Hadirin dan hadirat, ‘aaidin dan ‘aaidat
Pagi
ini kita berkumpul kembali dalam suasana sukacita. Hari raya kembali datang
menyapa kita. Segala puji bagi Dia yang telah menurunkan semua karunia. Sungguh,
setiap kali ada nikmat, tersimpan juga kewajiban berbuat. Sebuah keraguan
datang mendekat: adakah syukur telah terpanjat. Bersama bahagia, hadir pula
tanya. Bersama suka, melekat pula duka. Kita terombang-ambing antara harap dan
cemas, khauf dan rajaa’. Antara penderitaan penantian dan
pemenuhan cinta.
Kapankah
seorang beriman benar-benar bahagia? Apakah saat ketika ia beribadah pada
Tuhannya? Yang dengan segera disusu penyesalan kurangnya persembahan kepadaNya.
Ataukah saat ketika limpahan nikmat itu turun tak terhingga, sehingga kelu
lidah untuk mensyukurinya.
Saudaraku yang berhari raya, kapankah seorang beriman benar-benar bahagia?
Bahkan
dalam doa hendak menyantap berkah Tuhan, terselip pula titipan untuk yang papa
dan berkekurangan, “Allahumma baarik lanaa fii maa razaqtana wa qinaa
‘adzabannar, waj’alhaa ni’matan masykuratan tashilu biha ni’amal jannah wa
ath’imil baa’isal faqir.” Ya Allah, berkatilah kami dari apa yang telah
Kaukaruniakan pada kami. Jauhkan kami dari siksa api neraka. Jadikanlah ini
nikmat yang mengantarkan kami pada nikmatMu di surga. Dan kenyangkanlah yang
fakir dan yang miskin. Ketika kita hendak makan pun, dikenangkan yang
kelaparan di antara kita.
Alkisah,
seorang raja meminta dibuatkan cincin begitu indahnya. Berpendar begitu
terangnya. Entah batu permata apa. Entah perak atau emas jadi bingkainya. Tapi
ia minta lebih dari itu. Ia minta dibuatkan kaligrafi di atasnya, ukiran yang
akan menghias indah cincinnya. Raja yang sudah beroleh sekian nikmat, tak ingin
cincin sekadarnya. Ia ingin yang istimewa. Kepada si pembuat cincin ia berkata,
“Tatahkan di atasnya sesuatu, sebuah untaian kata. Bila aku sedang berbahagia
dan melihat tulisan itu, kebahagiaanku akan sirna. Dan bila aku sedang berduka,
ia hilang seketika.”
Si
pembuat cincin bingung bukan kepalang. Hingga ia menemukan jalan terang.
Kemudahan setelah kepasrahan pada Tuhan. Dengan gembira, ia datang pada raja.
Tersembunyi cemas, akankah hasil karyanya diterima.
Begitu
raja menerimanya, ia termenung diam tak berkata. Ia memuji pembuat cincin
karena telah bijak dalam bekerja. Diukirkan pada mata cincin sebuah kalimat,
yang dengan melihatnya kebahagiaan berhenti seketika, dan penderitaan akan
sirna. Apakah kalimat itu? Inilah bunyinya: Semuanya akan berlalu. This too
shall pass. Semua ini akan hilang juga. Kalimat yang ampuh. Semua
kebahagiaan akan berlalu. Semua penderitaan akan datang saatnya berhenti pula.
Pada
saat-saat seperti itu, ketika kebahagiaan terhenti, ketika duka berganti,
hadirlah pengakuan. Dalam bahasa ‘Arab, pengakuan itu ‘arafah. Sehari sebelum
lebaran, jamaah haji berkumpul di tanah suci. Di tengah sebuah padang gersang,
mereka beribadah pada Tuhan. Padang itu, ‘arafah namanya. Ia hanya ramai
setahun sekali. Ia hanya saat itu menjadi saksi. Selain 9 Dzulhijjah, ia padang
pasir tandus yang sunyi.
Apa
yang dilakukan jamaah haji di padang ‘arafah itu? Tak ada yang khusus. Tak ada
ritual tertentu. Apa saja boleh dilakukan: shalat, wirid, tadarusan, berzikir
dan berdoa. Para jamaah hanya harus hadir di lapangan itu. Hadir itulah wuquf.
Sejak terbit matahari hingga tenggelamnya. Wuquf juga artinya berhenti. Di
padang gersang itu, mereka harus berhenti. Berhenti dari segala hal yang
menjauhkan manusia dari Tuhan, memutuskan segala keterikatan. Tanpa wuquf itu,
haji mereka dipertanyakan.
Apa
makna dari wukuf di ‘Arafah? Berhenti di tempat pengakuan. Inilah saat ketika
seorang hamba menyampaikan segalanya di hadapan Tuhan. Ada tiga bentuk
pengakuan. Pertama, mengakui kebesaran dan keagungan Tuhan, menyatakan segalanya
di hadapan Dia. Dialah yang Mahabesar, Dialah Sang pemberi karunia, Dialah yang
mengasihi sepenuhnya, Dialah yang menutupi aib kita dari sesama. Sekiranya
tanpa perlindunganNya, dan ditampakkan pada manusia dosa-dosa mereka, niscaya
orangtua lari dari anaknya, suami menghindar dari istrinya, sahabat menjauhi
sahabatnya. Seandainya tak ada kasih dan tiraiNya, ayah mengecam kita, ibu
menyesal melahirkan kita, saudara dan kerabat mengutuk kita, dan sahabat
memusuhi kita. Inilah pengakuan yang pertama.
