Sejumlah teman meminta saya untuk menuliskan pengalaman hijrahnya saya dari keyakinan semula (Islam-apa-adanya, istilah saya saja) menjadi Islam-yang-seharusnya. Beberapa kali saya menolak karena saya merasa benar-benar tidak pantas untuk dijadikan narasumber tema seperti itu. Apalah artinya saya, tak punya posisi apa-apa, bukan siapa-siapa juga. ‘Ala kulli hal, karena alasan tertentu akhirnya saya menuliskan hal ini.
Bahwa buku sebagai sumber ilmu dalam pengertian yang seriusnya—karena kalau sekadar membaca sejak SD setiap pulang saya selalu mampir ke rumah bibi (Bahasa Sunda untuk Tante) untuk membaca komik-komik kepunyaan sepupu saya—baru saya dalami setelah masuk SMA. Di usia SMA itu saya ikut dalam kegiatan Kelompok Studi Antar Pelajar (KSAP) di kota saya, T. Kami pengurus seksi rohani dari berbagai sekolah menengah mengikuti berbagai training yang diselenggarakan kelompok studi itu. Belakangan saya baru tahu bahwa kelompok tersebut merupakan bagian dari organisasi pelajar yang terkenal kontrarezim Soeharto.
Salah salah satu mentor training yang saya sukai adalah AA. Selain
memang panggilan untuk yang lebih tua di kultur Sunda adalah AA, itu pun pas
dengan namanya sendiri. Darinya kami mengenal para para pemikir Iran seperti
Murtadha Muthahhari, Ali Syariati, Ayatullah Khomeini dan yang lainnya.
Pemikirannya yang terbuka terhadap keragaman mazhab dan kritis atas kebijakan
pengurus pusat KSAP menjadikan dia digelari “Filsuf Abad Kegelapan”. Hal yang
tak lazim di dunia pergerakan saat di mana hampir semua organ pergerakan Islam
saat itu lebih banyak berkiblat ke Mesir, AA menawarkan kepada kami
gagasan-gagasan cerdas dan bernas Murtadha Muthahhari yang nota bene berpaham
Syi’ah Dua Belas Imam, satu golongan muslim yang selalu menjadi isu seksi dalam
politik dan sering menjadi korban persekusi pihak pembenci.
Sekalipun pemikiran dari Iran banyak dipakai dalam sesi pertrainingan
kelompok kami, saat itu saya merasa tidak harus mengkonversi keyakinan
Islam-apa-adanya saya dengan Islam-seharusnya. Argumentasi filosofis Muthahhari
tentang pentingnya tauhid, ilmu, kedudukan manusia, ataupun posisi agama
mengukuhkan kembali keberagamaan saya yang hanya “Islam turunan”, alias sekadar
Islam. Namun ketika membahas masalah imamah, keraguan menghantui keimanan saya.
Dengan dalil-dalil teologis dari dua mazhab besar Islam, Sunnah dan Syi’ah,
plus pembuktian filosofis urgensi imamah, saya tak bisa mengelak bahwa imamah
merupakan keniscayaan rasional. Karena
itu, ketika mengikuti level training selanjutnya dari kelompok studi di atas,
kami memberikan sumpah setia kami kepada pimpinan kelompok studi tersebut.
1996: Kelahiran Spiritual
Selesai menyelesaikan SMA, saya pindah ke kota B karena berhasil
diterima di sebuah PTN. Di sana saya bergabung kembali dengan kelompok studi
yang sama di B, yang pengurusnya para senior dari kota T, kota asal saya. Saya
dan teman-teman yang lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) indekos
di sebuah rumah, yang merupakan salah satu base
camp kelompok itu di kota B. Di kota inilah perkenalan saya dengan berbagai
aliran pemikiran semakin banyak. Khusus dalam aliran pemikiran keislaman—yang
sekarang disebut gerakan transnasional—pemikiran Wahabi berkompetisi dengan
Syi’ah. Wahabi yang literalis digandrungi oleh mereka yang asal habitatnya
sama. Sementara dari kalangan tradisional tertarik pada pemikiran Syi’ah yang—umumnya—lebih
filosofis dan sufistik. Setidaknya ini terlihat dalam karya-karya Muthahhari
dan Ayatullah Khomeini.
