21/05/24

Mushaf Ali bin Abi Thalib [by Munim Sirry]

Ketika melihat beberapa komentar yang menanyakan tentang keberadaan mushaf ‘Ali bin Abi Thalib dan apakah Syiah mempunyai al-Quran berbeda, saya menulis status hendak menulis overview tentang mushaf imam ‘Ali. Namun, sebelum saya betul2 menulis overview itu, sudah ada yang menuduh saya akan menyebarkan keraguan terhadap mushafnya kaum Muslimin. Komentar itu saya hapus dari wall Fb karena orang seperti ini tidak bertujuan berdiskusi. Ya hanya suka nuduh! 

Selama terlibat dalam berbagai kontroversi, saya melihat pola yang sama: Orang yang tak bisa berargumen secara solid biasanya suka melemparkan tuduhan, menyesat-sesatkan, bahkan menggunakan bahasa preman untuk menyebarkan kebencian. Reaksi pertama saya melihat tuduhan seperti komentar tadi ialah kenapa imannya begitu rapuh terancam dengan pembahasan tentang mushaf ‘Ali. Sebegitu lemahkah imannya sehingga merasa terancam bahkan sebelum saya menulis apa pun?
 
Pola lain yang saya pelajari dari berbagai kontroversi ialah, biasanya, orang yang cepat merasa terancam ini berasal dari golongan yang merasa pemahaman Islamnya paling benar sendiri. Karena merasa memiliki kebenaran, maka mereka menyalahkan dan menyesatkan siapapun yang berbeda. Jangankan orang seperti saya, mereka yang merasa paling benar akan menyesatkan senior seperti Prof. Quraish Shihab atau Kiai Said Agil. Ini memang ironi! Merasa paling benar, tapi takut pada pandangan yang berbeda dengannya. Kalau betul merasa paling benar, ngapain takut.
 
Ketakutan atau merasa terancam dgn pembincangan tentang mushaf imam ‘Ali memperlihatkan miskinnya bacaan. Sebab, mushaf ini sudah dibicarakan oleh banyak ulama Muslim hingga sekarang. (Orang yang sinis, biasanya, juga bilang bahwa apa yang saya tulis tidak baru. Emang, siapa yang bilang baru?) Hampir bisa dipastikan, para ulama Muslim yang menulis tentang sejarah al-Quran atau mushaf akan menyinggung soal mushaf imam ‘Ali ini.
 
Prof. Abdul Shabur Syahin dalam bukunya “Tarikh al-Quran,” misalnya, merasa perlu berbicara panjang lebar tentang mushaf imam ‘Ali dibandingkan mushaf2 lain, seperti mushaf Ibnu Mas’ud atau Ubay bin Ka’ab. Prof. Syahin merupakan seorang ulama konservatif di Mesir, yang berkontribusi menggiring opini publik melawan pemikiran almarhum Nasr Hamid Abu Zayd, hingga yang disebut terakhir dibawa ke pengadilan.
 
Syahin menghabiskan 18 halaman membicarakan mushaf ‘Ali. Seperti diduga, yang dilakukannya ialah hendak meminimalkan signifikansi mushaf ini dan menegaskan keunggulan mushaf ‘Utsman. Saya akan kembali soal ini di bagian akhir nanti. Yakni, bagaimana pengaruh sektarianisme dalam wacana superioritas mushaf, terutama di kalangan Sunni dan Syi’ah.
 
Yang ingin ditegaskan di sini ialah bagaimana mushaf imam ‘Ali disebutkan dalam sumber-sumber Muslim, baik Syi’ah maupun Sunni. Riwayat-riwayat yang menyebutkan ‘Ali menulis mushaf setelah baginda Rasulullah wafat itu direkam dalam sumber Syi’ah dan Sunni dengan berbagai versi. Sekadar untuk menyebut beberapa: “Ushul al-Kafi” oleh Kulaini, “tafsir al-Qummi,” “Majma’ al-bayan” oleh Tabarsi (Syi’ah); “Kitab al-mashahif” oleh Ibn Abi Dawud, “al-Burhan” oleh Zarkasyi, “al-Iqthan” oleh Suyuti (Sunni). Riwayat paling detail dapat ditemukan dalam “Tarikh al-Ya’qubi.”
 
Dikisahkan, ketika Rasulullah meninggal, ‘Ali tidak terlibat dalam percekcokan soal kepemimpinan pasca-Nabi, yang akhirnya berakhir dengan pengangkatan Abu Bakar. ‘Ali sibuk mengurus jenazah Nabi, dan setelah itu fokus mengumpulkan al-Quran. Ada beragam riwayat tentang inisiatif ‘Ali mengumpulkan al-Quran ini, baik riwayat yang dituturkan sendiri atau dinarasikan orang lain.
 
