08/02/22

Syiah Menjawab 10 Kriteria Aliran Sesat Ciptaan (oknum) MUI

Pada buku Panduan MUI: Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia (MMPSI) disebutkan 10 Kriteria Aliran Sesat. Buku Inilah JalanKu yang Lurus! menggunakan 10 Kriteria Aliran Sesat ciptaan MUI dan menemukan bahwa pada buku MUI memenuhi kriteria tersebut. Berikut ini akan diulas 10 kriteria aliran sesat tersebut:

Pertama, mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam

Rukun Iman dan rukun Islam yang disebarkan oleh MUI adalah perumusan para ulama, dari hadis ‘Umar bin Khattab. Dari para sahabat lainnya, kita menyaksikan rukun-rukun Islam lainnya, selain yang lima tersebut, seperti termaktub dalam kitab-kitab hadis shahih. Bahkan pada awalnya, Nabi saw menyebutkan rukun Islam sebagai tanda-tanda keimanan. Setelah itu, para ulama mutakhir juga menambahkan dan mengurangi rukun Iman dan rukun Islam tadi. Mereka memasukkan jihad, amar makruf nahi munkar dan silaturahim ke dalamnya.

Jika mengingkari rukun iman dan rukun Islam itu diartikan mengingkari rukun Iman dan rukun Islam seperti dirumuskan oleh penulis buku Panduan, maka sesatlah aliran yang dianut oleh al-Bukhari, Muslim, dari ulama salaf, dan juga Al-Syaikh Yahya bin ‘Abd al-Rahman, Profesor Sa’d bin Turki Al-Khatslan, ‘Abd al-Aziz bin ‘Abdillah bin Baz dan ulama khalaf lainnya. 

Kedua, meyakini atau mengikuti Aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’I (al-Qur’an dan al-Sunnah)

Berdasarkan buku-buku rujukan dalam Buku Panduan, tampaknya MUI menganut aliran Wahhabi/Salafi –yang mempercayai tajsim dan tasybih atau menyerupakan dan menyamakan Tuhan dengan manusia. Aliran ini bertentangan dengan al-Asy’ariyah yang menjadi pegangan Ahlus Sunnah wal- Jama’ah. Apalagi mereka menganggap orang yang melakukan ta’wil seperti al-Asy’ariyah sebagai kafir dan wajib dibunuh.

Dalam aqidahnya ada pengkafiran dan terorisme sekaligus. Kita ingin mengetahui apakah orang-orang yang menulis Buku Panduan setuju dengan tajsim? Apakah mereka mengikuti para ulama Wahhabi/Salafi yang menolak takwil? Jika jawabannya “iya”, maka 10 Kriteria itu harus dikenakan juga pada mereka. Jika tidak, maka MUI wajib menganggap Wahhabi/Salafi sebagai aliran sesat. 

Ketiga, meyakini turunnya wahyu sesudah al-Qur’an

Di antara ulama yang diikuti oleh MUI adalah Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah percaya bahwa ada wahyu turun kepada Umar bin Khattab di samping wahyu yang turun kepada Nabi saw. Ibn Taimiyah berkata, “Yang dimaksud bahwa Umar bin al-Khattab adalah wali yang paling utama ialah ia mendapatkan informasi atau pemberitaan ilahi (tahdits ilahi)tanpa perantaraan Nabi, sebagaimana sudah diriwayatkan dalam al-Tirmizi dari Nabi saw. Ia bersabda, “Sekiranya aku tidak dibangkitkan sebagai Nabi saw, pasti Umarlah yang akan dibangkitkan.” Umar pernah melengkapi Al-Quran. Wahyu sering membenarkan al-Quran dan menyalahkan Nabi saw.

Jika Tim Penulis MUI percaya bahwa ucapan ‘Umar menjadi bagian Al-Quran, jika Umar menerima langsung ilham dari Tuhan tanpa perantaraan Nabi saw, jika rakyu Umar dibenarkan wahyu dan “pendapat” Rasulullah saw disalahkan Tuhan, bukankah itu berarti bahwa MUI meyakini turunnya wahyu sesudah al-qur’an. Jadi, MUI memenuhi kriteria ketiga aliran sesat. 

Keempat, mengingkari autensitas dan kebenaran al-Qur’an

Sekali lagi, jika kriteria MUI ini diterapkan dengan konsisten, maka MUI mestinya yang pertama disesatkan, karena mempercayai hadis-hadis tahrif – pengurangan dan penambahan Al-Quran- hanya karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Tetapi jika bersama ulama Syiah, MUI menolak hadis-hadis semacam tersebut di atas , maka MUI selamat dari kriteria yang ditetapkannya.