Penasaran dengan pembuktian teologis atas kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib secara khusus dan Ahlulbait secara umum menyusul wafatnya Nabi Muhammad
saw, akhirnya saya membaca secara intens karya Abdul-Husain Syarafuddin
al-Musawi yang bertajuk Dialog Sunnah-Syi’ah,
terbitan Mizan, tahun 1994. Saya menghabiskan waktu selama tiga harmal
untuk menuntaskan buku setebal 548 halaman. Mumpung saat itu lagi musim liburan semester
genap tahun 1996. Ibu saya sangat khawatir atas kondisi saya karena terus ngumpet di kamar. Akhirnya, selepas tiga hari itu Ibu
menanyakan buku yang saya baca. Saya jawab secara lugas, apa adanya sesuai yang
tertera di buku. Dua pertanyaan Ibu yang sampai sekarang saya masih ingat
adalah: Apakah Syi’ah melakukan upacara tahlilan atas arwah yang sudah
meninggal? Apakah Syi’ah melakukan doa kunut dalam salat Subuhnya?
Dua pertanyaan yang mungkin receh
ini sepertinya menjadi garis demarkasi bagi Ibu saya. Beliau trauma dengan
adiknya yang berpaham bahwa tahlilan itu bid’ah sehingga saat adik meninggal,
memang tidak ada acara tahlilan. Kata Ibu, “Seperti nguburin hewan mati saja.”
Ketika saya menjawab bahwa umat Syi’ah melakukan upacara tahlil dan
berdoa kunut di saat salat Subuh, bahkan berkunut di setiap salat, Ibu bilang,
“Kalau begitu kita seikhwan.” Untuk seusia Ibu, persoalan imamah atau kepemimpinan
mungkin terlalu rumit untuk dibahas sehingga beliau mengukur ke-ikhwan-an itu
dari dua hal tadi. Alhasil, Ibu memahami dan menghormati pilihan saya. Termasuk
saat saya menikah muda.
Efek membaca DSS berimbas
juga kepada pola interaksi saya dengan teman-teman KSAP lainnya. Saya lebih banyak
mengikuti kajian Syi’ah ketimbang rapat dan pertemuan dengan teman-teman KSAP
lainnya. Sempat saya “diadili” oleh mereka terkait dengan kegiatan saya
tersebut. Persoalan krusial yang kami mengalami deadlock di dalamnya adalah masalah imamah. Pada awalnya, sejak di
kota T, secara rasional kami menyepakati perlunya kehadiran seorang imam dan
keharusan untuk membaiatnya. Saat itu saya percaya bahwa baiat kepada imam akan
menyelamatkan saya dari ancaman sebuah hadis yang menyebutkan bahwa orang yang
tidak mengenal imam zamannya, maka matinya dia mati jahiliah.
Pemaknaan hadis itu menjadi berubah setelah saya melihat di kota B,
arus pemikiran yang mempersoalkan imamah itu begitu beragam. Dari sekian banyak
keragaman itu, perspektif Syi’ah lebih rasional dan dapat dipahami. Nah, titik
krusial itulah yang saya singgung dalam “pengadilan” tersebut. Mereka tak mampu
menjawab ketika saya mempertanyakan misdak (ekstensi) imam zaman sekarang itu
siapa. Mustahil kita memperjuangkan imamah dan menegakkan konsep kepemimpinan
tersebut tanpa ada misdaknya. Momen itu saya gunakan untuk menyinggung salah
satu kriteria imam universal (ingat ya, universal bukan kelas nasional) adalah
keturunan Nabi Ibrahim as, Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan
saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini)
tidak mengenai orang yang zalim".
Jadi sesuai janji Allah di atas hanya keturunan Ibrahim
yang tidak zalimlah yang berhak menjadi imam. Demikianlah seterusnya saya
sampaikan apa yang saya ketahui tentang imamah kepada mereka. Mereka hanya
diam. Entah karena masalah saya yang “murtad” dari kelompok tersebut, salah
seorang petinggi (menengah) mereka pernah berkata begini dalam suatu rapat,
“Ada dua hal yang kami tolak dari Syi’ah: imamah dan mut’ah.” Tetapi sebenarnya
pada praktiknya mereka sendiri melakukan isu pertama tadi dengan istilah yang
berbeda yakni: qiyadat al-‘ulama (kepemimpinan
ulama). Hemat saya, istilah tadi bukan lawan dari imamah melainkan lawan dari
konsep wilayah al-faqih.
