazani menganggap memang demikianlah ijtihad 'Umar yang dianggap berkompeten, wajar-wajar saja. 

Kedua, Al-Taftazani tidak mendha'ifkan apalagi menilai palsu riwayat yang dinisbatkan pada 'Umar. Jadi, secara tidak langsung ia ikut mengakui hayya 'ala khairil 'amal memang dikumandangkan pada masa Nabi Saw. 

Ratusan tahun sebelum al-Taftazani, keterangan semakna telah disampaikan oleh Yahya bin al-Husain al-Rasi (245 H - 298 H), pemimpin pertama Zaidiyyah di Yaman, dalam kitab al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram, jilid 1, halaman 70: 

وقد صح لنا أن حي على خير العمل كانت على عهد رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يؤذن بها، ولم تطرح إلا في زمن عمر بن الخطاب، فإنه أمر بطرحها. وقال: أخاف أن يتكل الناس على ذلك منها

“Bagi kami, telah shahih bahwa dahulu hayya 'ala khairil 'amal dikumandangkan pada masa Rasulullah Saw. Dan redaksi itu tidak pernah dipotong (dihapus) kecuali setelah dimulainya zaman 'Umar, sebab dialah yang memerintahkan untuk menghapusnya. Ia berkata: Aku khawatir manusia bergantung atau bersandar sepenuhnya pada shalat.” Maksudnya, 'Umar khawatir karena redaksi itu bermakna shalat adalah amal yang terbaik (khairil 'amal) sehingga menyebabkan umat Islam tidak lagi melakukan jihad/usaha-usaha lain, cukup bergantung pada shalat.

Bahwa 'Umar berijtihad seperti itu tidaklah sekedar opini ulama klasik, tetapi berdasarkan riwayat-riwayat bersanad lengkap di kalangan mereka. Salah satunya tercatat dalam kitab berjudul al-Adzan bi Hayya 'Ala Khairil 'Amal karya Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Ali al-'Alawi (367-445 H), seorang ahli hadits dan faqih Zaidiyyah asal Kufah. Pada halaman 133, ia menukil perkataan Imam Zaid bahwa pada masa Umar-lah redaksi adzan itu dilarang. Pada halaman 111, ia menukil dari ayahnya Zaid, Imam 'Ali Zainal 'Abidin as, bahwa 'Umar khawatir manusia terhalangi dari jihad, maka ia memerintahkan mereka untuk tidak mengumandangkannya lagi. 

Dan yang paling menarik, pada halaman 104 ada riwayat dari anaknya 'Umar yang mengakui ijtihad bapaknya itu. Syamsuddin al-Dzahabi itu seorang murid Ibnu Taimiyah. Dalam Siyar A'lam al-Nubala', juz 17, halaman 637, menilai penulis kitab tersebut “tsiqah” (terpercaya) dan menggelarinya “hafizh”. Selain itu, al-Hafizh al-Shuri (w. 441 H) yang juga ulama besar di masanya berguru pada penulis kitab tersebut. 

Riwayat-riwayat mengenai sebab dihapusnya juga tercatat dalam sumber Syi'ah Imamiyah, yaitu kitab 'Ilal al-Syara'i' karya Syaikh Shaduq, halaman 368. Saya kira cukup sampai sini. Sepakat atau tidak, kembali pada masing-masing kita. Bagi yang tidak sepakat, anggap saja ini khazanah, wawasan perbandingan untuk saling memahami, bukan menghakimi. Terima kasih. *** (Ustadz Muhammad Bhagas)