Yang dituturkan sendiri, misalnya, ‘Ali mengatakan tidak akan melepaskan jubahnya hingga dia mengumpulkan al-Quran dalam sampul. Riwayat lain melibatkan Abu Bakar yang, karena tidak melihat ‘Ali, menyuruh orang supaya ‘Ali menghadap kepadanya. Abu Bakar menanyakan kenapa ‘Ali tidak memberikan bai’at. “Kamu tidak suka dengan kepeminpinan saya ya?” ‘Ali menceritakan bahwa dia disibukkan oleh aktivitas menghimpun al-Quran di rumah Nabi.
 
Dalam berbagai riwayatkan disebutkan, mushaf yang dihimpun oleh ‘Ali didasarkan pada urutan turunnya surat-surat al-Quran. Riwayat ini disebutkan oleh banyak ulama, seperti Ibn Sa’ad, Ibn Jizzi, atau Suyuti. Namun, melihat susunan mushaf ‘Ali yang dirangkum oleh Ya’qubi tidak tampak bahwa mushaf imam ‘Ali disusun berdasarkan urutan waktu.
 
Dicatat dalam Tarikh Ya’qubi, mushaf ‘Ali dibagi dalam 7 bagian dan masing-masing bagian terdiri beberapa surat. Misalnya, bagian pertama terdiri dari surat al-Baqarah, Yusuf, al-‘Ankabut,al- Rum, Luqman, dan seterusnya; bagian kedua terdiri dari Ali Imran, Hud, al-Hijr, al-Ahzab, dan seterusnya; bagian ketiga terdiri dari surat al-Nisa’, al-nahl, al-mu’minun, Yasin, dan seterusnya dan seterusnya.
 
Mereka yang mempelajari mushaf-mushaf non-Utsmani tidak akan kaget dengan ini. Sebab, urutan surat-surat dalam berbagai mushaf memang berbeda. Misalnya, dalam mushaf Ibnu Mas’ud tidak terdapat surat al-Fatihah dan 2 surat terakhir. Juga, urutan surat-suratnya berbeda dengan apa yang dikenal dgn “rasm ‘Utsmani.”
 
Reaksi para ulama pra-modern terhadap mushaf Ibn Mas’ud cukup beragam. Ada yang merangkainya dalam lingkup perbedaan pendapat apakah susunan surat dalam alquran itu berdasarkan ketentuan Ilahi atau hasil ijtihad. Ada juga yang bersikap dismisif. Misalnya, al-Razi mengatakan tak mungkin mushaf Ibn Mas’ud tidak mencakup surat al-Fatihah dan dua surat terakhir. Riwayat yang menyatakan demikian pasti batil (naqlun bathilun).
 
Terlepas dari semua itu, keberadaan mushaf ‘Ali juga menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ulama-ulama Sunni umumnya menganggap tidak ada karena ‘Ali sendiri mengakui mushaf ‘Utsman.  Riwayat yang beredar luas di kalangan ulama Sunni ialah bahwa ‘Ali pernah meng-copy mushaf ‘Utsman ketika ia berada di pucuk pimpinan (menggantikan ‘Utsman yang terbunuh).
 
Yang menarik ialah kesaksian Ibnu Nadim, seorang bibliografer, yang mengaku pernah melihat penggalan mushaf imam ‘Ali. Dalam kitabnya, al-Fihrist, ia mengatakan melihatnya di kediaman Abu Ya’la Hamzah al-Hasani dengan tulisan tangan imam ‘Ali sendiri. Katanya, “Banu Hasan mewarisi penggalan mushaf ‘Ali tersebut.” Namun demikian, pengakuan Ibnu Nadim ini sulit diverifikasi karena dia hidup lebih dari dua abad setelah ‘Ali.
 
Perlu juga dicatat, di sebagian kalangan ulama Syi’ah ada keyakinan bahwa naskah imam ‘Ali, yang biasanya disebut “jami’ah,” masih tersimpun. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan imam Ja’far al-Shadiq yang direkam dalam berbagai sumber Syi’ah. “Jami’ah” (dan juga “Jifr”) diriwayatkan ditulis di atas kulit binatang paling bagus. Ini keyakinan yang faktanya tak ada orang yang bisa menunjukkan di mana keberadaannya sekarang. Buktinya, kaum Syi’ah sepanjang masa menggunakan mushaf ‘Utsmani.
 