Selain masalah imamah, yang sering jadi perdebatan saya dulu dengan
para senior KSAP adalah masalah fikih, khususnya bab salat. Saat itu ada
beberapa faksi. Faksi pertama, salat bukan hal yang wajib selama belum ada
pemerintahan Islam. Alasannya, Nabi melakukan salat di saat periode Madinah,
yakni saat sudah berdirinya Negara Islam Madinah. Dalam periode ini, kita cukup
melakukan salat malam saja sebagaimana Nabi memberikan contohnya. Faksi kedua,
salat tetap wajib. Hanya saja, karena kita masih sedang safar menuju
pemerintahan Islam, salatnya diqasar terus (!). Faksi ketiga, mereka yang
melaksanakan fikih ibadah berdasarkan habitat awal. Saya, yang pernah mengaji
di Persatuan Islam (Persis), akhirnya memadukan Fikih NU, sebagai akar
tradisional saya, dan Fikih Persis. Kelak setelah sedikit mendalami cara ibadah
Syi’ah, saya banyak melakukan kada salat karena kekeliruan beribadah sebelumnya
plus menjaga kemungkinan adanya salat yang tertinggal.
Imamah dan
Wilayah
Sebenarnya akar permasalahan dua hal di atas, yakni baiat pada imam
zaman dan ibadah salat terletak pada pengertian imam itu sendiri berikut
fungsinya. Mereka hanya mengambil makna imam dari aspek politik saja—walau
sebenarnya terbatas juga maknanya. Dalam pengantar buku “Mazhab Kelima”, Seyyed
Hossein Nasr menulis, “Pranata khas Syi’ah adalah imamah dan permasalahan
imamah tidak dapat dipisahkan dari permasalahan wilayah atau fungsi esoteris dalam menafsirkan rahasia-rahasia
batin Alquran dan syariat. Menurut kaum Syi’ah, pengganti Nabi Islam haruslah
orang yang tidak hanya memimpin umat dengan keadilan tetapi juga mampu
menafsirkan syariat dan makna esoterisnya … Seluruh etos Syi’ah berputar di
sekitar gagasan dasar tentang wilayah,
yang sangat dekat hubungannya dengan gagasan tentang kesucian (wilayah) dalam tasawuf. Di saat yang
sama, wilayah mengandung implikasi-implikasi tertentu pada level syariat karena
Imam, atau orang yang menangani fungsi wilayah,
juga merupakan penafsir agama bagi umat beragama, penuntun dan penguasa sahnya
(2013: 25-26).
Dengan kata lain, Nasr ingin mengatakan bahwa Imam, sebagaimana halnya
Nabi, dalam perspektif Syi’ah adalah seorang pemimpin politik dan pemimpin
spiritual (penafsir syariat dan rahasia-rahasia batin Alquran). Lantas apa yang
membedakan Nabi dan Imam jika keduanya adalah pemimpin politik dan spiritual?
Allamah Thabathabai (2013: 240) mengatakan bahwa kalau para nabi
menerima wahyu, maka para Imam adalah penjaga dan penafsirnya. Para nabi boleh
saja tiada, namun para wasinya harus selalu ada. Katanya, “… tidak perlu bagi
seorang nabi untuk selalu hadir di antara umat manusia. Namun, sebaliknya,
adanya Imam yang mengawal agama Allah harus terus menerus ada bagi manusia.
Masyarakat manusia tidak pernah kosong dari kehadiran seorang figur, yang dalam
ajaran Islam Syi’ah, disebut Imam, baik yang dikenal maupun tidak dikenal
(gaib).”
Lebih jauh tentang wilayah,
dengan mengikuti elaborasi Murtadha Muthahhari, Sayid Muhammad Radawi (2007:
91-92) menyebutkan empat dimensi wilayah.
Pertama, hak kecintaan dan ketakwaan (wila-e
mahabbah). Hak ini menempatkan kaum muslimin di bawah kewajiban untuk
mencintai Ahlulbait. Kedua, wilayah dalam bimbingan rohani (wila-e imamah). Hak ini mencerminkan
kekuasaan dan wewenang Ahlulbait dalam menuntun pengikutnya dalam urusan-urusan
spiritual. Ketiga, wilayah dalam bimbingan sosial-politik (wila-e ziamah). Dimensi
ini mencerminkan hak bahwa Ahlulbait harus menuntun kaum muslimin dalam
kehidupan sosial dan politik. Keempat, wilayah semesta (wila-e tasarruf). Dimensi wilayah ini mencerminkan kekuasaan yang
meliputi alam semesta yang menegaskan bahwa Nabi dan itrahnya telah dianugerahi
kekuasaan ini.