Mengingkari kebenaran Al-Quran terjadi ketika rang memilih hadis yang bertentangan dengan al-Quran. Jalaluddin al-Suyuthi mengutip ucapan sahabat –yang dikenal sebagai ahli tafsir, Abdullah bin Abbas. Ia menjelaskan bahwa kepala dan kaki harus diusap, bukan dibasuh. Ibn Abbas berkata, “Orang banyak maunya hanya membasuh padahal aku tidak dapatkan dalam Kitab Allah kecuali mengusap.” Masih kata Ibn ‘Abbas: “Wudhu itu dua basuhan dan dua usapan.” Al-Sya’bi berkata, “Al-Quran turun dengan perintah mengusap (kaki), tetapi al-Sunnah menyuruh kita membasuh.”

Apa yang dipilih Anda? Anda tinggalkan Alquran dan Anda ambil Sunnah. Anda tolak kebenaran al-Quran dan Anda terima kebenaran hadis. Beranikah MUI memfatwakan bahwa Anda semua “yang membasuh kaki” termasuk aliran sesat, karena melanggar kriteria keempat MENGINGKARI AUTENTISITAS DAN KEBENARAN AL-QUR’AN? 

Kelima, menafsirkan al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir

Jika ditanyakan pada MUI, tafsir mana yang mereka terima: Tafsir Mizan, yang ditulis al-Thabathabai orang Syiah, atau Tafsir Ibn Katsir. Mereka pasti berkata: Tafsir Ibn Katsir. Pertanyaan kita pada para penulis Buku Panduan, manakah yang harus dianggap sesat: Tafsir Syiah –seperti Tafsir al-Thabathabai- yang menolak Israiliyat atau tafsir Wahhabi/Salafi -seperti Tafsir Ibn Katsir- dan tafsir-tafsir lain yang menjelaskan ayat al-Quran dengan kisah berita-berita aneh dari Yahudi dan Nashara.

Atau dengan perkataan lain: Apakah mereka menerima penafsiran al-Quran dengan Israiliyat seperti Ibn Katsir atau menolaknya seperti mufasir Syiah? Jika MUI mengiyakan yang pertama, maka ia telah melanggar kaidah-kaidah tafsir. Jatuhlah MUI pada kriteria yang kelima.

Keenam, mengingkari kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam

Pada Shahih al-Bukhari disebutkan ada seorang sahabat yang berkata: Pada kami ada Kitab Allah. Cukuplah itu bagi kami. Jika MUI percaya hadis itu shahih, maka ia harus menganggap orang yang berkata itu sebagai sesat. Karena orang itu merasa cukup dengan al-Quran dan tidak menerima hadis. Apakah MUI menganggap hadis tersebut shahih? Jika “Ya”, MUI harus mengamalkan hadis itu; yakni, menolak hadis dan mencukupi agamanyta dengan al-Quran saja. Mereka juga menjadikan hadis kriteria kebenaran al-Quran dan bukan sebaliknya. Jatuhlah MUI pada kriteria yang keenam.


Syiah sering dituding mengingkari hadis-hadis Sunni seperti Kutub al-Sittah. Marilah kita lihat dalam kenyataannya. Ketika berdialog dengan Sunni, Syiah selalu menggunakan rujukan Ahlis Sunnah.

Syiah dianggap mengingkari hadis karena mengingkari hadis-hadis Ahlus Sunnah. Tuduhan itu dusta, karena orang-orang Syiah berhujah dengan hadis-hadis Ahli Sunnah, sementara MUI menolak semua hadis Syiah. Lihatlah, Kitab Tafsir al-Thabathabai. Di situ banyak diriwayatkan hadis-hadis bukan saja dari Bukhari dan Muslim, tetapi juga dari kitab-kitab hadis Sunni lainnya. Di dalam buku Inilah JalanKu yang Lurus ini ada snapshot dari Tafsir al-Mizan, kitab tafsir Syiah. Di situ kita melihat al-Thabathabai merujuk kepada hadis-hadis Sunni, al-Jam’ bain al-Shihah al-Sittah. Sekarang lihatlah Tafsir ibn Katsir. Di situ, tidak ada satu hadis pun yang merujuk kepada kitab-kitab hadis Syiah seperti al-Kafi atau Bihar al-Anwar. Kesimpulannya? Siapakah yang mengingkari hadis? Terserah orang-orang pintar di MUI.

