12/01/22

Mengkritisi Buku Panduan MUI (9): Penyimpangan Paham Tentang Mengafirkan Sahabat Nabi

image

Setelah mengulas tentang tahrif Alquran, sekarang kita beralih pada bagian kedua tuduhan MMPSI tentang penyimpangan syiah, yakni mengafirkan sahabat Nabi. Tuduhan ini juga bukan propaganda baru bagi syiah, walaupun tentunya lagi-lagi tuduhan ini berdasarkan data yang manipulatif dan disinformatif.

Ketahuilah, Islam melarang keras mengafirkan dengan sembarangan siapapun kaum muslimin, bukan hanya para sahabat. Apakah menurut MMPSI, boleh mengafirkan kaum muslimin selain sahabat, seperti yang dilakukan oleh kaum takfiri, yang tercium juga aromanya pada buku MMPSI ini. Jadi pembatasan kepada sahabat, tidak pada tempatnya dalam ajaran Islam. Karena itulah syiah tidak sembarangan melakukan pengkafiran kepada sesama kaum Muslimin—apalagi kepada para sahabat— tanpa dalil-dalil yang valid dan otentik, bukan berdasarkan pada dugaan, prasangka atau propaganda semu. Karena syiah menyadari mengafirkan seseorang akan memiliki konsekuensi hukum yang luar biasa dalam agama Islam.

Karena itu, sebelum mengulas tuduhan-tuduhan dan penyelewengan yang dilontaran oleh MMPSI kepada syiah terkait persoalan sahabat, disini dijelaskan sedikit pandangan umumnya syiah tentang sahabat Nabi saaw.

Secara umum sahabat Rasulullah saw didefenisikan sebagai orang yang berjumpa dengan Rasulullah saaw dalam keadaan Islam hingga meninggalnya. Dalam persepektif ahlu sunnah, telah ittifaq bahwa seluruh sahabat adalah Adil (ash-shahabiy kulluhum udul). Keadilan para sahabat ini telah mendapat justifikasi dari Allah swt (Q.S. Al-Fath : 18, 29; At-Taubah : 100, 117; al-Anfal : 74; al-Hasyr : 8-10) dan Rasul-Nya sehingga tidak perlu dilakukan analisa jarh wa ta’dil. (Lihat Abu Hatim al-Razi, Taqdimah al-Ma’rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil; Ibnu Hajar Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah; Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits).

Adapun menurut syiah tidak semua sahabat itu adil. Alquran dalam banyak ayatnya disamping memuji para sahabat Nabi saaw, juga mengecam perilaku sebagian sahabat, bahkan menegaskan adanya kefasikan dan kemunafikan di tengah-tengah sahabat (lihat Q.S. al-Munafikun : 1; Q.S. at-Taubah : 45-47, 101 dan lainnya). Misalnya, Allah berfirman :

وَ مِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرابِ مُنافِقُونَ وَ مِنْ أَهْلِ الْمَدينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفاقِ لا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلى عَذابٍ عَظيمٍ

 “Dan diantara orang-orang arab badui yg ada disekitarmu itu ada orang-orang munafik. Dan diantara ahli Madinah sangat keterlaluan kemunafikannya. Engkau tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Nanti mereka Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.”  (Q.S. at-taubah : 101).

Kemudian, Rasul saaw sendiri dalam  riwayatnya menyebutkan bahwa diantara sahabatnya ada yg munafik sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim berikut ini:

قال النبي صلى الله عليه و سلم في أصحابي اثنا عشر منافقا فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط 

Nabi SAW yang bersabda “Di antara para sahabatku (fi Ashabi) terdapat dua belas orang munafik. Delapan diantaranya tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum… (H.R. Muslim juz 4 no 2779)

Perhatikan hadits di atas Nabi menggunakan kalimat FI ASHABI (sahabatku) dan dikatakan munafik, dan tidak mungkin orang munafik dihukumi adil. Hanya saja, siapa saja sahabat yg munafik itu? syiah tidak menyebutkan siapa-siapa saja yang termasuk munafik tersebut. Tetapi, sesuai nas itu bahwa terdapat sahabat yg munafik dan ada yg tidak adil. Orang munafik sudah pasti tidak adil, tetapi org yang tidak adil belum tentu dihukumi munafik.