Keyakinan umum lain di kalangan Syi’ah ialah bahwa mushaf imam ‘Ali ini bukan hanya mushaf pertama yang ditulis setelah Nabi wafat, melainkan juga memiliki sejumlah keunggulan. Misalnya, mushaf itu disertai catatan tentang “asbab nuzul” (sebab turunnya wahyu) dan penjelasan “nasikh mansukh” (ayat-ayat yang diabrogasi). Disebutkan pula, mushaf imam ‘Ali didasarkan pada bacaan asal yang diturunkan pada Nabi. Makanya, kata ulama-ulama Syi’ah, seandainya yang diterima adalah mushaf ‘Ali, niscaya tidak akan ada perbedaan bacaan. Perlu diketahui, ulama-ulama Syi’ah umumnya menolak perbedaan qira’at (bacaan) yang diakomodasi oleh kalangan Sunni.
 
Pertanyaan yang menarik dimunculkan ialah: Kenapa mushaf ‘Ali atau peran ‘Ali dalam pengumpulan al-Quran lenyap dalam narasi kaum Sunni? Walaupun, tentu saja, pertanyaan ini dapat dijawab dari berbagai perspektif (termasuk soal konflik kepemimpinan di awal sejarah Islam), salah satu jawabannya terkait dgn kepentingan ideologis atau sektarianisme. Sementara kalangan Syi’ah mengagung-agungkan mushaf imam ‘Ali, kalangan Sunni berusaha meminimalkannya.
 
Ini mengingatkan saya pada kontroversi besar di Mesir yang melibatkan penulis Sunni yang mempertanyakan kenapa nama ‘Ali tak terdengar dalam sejarah pengumpulan al-Quran pada masa Abu Bakar dan ‘Utsman. Penulis itu bernama Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya yang sangat kontroversial karena mempersoalkan hadits mutawatir (katanya, “ndak ada itu hadits mutawatir!), berjudul “Adhwa’ ‘ala al-sunnah al-muhammadiyah.” Menarik dicatat, buku ini diberi kata pengantar oleh Thaha Husain, yang juga tak sepi dari kontroversi (ide memang tak lepas dari kontroversi!).
 
Seperti terlihat dalam SS, Abu Rayyah mengaku gagal paham bagaimana mungkin peran imam ‘Ali tak terlihat dalam sumber-sumber Muslim awal. Justeru yang disebut-sebut ialah orang-orang yang derajat pengetahuannya di bawah level ‘Ali. Apa gerangan yang menyebabkan ‘Ali disingkirkan dari proses pengumpulan al-Quran? Padahal, ‘Ali merupakan penulis wahyu yang memiliki kedekatan khusus dengan Nabi.
 
Reaksi terhadap karya Abu Ruyyah luar biasa negatif. Sejumlah buku ditulis untuk mengutuknya. Serangan terhadapnya bersifat personal. Musthafa Siba’i, misalnya, menuduh Abu Rayyah dengan segala sifat tercela yang tak pantas dilancarkan oleh seorang ulama. Dia merasa tak cukup dengan membalas karya Abu Rayyah dengan karya tandingan, melainkan menghakiminya dengan berbagai cercaan. Anehnya, ternyata reaksi bergaya preman dicontoh banyak orang. Padahal, jika tidak setuju, ya cukup tunjukkan kelemahan pandangan Abu Rayyah secara argumentatif.
 
Saat menulis status ini, saya coba cari di Google tulisan tentang Abu Rayyah oleh kawan-kawan di Indonesia, ternyata saya temukan beberapa artikel yang menelitinya cukup serius. Sebagian besar menyorot soal pandangannya tentang hadits, termasuk peran Abu Harairah. Saya cukup gembira sebagian penulis di Indonesia melihat kontroversi Abu Rayyah secara tenang dan konstruktif. Sayang tak ada yang menyentuh pandangannya tentang wahyu dan pengumpulan al-Quran.
 
Hemat saya, pertanyaan Abu Rayyah soal tersembunyinya peran ‘Ali dlm proyek mushaf al-Quran layak direnungkan. Kita boleh tidak setuju dengan jawabannya. Merenungkan pertanyaan tak akan mengerus iman kita. Sebaliknya, saya yakin, mencari jawaban atas pertanyaan tersebut akan menyadarkan kita betapa persoalan2 ideologis dan sektarian tak bisa dinafikan untuk menjelaskan kenapa satu versi sejarah keluar sebagai pemenang di kemudian hari (won the day)! Kawan-kawan yang sudah membaca “Rekonstruksi Islam Historis” tak akan merasa asing dengan pernyataan ini. Insya Allah, poin ini saya elaborasi dalam status lain.
 
Nah, sekarang, apakah setelah membaca status ini iman Anda menjadi lemah? I don’t think so. *** (Prof Munim Sirry)