 

Ketujuh, melecehkan dan mendustakan Nabi dan Rasul saw

Tidak ada keterangan dari buku panduan yang menyebutkan pelecehan yang dilakukan oleh Syiah pada Nabi saw. Syiah begitu memuliakan Nabi saw sehingga mereka dituduh melakukan kultus individu. Syiah membela kehormatan Nabi saw dan keluarganya yang suci, sehingga mereka dituduh sesat. Syiah mencintai Nabi saw begitu besar sehingga setiap kali disebut namanya, mereka menggemakan shalawat dan salam kepadanya. Syiah merindukan Nabi saw begitu hangat sehingga airmata mereka berlinang ketika berziarah kepadanya; sehingga lantaran itu, mereka dituduh musyrik.


Dalam kitab-kitab yang dipercayai kebenarannya setelah al-Quran ada banyak riwayat yang melecehkan Nabi saw. Sebagai contoh saja: Nabi saw tidur siang di rumah seorang perempuan yang bukan muhrim (Bukhari 6486) atau Nabi saw memutilasi sahabat-sahabatnya yang baru masuk Islam (muallaf) hanya karena mereka mencuri ternak Nabi saw (Shahih Bukhari 2795). Syiah menolak hadis-hadis yang melecehkan kemuliaan Kekasih Rabbil ‘Alamin, walaupun diriwayatkan al-Bukhari.


MUI juga mendustakan Nabi saw, karena menolak hadis mutawatir.Kata Jalaluddin al-Suyuthi, “Barangsiapa mengingkari adanya hadis Nabi saw dengan ucapan atau perbuatan (padahal hadis itu dengan syarat-syaratnya sudah kuat sebagai hujjah) maka ia kafir dan keluar dari lingkungan Islam.”

MUI menolak Hadis al-Ghadir itu, padahal para ulama menshahihkannya karena mempunyai dasar (dan menjadi asbabu al-nuzul ayat QS. Al-Maidah /5:67). Jika para mufasir dan para ahli hadis menganggap hadis Ghadir Khum itu shahih, bahkan mutawatir, bagaimana hukumnya jika ada orang yang menolak hadis itu, baik karena kejahilan atau kedegilan?


Mengapa ratusan hadis yang shahih ditolak hanya karena tidak diriwayatkan al-Bukhari atau tidak diriwayatkan Muslim secara lengkap, padahal keshahihan setiap hadis dalam al-Bukhari dan Muslim juga tidak disepakati oleh para ulama? Bukankah beberapa hadis dalam al-Bukhari dan Muslim sudah didhaifkan oleh para ulama mutakhir seperti Syaikh Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridho, Yusuf al-Qardhawi dan Al-Albani?

 

Kedelapan, mengingkari Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir

MUI tidak menggunakan kriteria ini untuk mengkafirkan Syiah; tetapi MUI menagatakan bahwa Syiah mengkultuskan Ali dan menempatkan Ali di atas Nabi saw. Buku Inilah JalanKu yang Lurus menegaskan bahwa kedudukan Ali terhadap Rasulullah saw sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa. Hanya saja ia bukan Nabi, tetapi sekedar penerima wasiat saja.


Perbedaan pandangan ini telah dimulai sejak zaman para sahabat. Pernah para sahabat berkumpul di depan Aisyah. Mereka menyebut-nyebut Ali sebagai penerima wasiat Nabi saw, dan Aisyah menolaknya (al-Bukhari 2536). Al-Quran mewajibkan setiap Muslim harus berwasiat. MUI, bersama ulama-ulama tafsir sebelumnya mengartikan “kutiba” sebagai disunnahkan, dengan alasan Nabi saw tidak berwasiat. Jika Syiah memilih Imam Ali sebagai khalifah sepeninggal Nabi karena das Sollen, dan menerima Abu Bakar sebagai khalifah karena das Sein, mestikah keduanya disesatkan? Yang sesat sebenarnya adalah yang menolak al-Quran, bahkan satu huruf pun. Di manakah MUI berada sekarang dalam urusan wasiat.

 

Kesembilan, mengurangi/ menambah pokok-pokok yang tidak ditetapkan syariah

Untuk mengetahui penambahan atau pengurangan syariah, MUI harus menetapkan syariah yang asli. Apa syariah yang asli? Yang ditetapkan oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tetapi mereka mendefinisikan Ahlus Sunnah wal Jama’ah “dalam pengertian luas”, maka dengan sangat fleksibel mereka menganggap setiap mazhab yang tidak disetujui oleh MUI –yang tentu mengaku Ahlus Sunnah wal Jama’ah- menentang al- ma’lum min al-din bi al-dharurah. Menentang al- ma’lum min al-din bi al-dharurah berarti kafir. Jika para Nahdhiyin menjalankan tahlilan, marhabaan, talafuzh bin niyyat, ziarah qubur, tawassulan, sedangkan Ketua MUI, Prof Dr Yunahar Ilyas, MA, membid’ahkan semuanya itu; maka kafirlah Nahdhiyin, karena mereka menentang Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan definisi MUI.


