1. Fallacy of Dramatic Instance
Fallacy of dramatic instance berawal dari kecendrungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Yaitu penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Kerancuan berfikir semacam ini banyak terjadi dalam berbagai telaah sosial. Argumen yang overgeneralized ini biasanya agak sulit dipatahkan. Karena, satu dua kasus rujukan itu seringkali diambil dari pengalaman pribadi seseorang (individual’s personal experience). Contoh supaya lebih memudahkan kita memahami fallacy of dramatic instance ini:
Joni
adalah mahasiswa UGM. Dedi adalah mahasiswa UGM. Joni berperangai jelek. Jadi, dedi
juga berperangai jelek (karena keduanya mahasiswa UGM).
Kadang-kadang,
overgeneralisasi terjadi dalam pemikiran kita saat memandang seseorang,
sesuatu, atau tempat. Padahal, orang itu selalu berubah, sehingga hal yang sama
tidak bisa kita terapkan pada orang yang sama terus menerus dan selamanya.
2. Fallacy of Retrospective Determinism
Istilah
yang panjang ini sebetulnya hanya untuk menjelaskan kebiasaan orang yang
menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara
historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari
sejarah yang cukup panjang. Determinism selalu saja lebih memperhitungkan masa
silam ketimbang masa mendatang.
Misalnya,
ada sesuatu masalah sosial yang bernama pelacuran alias prostitusi. Sebagian
orang mengatakan: “mengapa pelacuran itu harus dilarang? Sepanjang sejarah
pelacuran itu ada dan tidak bisa dibasmi. Oleh karena itu, yang harus kita
lakukan bukan menghilangkan pelacuran, melainkan melokalisasikannya agar
terhindar dari dampak-dampak yang tidak diinginkan. Karena, sekali lagi,
pelacuran itu sudah ada sepanjang sejarah.”
Dengan
demikian, cara berfikir ini selalu mengambil acuan “kembali ke belakang” atau
“sistem”. Karena itu, kesalahan berfikir ini disebut restrospective (melihat
kebelakang). Determinisme restrospektif adalah upaya kembali pada sesuatu yang
seakan-akan sudah ditentukan (determined) di dalam sejarah yang telah
lalu.
Contoh
lainnya adalah perkara kemiskinan. Orang yang berpendirian seperti di atas,
akan mengatakan bahwa kemiskinan sudah ada sepanjang sejarah. Dari dulu ada
orang kaya dan miskin. Mengapa orang sekarang mesti rebut-ribut memberantas
kemiskinan. Padahal, kemiskinan tidak bisa diberantas, sudah ada sejak jaman
dahulu. Ini juga termasuk kesalahan berfikir karena selalu melihat ke belakang.
3. Post Hoc Ergo Propter Hoc
Istilah
ini berasal dari bahasa latin: post artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo
artinya karena itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian.
Singkatnya: sesudah itu-karena itu-oleh sebab itu. Jadi, apabila ada peristiwa
yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita menyatakan bahwa yang pertama
adalah sebab dari yang kedua. Misalnya si X datang sesudah Y. Maka X dianggap
sebagai sebab dan Y sebagai akibat. Alasannya apa? Karena, urut-urutan waktunya
begitu. Misalkan ada orangtua yang lebih mencintai seorang anak dibandingkan
anak yang lain hanya karena orangtua itu kebetulan naik pangkat atau ekonominya
menjadi menjadi lebih stabil setelah memperoleh anak kesayangannya itu.
Dulu,
ketika zaman anak pertama, orangtua ini sengsara. Maklum, kehidupan berkembang.
Tapi, malangnya, yang kena getah malah anak pertama. Orangtua itu berkata: “
ini anak membawa sial. Dulu, zaman anak ini saya sengsara. Nah, anak saya yang
terakhir ini yang membawa keberuntungan.” Lagi-lagi, itu adalah contoh post hoc
ergo propter hoc.
4. Fallacy of Misplaced Concretness
Misplaced
berarti salah telak. Concretness artinya kekonkretan. Jadi, kesalahan berfikir
ini muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang pada hakikatnya abstrak.
Misalnya, mengapa orang Islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita
tidak bisa menjalankan syariat Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab:
“kita hancur karena kita berada pada satu sistim jahiliyah. Kita hancur karena
ada thagut yang berkuasa.” Tetapi, sistem jahiliyah dan thagut itu adalah dua
hal yang abstrak. Sehingga jika jawabannya seperti itu, lalu apa yang bisa kita
lakukan? Kita harus mengubah sistem! Tetapi, “siapa” system itu? Sistem yang
abstrak itu kita pandang sebagai sesuatu yang konkret.
Dalam
istilah logika, kesalahan seperti di atas itu disebut reification. Yaitu menganggap real sesuatu yang sebetulnya hanya berada dalam pikiran kita.
5. Argumentum ad Verecundiam
Berargumen
dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu.
Kata-kata di atas memang abstrak semua: otoritas; relevan; dan ambigu. Otoritas
itu sesuatu atau seseorang yang sudah diterima kebenarannya secara mutlak seperti Al-Qur’an dan Rasulullah Saw.
Ada
orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri.
Dengan mengutip suatu peristiwa dalam sirah (perjalanan) Nabi, dia bermaksud
membenarkan paham dan kepentingannya sendiri. Padahal, peristiwa yang
dikutipnya itu belum tentu relevan dengan maslah atau tema yang sedang
dibincangkan.
6. Fallacy of Composition
Fallacy
of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti
juga berhasil untuk semua orang.
Sebagai
contoh, di suatu kampung ada yang memelihara ayam. Ayam petelur negeri itu berhasil
mendatangkan uang banyak bagi pemiliknya. Melihat itu, dengan serta-merta
penduduk kampung menjual sawahnya untuk dijadikan modal bisnis ayam petelur.
Akibatnya, semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan
dan membanjirnya pasokan barang.
7. Circular Reasoning
Circual
reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar; menggunakan konklusi
(kesimpulan) untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi
semula. Misalnya, terjadi perdebatan tentang rendahnya prestasi intelektual
umat Islam di Indonesia. Orang pertama membuktikan konklusi tersebut dengan
membandingkan presentase mahasiswa Islam dan non-Islam pada program S2 dan S3. Hasilnya, makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin menurun tren kehadiran
orang Islam di dalamnya. Padahal, di tingkat sekolah dasar, presentase siswa
Muslim adalah 95 %. Kesimpulanya, umat Islam di Indonesia menduduki posisi
intelektual yang rendah.
Lalu,
orang kedua menyatakan bahwa hal ini terjadi lantaran orang-orang Islam
diperlakukan tidak sederajat dengan orang-orang non-Islam. Jadi, ada perlakuan
diskriminatif terhadap orang-orang Islam. Sampai-sampai, orang-orang Islam
sering dicoret dari program-program pendidikan tinggi.
Orang
pertama menjawab lagi, “Ya, orang Islam itu dicoret karena orang meragukan
kemampuan intelektualnya.” Dengan jawaban ini, kita kembali pada pokok masalah.
Akhirnya, perdebatan itu terus-menerus berputar di sekitar itu. Inilah yang
disebut circular. ***
SUMBER dari karya Dr Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1999)