Dengan menggunakan matriks empat dimensi wilayah ini, Radhawi sampai pada kesimpulan bahwa hanya dalam dua
dimensi pertama, Syi’ah, Sufi dan Sunni bertemu (Hemat saya, dalam dimensi
ketiga, paling banter Sunni hanya menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai
Khalifah IV, dan sebagian Sunni menambahnya dengan Hasan bin Ali sebagai
Khalifah V, meski hanya tujuh bulan). Bagaimana dengan dimensi keempat atau
wilayah tasarruf? Sunni dan Sufi tidak sepakat dengan Syi’ah.
Tritunggal Salawat
Salah satu ajaran Islam yang menurut saya memiliki pengaruh luar biasa
dalam kehidupan adalah salawat. Akan tetapi saya beroleh pemahaman yang lebih
tajam dan hidup di saat mengikuti berbagai kajian di lingkungan para pencinta
keluarga Nabi ini. Di lingkungan Syi’ah, setiap kali penceramah menukil ayat, Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi, hai orang-orang yang beriman,
bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya, maka
akan terdengar gemuruh ucapan: Allahumma
shalli ‘ala Muhammad wa âli Muhammad sebanyak tiga kali, yang kali
ketiganya dipungkas dengan kalimat: wa
‘ajjil farajahum. Demikian juga apabila ada penceramah menyebut nama Nabi
“Muhammad” kontan para jamaah akan mengucapkan salawat. Termasuk jika ada satu
jamaah mengingatkan jamaah lainnya dengan mengucapkan “shallu ‘ala Muhammad wa
aali Muhammad”, serentak para hadirin mengucapkan salawat sempurna secara gegap
gempita.
Dalam ucapan salawat yang ringkas namun padat makna, Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa âli
Muhammad, ada ketunggalan dalam tiga realitas yang selalu terkait begitu
solid. Tiga realitas itu mencakup tauhid (Allahumma),
kenabian (Muhammad) dan imamah (âli Muhammad). Tauhid adalah seruan para nabi—dalam salawat
direpresentasikan oleh Muhammad—kepada umat manusia. Seruan mereka sebenarnya
hanyalah mengingatkan manusia karena pada fitrahnya manusia itu mengakui adanya
satu Tuhan, tetap fitrah itu tertutupi oleh debu-debu kejahilan dan dosa. Kenabian
adalah jembatan manusia menuju akhirat yang merupakan manifestasi (nama) Allah.
Para Imam dari keluarga Muhammad (âli
Muhammad) memangku posisi imamah dengan empat dimensinya.
Mengucapkan salawat sempurna berarti mengingatkan seorang Syi’ah akan
adanya tokoh-tokoh suci yang menjadi objek kecintaan yang hakiki setelah Allah.
Tanpa kecintaan kepada Ahlulbait (aali
Muhammad), seseorang dianggap nonmuslim. Mengucapkan salawat sempurna
berarti mengingatkan seorang Syi’ah akan adanya tokoh-tokoh suci yang bisa
menjadi mediator dan konektor antara dia dengan Allah. Saat bersalawat sempurna
sesungguhnya seorang Syi’ah sedang bertawasul agar dosa-dosanya diampuni,
hajat-hajatnya dipenuhi dan seterusnya. Mengucapkan salawat sempurna berarti
mengingatkan seorang Syi’ah akan adanya tokoh-tokoh suci yang menjadi pemimpin
sosial-politik, baik secara de facto
maupun de jure yang tolok ukur
baginya dalam menerapkan keadilan sebagai misi para nabi di masyarakatnya.
Mengucapkan salawat sempurna berarti mengingatkan seorang Syi’ah akan adanya
tokoh-tokoh suci yang menjadi penyebab wujudnya dia dan alam semesta, dalam
berbagai matranya (alam materi, alam barzakhi dan alam akal).
Di situlah urgensi dan relevansi tritunggal salawat dalam konteks kemusliman Syi’ah. Akhirnya, salawat bukan sekadar ucapan mantra penyembuh atau pemberkat kehidupan melainkan lebih dari itu. Akan lebih menarik jika tritunggal salawat itu ditarik dari perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis. Namun sepertinya bukan di sini pembahasannya. *** (F. Adimulya, penerjemah lepas)