05/11/20

Tujuh Kesalahan Berpikir (Fallacy)

1. Fallacy of Dramatic Instance

Fallacy of dramatic instance berawal dari kecendrungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Yaitu penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Kerancuan berfikir semacam ini banyak terjadi dalam berbagai telaah sosial. Argumen yang overgeneralized ini biasanya agak sulit dipatahkan. Karena, satu dua kasus rujukan itu seringkali diambil dari pengalaman pribadi seseorang (individual’s personal experience). Contoh supaya lebih memudahkan kita memahami fallacy of dramatic instance ini:

Joni adalah mahasiswa UGM. Dedi adalah mahasiswa UGM. Joni berperangai jelek. Jadi, dedi juga berperangai jelek (karena keduanya mahasiswa UGM).

Kadang-kadang, overgeneralisasi terjadi dalam pemikiran kita saat memandang seseorang, sesuatu, atau tempat. Padahal, orang itu selalu berubah, sehingga hal yang sama tidak bisa kita terapkan pada orang yang sama terus menerus dan selamanya.

2. Fallacy of Retrospective Determinism

Istilah yang panjang ini sebetulnya hanya untuk menjelaskan kebiasaan orang yang menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Determinism selalu saja lebih memperhitungkan masa silam ketimbang masa mendatang. 

Misalnya, ada sesuatu masalah sosial yang bernama pelacuran alias prostitusi. Sebagian orang mengatakan: “mengapa pelacuran itu harus dilarang? Sepanjang sejarah pelacuran itu ada dan tidak bisa dibasmi. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan bukan menghilangkan pelacuran, melainkan melokalisasikannya agar terhindar dari dampak-dampak yang tidak diinginkan. Karena, sekali lagi, pelacuran itu sudah ada sepanjang sejarah.” 

Dengan demikian, cara berfikir ini selalu mengambil acuan “kembali ke belakang” atau “sistem”. Karena itu, kesalahan berfikir ini disebut restrospective (melihat kebelakang). Determinisme restrospektif adalah upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan (determined) di dalam sejarah yang telah lalu. 

Contoh lainnya adalah perkara kemiskinan. Orang yang berpendirian seperti di atas, akan mengatakan bahwa kemiskinan sudah ada sepanjang sejarah. Dari dulu ada orang kaya dan miskin. Mengapa orang sekarang mesti rebut-ribut memberantas kemiskinan. Padahal, kemiskinan tidak bisa diberantas, sudah ada sejak jaman dahulu. Ini juga termasuk kesalahan berfikir karena selalu melihat ke belakang. 

3. Post Hoc Ergo Propter Hoc

Istilah ini berasal dari bahasa latin: post artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo artinya karena itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Singkatnya: sesudah itu-karena itu-oleh sebab itu. Jadi, apabila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita menyatakan bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua. Misalnya si X datang sesudah Y. Maka X dianggap sebagai sebab dan Y sebagai akibat. Alasannya apa? Karena, urut-urutan waktunya begitu. Misalkan ada orangtua yang lebih mencintai seorang anak dibandingkan anak yang lain hanya karena orangtua itu kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi menjadi lebih stabil setelah memperoleh anak kesayangannya itu. 

Dulu, ketika zaman anak pertama, orangtua ini sengsara. Maklum, kehidupan berkembang. Tapi, malangnya, yang kena getah malah anak pertama. Orangtua itu berkata: “ ini anak membawa sial. Dulu, zaman anak ini saya sengsara. Nah, anak saya yang terakhir ini yang membawa keberuntungan.” Lagi-lagi, itu adalah contoh post hoc ergo propter hoc. 

4. Fallacy of Misplaced Concretness

Misplaced berarti salah telak. Concretness artinya kekonkretan. Jadi, kesalahan berfikir ini muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang pada hakikatnya abstrak. Misalnya, mengapa orang Islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita tidak bisa menjalankan syariat Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab: “kita hancur karena kita berada pada satu sistim jahiliyah. Kita hancur karena ada thagut yang berkuasa.” Tetapi, sistem jahiliyah dan thagut itu adalah dua hal yang abstrak. Sehingga jika jawabannya seperti itu, lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita harus mengubah sistem! Tetapi, “siapa” system itu? Sistem yang abstrak itu kita pandang sebagai sesuatu yang konkret.

Dalam istilah logika, kesalahan seperti di atas itu disebut reification. Yaitu menganggap real sesuatu yang sebetulnya hanya berada dalam pikiran kita. 

5. Argumentum ad Verecundiam

Berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu. Kata-kata di atas memang abstrak semua: otoritas; relevan; dan ambigu. Otoritas itu sesuatu atau seseorang yang sudah diterima kebenarannya secara mutlak seperti Al-Qur’an dan Rasulullah Saw. 

Ada orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri. Dengan mengutip suatu peristiwa dalam sirah (perjalanan) Nabi, dia bermaksud membenarkan paham dan kepentingannya sendiri. Padahal, peristiwa yang dikutipnya itu belum tentu relevan dengan maslah atau tema yang sedang dibincangkan. 

6. Fallacy of Composition

Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang.

Sebagai contoh, di suatu kampung ada yang memelihara ayam. Ayam petelur negeri itu berhasil mendatangkan uang banyak bagi pemiliknya. Melihat itu, dengan serta-merta penduduk kampung menjual sawahnya untuk dijadikan modal bisnis ayam petelur. Akibatnya, semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan dan membanjirnya pasokan barang. 

7. Circular Reasoning

Circual reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar; menggunakan konklusi (kesimpulan) untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula. Misalnya, terjadi perdebatan tentang rendahnya prestasi intelektual umat Islam di Indonesia. Orang pertama membuktikan konklusi tersebut dengan membandingkan presentase mahasiswa Islam dan non-Islam pada program S2 dan S3. Hasilnya, makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin menurun tren kehadiran orang Islam di dalamnya. Padahal, di tingkat sekolah dasar, presentase siswa Muslim adalah 95 %. Kesimpulanya, umat Islam di Indonesia menduduki posisi intelektual yang rendah. 

Lalu, orang kedua menyatakan bahwa hal ini terjadi lantaran orang-orang Islam diperlakukan tidak sederajat dengan orang-orang non-Islam. Jadi, ada perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Islam. Sampai-sampai, orang-orang Islam sering dicoret dari program-program pendidikan tinggi. 

Orang pertama menjawab lagi, “Ya, orang Islam itu dicoret karena orang meragukan kemampuan intelektualnya.” Dengan jawaban ini, kita kembali pada pokok masalah. Akhirnya, perdebatan itu terus-menerus berputar di sekitar itu. Inilah yang disebut circular. ***

SUMBER dari karya Dr Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999)