Karenanya, memandang keadilan seluruh sahabat—atau sebaliknya mencela apalagi mengkafirkan semuanya—tidaklah sesuai dengan syariat maupun akal (Murtadha ‘Askari,Ma’alim al-Madrasatain jil.1. hal. 130-135; Ahmad Husain Ya’qub, Nazhariyah Adalah as-Shahabah). Bagi syiah, para sahabat seperti umumnya manusia lain, mereka harus dinilai dari sisi perbuatan mereka dalam menjaga dan melaksanakan ajaran Islam, bukan dari sisi persahabatan dan perjumpaan mereka dengan Nabi saaw.

Dengan mengetahui pandangan syiah, maka tubuhan MMPSI bahwa syiah mengafirkan sahabat Nabi saaw tidaklah memiliki makna kecuali sekedar propaganda dan prasangka yang dilontarkan saja. Tapi untuk memuluskan propagandanya dan agar terlihat ilmiah, MMPSI berusaha mengutip karya-karya ulama syiah, meskipun harus melakukan manipulasi, baik pemotongan riwayat atau penyelewengan makna. Berikut ini kita ulas tuduhan-tuduhan MMPSI.

Tentang Khalifah Abu Bakar dan Umar

MMPSI menuduh syiah mengafirkan Khalifah Abu Bakar dan Umar sebagai berikut :

“Ni’matullah al-Jazairi (ulama syi’ah) berkata, “ Bahwa sayyidina Abu Bakar dan sayyidina Umar tidak pernah beriman kepada Rasulullah saw sampai akhir hayatnya”. Tak puas sampai disitu, ia juga memfitnah Abu Bakar r.a telah berbuat syirik dengan memakai kalung berhala saat shalat di belakang Nabi dan bersujud kepadanya”. (MMPSI, hal. 32-33)

Tanggapan :

Tuduhan kepada Sayid Ni’matullah al-Jazairi ini didasarkan MMPSI pada kitab al-Anwar an-Nu’maniyah juz 1 hal. 53 dan 45. Buku ini pada dasarnya bukanlah buku yang menjadi rujukan muktabar dalam syiah. Terlepas dari hal itu, jika kita periksa dan cermati tuduhan tersebut tidak tepat dialamatkan kepada Sayid Ni’matulah. Seperti biasanya, di sini MMPSI melakukan memanipulasi informasi. Al-Jazairi tidak pernah mengatakan di dalam kitabnya al-Anwar al-Nu’maniyah 1/53 bahwa “Abu Bakar dan Umar tidak pernah beriman kepada Rasulullah hingga akhir hayatnya”.

Adapun pernyataan MMPSI bahwa al-Jazairi di dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah juz 1 hal. 45 memfitnah “Abu Bakar ra telah berbuat syirik dengan memakai kalung berhala saat shalat dibelakang Nabi dan bersujud kepadanya”, juga tidak benar, karena pernyataan itu tidak memiliki sanad yang valid sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Lagian, hal itu dinisbahkan atas penjelasan al-Baladzuri di dalam kitab tarikhnya. Berikut kita kutipkan pernyataan Sayid Ni’matullah al-Jazairi :

“Dan janganlah heran dengan hadis ini, yang diriwayatkan melalui khabar khusus, bahwa “Abu Bakar shalat dibelakang Rasulullah sembari patung berhala tergantung dilehernya dan bersujud untuknya”. Keterangan makna ini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Baladzury yang merupakan ulama jumhur (ahlussunnah) dalam kitab tarikhnya…” (Anwar Nu’maniyah juz 1, hal. 45)

Dengan penjelasan ini maka tuduhan MMPSI kepada Sayid Ni’matullah al-Jazairi tidak lah tepat karena kutipan dari kitab al-Anwar al-Nu’maniyah di atas jelas terlihat bahwa MMPSI melakukan manipulasi data dengan memotong redaksi kitab al-Anwar al-Nu’maniyah. *** (Candiki Repant)