Ulama yang makruf dan dikenal memberikan definisi yang jelas tentang siapa saja yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah adalah Imam Tajuddin al-Subki dalam kitab Mu’id al-Ni’am wa Mubid al-Niqam: “Semua Hanafiah, Syafiiah, Malikiah, dan para ulama terkemuka dari mazhab Hanbali dalam akidah sama, yaitu berpegang pada pendapat Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah. Mereka berpegang pada agama Allah melalui jalan Syaikh al-Sunnah Abu al-Hasan al-Asy’ari”.


Diharapkan orang-orang pinter di MUI belajar dari Dr Sa’id Fauda untuk menjelaskan Ahlus Sunnah secara bernash dan tidak menghubungkan nama kelompok itu dengan masuk surga atau neraka, apalagi menyebut kafir atau mukmin. “Apakah kalian mendebat aku tentang nama-nama yang kamu dan orangtua-orangtua kamu namakan tanpa keterangan yang Allah turunkan.” (QS Al-A’raf /7:71).


Al-Subki, yang disebut di atas, menganggap bahwa Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya atau Taimiyun bukan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Taimiyun mutakhir, Wahhabi/Salafi, menyebut dirinya sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka mengaku seperti itu terutama ketika mereka menyerang kaum al-‘Asyairah dalam akidah, para Sufi dalam tasawuf, dan mazhab-mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i dalam fiqh.


Di samping akidah tasybih dan tajsim, seperti turunnya Tuhan, yang diambilnya dari al-Hasyawiyah, Ibn Taimiyah juga dianggap keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena melarang ziarah qubur, memusyrikkan tabarruk dan tawasul, menganggap tasawuf sesat, mengecam para ulama, melarang taqlid, mengharamkan hadiah kepada mayit, dan fatwa-fatwa lainnya yang membid’ahkan sunnah dan membid’ahkan tasawwuf (Tentang fatwa-fatwa Ibn Taimiyah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah, lihat a.l: Taqiy al-Din al-Subki, al-Saif al-Shaqil fi al-Radd ‘ala Ibn Zafil, al-Maktabah al-Azhariah; al-Syaikh Abdullah al-Harari al-Habsyi, al-Maqalat al-Sunniyyah fi Kasyf Dhalalat Ahmad bin Taimiyah. Jakarta: Syirkah Dar al-Masyari’, 1429).


Dari pernyataan-pernyataan di atas, barulah kita paham bahwa definisi Ahlus Sunnah yang dipergunakan oleh MUI –ma’ al-asaf al-syadiid- adalah definisi kaum Salafi. Inilah definisi kaum takfiri, yang tidak mau menerima aliran apa pun selain aliran mereka. Bukankah ini bahaya paling besar bagi ukhuwah islamiah di negeri kita yang tercinta? Bukankah mengkafirkan kelompok lain sebagai kesesatan?

 

Sepuluh, mengkafirkan sesama muslim hanya karena bukan kelompoknya

Dengan mengklaim istilah Ahlus Sunnah hanya untuk kelompoknya saja, kelompok Wahhabi/Salafi bersama MUI yang menjadikan mereka sebagai rujukan telah mengeluarkan dari Islam semua orang Islam di luar kelompoknya. 


Untuk mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka, Wahhabi/SALAFI cukup menyebut orang yang tidak sepaham dengan mereka sebagai bukan Ahlus Sunnah wal Jamaah (dengan definisi mereka). 


Diperlukan penelitian lebih mendalam tentang perkembangan Wahabi/Salafi sehingga mereka kini memasuki posisi-posisi penting di legislatif, eksekutif dan judisial. Lebih menarik juga untuk dilacak lebih lanjut bagaimana pahaman mereka bisa masuk ke dalam MUI; bagaimana sebuah lembaga yang “dalam sejarah perjalanannya selalu mengupayakan terwujudnya persatuan Umat Islam (wahdatul ummah)”sekarang menjadi alat untuk menyesatkan sesama Muslim. 


Ketika MUI menetapkan kriteria aliran sesat yang kesepuluh –mengafirkan sesama Muslim--kita dikejutkan dengan kenyataan bahwa kriteria itu paling pas dikenakan pada… MUI sendiri!La hawla wa la quwwata illa billah! ***

 

Artikel ini merupakan Makalah yang dibacakan oleh penulis buku Inilah Jalanku yang Lurus dalam diskusi di Husainiyah Yayasan Kharisma Usada Mustika (KUM), Jakarta Barat, Jumat 21 Maret 2014.