gambar dari instagram @info_misykat |
Bagi saya ketiga tokoh ini punya jasa besar dalam membangun
pemahaman Islam untuk mencintai bangsa dan negaranya. Meski titik berangkatnya
berbeda.
Gus Dur berangkat dari kekayaan khazanah klasik kitab kuning yang hidup di kalangan Nahdhiyyin. Cak Nur berangkat dari pemikiran Ibnu Taymiyah yang dipahaminya dengan caranya sendiri. Kang Jalal berangkat dari kekayaan khazanah sufisme, filsafat Islam, dan pemikiran revolusioner Syiah.
Dari titik berangkat yang berbeda, mereka bertiga
memperjuangkan hal yang sama -setidaknya ini menurut pandangan saya-- yaitu
pemahan keislaman untuk memperkokoh nasionalisme, memantapkan Pancasila sebagai
ideologi bangsa, dan nilai-nilai luhur yang hidup sebagai karakter bangsa ini:
Bhinneka Tunggal Ika, toleran, moderat. Karena dalam pergaulan sehari-hari,
ketiga tokoh ini sahabat dekat, karib.
Kang Jalal adalah intelektual yang berproses, sang pencari,
salik, pejalan yang tak kunjung selesai. Kehidupan pemikiran dan keyakinannya
begitu dinamis. Ia pernah menjadi Muslim tradisional, lalu menjadi sangat
sekuler, lalu menjadi pemikir Islam yang bebas tanpa terikat pada ormas
keagamaan tertentu, lalu menjadi seorang Muhammadiyah, lalu ICMI, dan terakhir
berlabuh pada Syiah.
Ketika pada masa di mana Kang Jalal belum berlabuh dan
mendeklarasikan diri sebagai seorang Syiah di mata publik, ada beberapa bukunya
yang sangat berpengaruh dan dibaca hampir semua kalangan. Setidaknya ada dua
buku yang paling berpengaruh --berdasarkan pengalaman membaca saya--
yaitu, "Islam Aktual" dan "Islam Alternatif".
Kedua buku ini diterbitkan Mizan. Saya membaca khatam
bolak-balik ketika saya duduk di kelas tiga tsanawiyah Lirboyo. Saat itu Kang
Jalal diposisikan publik sebagai intelektual bebas, tanpa tendensi pada aliran
tertentu.
Terus terang saya terhipnotis dengan penjelasannya yang
renyah, enak dibaca, komunikatif, dan dibumbuhi humor serta kisah yang
mempersedap hidangan narasi yang dibangun. Kedua buku Kang Jalal --tentu saja
juga buku Pesantren Sebagai Sub-Kultur Gus Dur dan Islam Doktrin
dan Peradaban Cak Nur-- mampu mengambil hati saya untuk dengan berat hati
memadu bacaan kitab-kitab kuning. Saya akhirnya harus membagi waktu antara
membaca kitab kuning dan kitab putih Gus Dur, Cak Nur, dan Kang Jalal.
Menjadi penasaran. Ketika saya ingin membeli kitab di Toko
Sembilan Satu, Kota Kediri, saya melihat buku Kang Jalal berjudul Rekayasa
Sosial bersampul merah. Mataku berbinar dan langsung saya baca sekilas.
Tanpa babibu saya membelinya.
Dalam hati, uang wesel kiriman ibuku habis untuk beli buku.
Agak lemes memang. Mungkin teman-temanku mengira saya asosial atau
pelit karena jarang nongkrong di warung jajan dan mengopi bersama mereka.
Dimaklumi karena mereka tidak tahu kalau uangku memang ludes untuk beli kitab
dan buku. Ya, risiko kecanduan buku, kutu buku. Tidak apa apa. Suatu saat
semoga teman-temanku memahami ini.
Saya membaca buku Rekayasa Sosial yang menarik
sekali. Ada ulasan tentang kesalahan berpikir. Rekayasa yang diidentikkan
negatif, menurut Kang Jalal tidak tepat. Rekayasa itu sebetulnya baik. Saya pun
belajar Rekayasa Sosial pada buku itu. Sampai kalau ada buku karya
Kang Jalal apapun judulnya saya beli.
Namun, berdasarkan sependek pengamatanku, setelah mendirikan
IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) dan deklarasi pribadi berafilisi
pada Syiah, Kang Jalal tertangkap radar mental blok publik. Mulailah terlihat
publik mengalami like and dislike, suka dan tidak suka. Apalagi setelah
munculnya gerakan Annas Indonesia (Aliansi Nasional Anti Syiah Indonesia),
yang memang mengambil posisi berseberangan secara diametral dan tegas dengan
golongan Syiah di Indonesia yang direpresentasikan IJABI dan ABI.
Akan tetapi, berdasarkan pengalaman hidup dan pergulatan
pemikiran yang dinamis dan panjang, Kang Jalal membawa IJABI sebagai Syiah
Nusantara, Syiah yang mengedepankan taqrib al-madzhahib, mendekatkan madzhab
Syiah dengan madzhab Sunni, tidak mempertajam perbedaan, dan melarang melakukan
umpatan kepada seluruh sahabat Nabi dan Aisyah istri Nabi karena Rahbar Ali Khamanei
Iran sendiri melarangnya. Istri Nabi dan seluruh sahabat Nabi harus dihormati.
Bahkan, Kang Jalal lebih suka disebut sebagai seorang Susi
(Sunni-Syiah). Memang pemikiran Kang Jalal hasil dialektika Sunni dan Syiah.
Memang bukan orang Syiah sejak kecil. Memang tidak Syiah-Syiah amat sih.
Kalau saya memahami, pemikiran Kang Jalal lebih kepada elaborasi
khazanah sufisme yang sangat berkembang di dunia Sunni. Ada tiga tokoh
sufi Sunni yang sering dikutip Kang Jalal di buku atau di ceramahnya, yaitu
Imam al-Ghazali, Imam Ibnu Arabi, dan Jalaluddin Rumi. Terkadang juga mengutip
ulama sufi Sunni yang lain. Bisa dilihat dalam bukunya Reformasi Sufistik.
Malahan ada seorang sufi Sunni yang dikutip panjang-panjang
oleh Kang Jalal dalam bukunya Tafsir Sufi Al-Fatihah, yaitu Imam
Mahmud al-Alusi, seorang penafsir Alquran dengan pendekatan sufistik yang ditulisnya
dalam sebuah kitab Tafsir Ruhu al-Ma'nai.
Saya mengenal pemikiran Kang Jalal lebih didominasi oleh
diskursus sufisme, nasionalis, dan menghargai perbedaan. Entah kalau orang lain
mengenalnya.
Menariknya, Kang Jalal seorang sarjana ilmu komunikasi,
dengan bukunya Psikologi Komunikasi. Akan tetapi, menguasai diskursus
keislaman. Jenius.
Kang Jalal sudah dipanggil pulang ke Haribaan Allah. Tunai
sudah janji bakti. Innalillahi wa innailaihi rajiun. Husnul khatimah dan
mendapatkan tempat terindah di sisi Allah. Amin. ***
Mukti Ali Qusyairi adalah Ketua LBM PWNU DKI Jakarta dan
Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat.
Sumber https://www.republika.co.id/berita/qom8ug412/kang-jalal-sang-susi-sunnisyiah-berpulang