10/04/23

Tadabbur al-Quran (15): Zaluman dan Jahula [by KH Dr Kholid Al Walid]

 اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh. (Al-Aḥzāb [33]:72) 

Dua karakteristik manusia yang dinyatakan Allah SWT yaitu zaluman dan jahula

Secara tekstual agak membingungkan karena di satu sisi Allah SWT menurunkan amanah dan di sisi lain hanya manusia yang menerima amanah tersebut, namun kemudian Allah SWT mengecam manusia sebagai zalim dan bodoh. 

Kata 'Zaluman' dan 'Jahula' adalah bentuk Mubalaghah dari Zulm dan Jahl yang mengindikasikan karakteristik tersebut sering meliputi manusia. Zulm selain bermakna kegelapan juga merupakan lawan dari kata Adl (Keadilan) dan Jahl merupakan lawan kata Ilm (Ilmu). Adl dan Ilm merupakan dua sifat kesempurnaan. 

Fakhrurrozi dalam tafsir al-Kabir menjelaskan tentang dua hal yang berbeda. Pertama, pemeberian Amanah Allah kepada manusia dalam hal ini dipersonifikasi oleh Adam as dan yang kedua bahwa kecenderungan manusia untuk berlaku zalim dan berkhianat pada amanah yang diembannya juga lalai dan tidak sadar akan amanah Allah yang ditujukan karena kehadirannya sebagai manusia. 

Amanah yang dimaksud bukanlah pilihan, tapi karena kedudukan Adam as yang memiliki potensi untuk memikulnya sehingga kemudian dibebankan pada Adam as dan keturunannya. Sayangnya terhadap amanah ini banyak keturunan Adam yang berlaku zalim karena sikap khianatnya dan berlaku bodoh karena melalaikannya. 

Berbeda dengan penafsiran filosofis Ibn Arabi bahwa hanya manusia yang mampu mengemban amanah karena hanya manusia yang memiliki sifat Zulm dan Jahl. Hanya Zulm (Kegelapan) yang dapat menerima Nur (Cahaya) dan hanya Jahl (Kebodohan) yang dapat menerima Ilm (Pengetahuan). Bagi Ibn Arabi manusia adalah makhluk yang menyempurna, melalui amanat itu manusia mengetahui jalan menuju kesempurnaan dirinya. Menarik bahwa Ibn Arabi mencoba melepaskan kontradiksi makna pada ayat tersebut. 

Namun saya melihat ada satu pemaknaan lainnya. Amanat yang Allah turunkan yang merupakan agama ini hanya mampu dipikul oleh manusia. Kenapa? Karena hanya manusia yang betul-betul mampu menghamba kepada Allah dengan penuh kesadaran. Karakteristik seorang hamba adalah zalim lagi bodoh bertolak belakang dengan kesempunaan Allah SWT. Dialah Cahaya segala cahaya : 

۞ اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ 

 Allah (pemberi) cahaya (pada) langit dan bumi. (An-Nūr [24]:35) 

Allah SWT yang Maha berilmu: 

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ اسْتَوٰٓى اِلَى السَّمَاۤءِ فَسَوّٰىهُنَّ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ ۗ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ

Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah [2]:29)

Jadilah hamba yang tiada dihadapan yang Maha Ada karena dengan itu Engkau menjadi Khalifah di muka bumi. *** (bersambung)

 KH Dr Kholid Al-Walid adalah Dosen Filsafat STAI Sadra Jakarta dan Pengasuh Kajian Tasawuf MISYKAT  TV