Pengakuan
yang kedua adalah menyatakan kerendahan diri kita, ketidakberartian dan
kehinaan kita. Inilah hamba yang banyak dosa. Inilah hamba yang celaka. Inilah
hamba yang lalai dan alpa. Inilah hambaMu ya Allah yang kecil syukurnya,
sedikit malunya, tak lama sabarnya. Inilah hambaMu ya Allah yang bertambah
usianya bertambah pula beban dan maksiatnya. Inilah hamba yang menentang
penguasa Surga. Inilah dia yang takut pada makhlukMu, tapi terang-terangan
berani menentangMu. Tapi ini jugalah hamba yang tidak putus asa pada kasihMu,
yang mengetuk pintu maafMu, yang berharap ampunan dan rahmatMu. Inilah hamba
putra dua hambamu. Bukanlah ia yang pertama Kauampuni. Bukanlah ia yang pertama
Kausayangi.
Nabiyullah
Ibrahim ‘alaihisalam yang kisahnya kita teladani pada idul Qurban seperti ini,
digelari khalilullah, kekasih Allah karena kebiasaannya berbagi. Tak pernah ia
memperoleh nikmat, kecuali kemudian sujud mensyukuri kebesaran Pemberinya.
Mengakui anugerah dan kebesaran Sang Pemberinya, dan menyatakan kerendahan
dengan berbagi dalam menikmatinya. Ibrahim alaihissalam disebut kekasih Allah,
karena ia tak pernah makan sendirian. Ia selalu mencari orang yang diajaknya
makan bersama. Bahkan bila ia harus berjalan kaki...puluhan kilometer jauhnya.
Dari
Nabiyullah Ibrahim pula, kita belajar pengakuan yang ketiga, yaitu pada ungkap
syukur sesama. Pengakuan yang ketiga mengajarkan pada kita agar berterima kasih
pada siapa pun yang melalui mereka Allah Ta’ala alirkan nikmat itu sampai pada
kita. Belum bersyukur kita pada Tuhan, sebelum berterima kasih pada mereka yang
melalui mereka Allah Ta’ala antarkan nikmat itu sampai pada kita.
Dan
inilah makna pengorbanan Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam, yaitu ungkapan cinta
dan kasih sayang. Konon, ia mendambakan putra begitu rupa. Menantikannya
bertahun lamanya. Dan ketika anak yang ditunggunya tiba, Tuhan perintahkan agar
bayi itu diusir ke tanah gersang, nun jauh dari Babilonia, di lembah tanpa
tanaman...Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan keturunanku di
lembah yag tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang dihormati...bi
waadi ghairi dzi zar’in ‘inda baitikal muharram...(QS. Ibraahim [14]:37).
Sekian tahun mereka dipisahkan, dan Ibrahim mengunjungi mereka sewaktu-waktu.
Kadang bertemu, kadang pun tidak. Lalu ketika keduanya dipertemukan, setelah
bertahun memendam kerinduan...kemudian Tuhan perintakan agar Ibrahim
menyembelih putra tersayang. Falamma balagha ma’ahus sa’ya qaala ya bunayya
inni araa fil manaami anni adzbahuka...maka tatkala anak itu sampai usia
dewasa, berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anak-anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu...maka
bagaimanakah pendapatmu? (QS. Al-Shaafaat [37]:102) Maka kedua hamba Allah
yang saleh itu tersungkur dalam kepasrahan. Yang satu pada ketaatan, yang lain
pada kesabaran. Manakah pengorbanan yang lebih berat? Seorang ayah yang melihat
anaknya dikorbankan, atau seorang anak yang harus melihat ayahnya kehilangan...
Sesungguhnya
tatkala Allah Ta’ala memerintahkan Ibrahim untuk menggantikan anaknya dengan
seekor domba, Ibrahim berharap bahwa Ismaillah yang ia korbankan. Sungguh sudah
ia lepaskan seluruh ikatan, seluruh kecintaan, seluruh hubungan. Tujuannya
hanya rido Tuhan. Ibrahim berharap bergetar dalam hatinya perasaan orang yang
telah mengorbankan yang paling dicintainya. Ibrahim ingin menunjukkan
kesempurnaan pelaksanaan ujiannya. Bayangkan ketaatan seorang ayah menyembelih
putra yang sangat dikasihinya. Bayangkan besarnya sabar dari musibah yang
datang dari kehilangannya. Ibrahim berharap daripadanya, derajat yang tinggi di
sisi TuhanNya.
Sehingga
Tuhan utus malaikat menyampaikan pada Ibrahim pesanNya, “Wahai Ibrahim,
siapakah makhluk yang paling kau cintai?” Ibrahim menjawab, “Wahai Tuhanku,
tiada makhluk yang paling aku cintai selain kekasihmu Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam.” Ibrahim menyebut nama nabi akhir zaman itu.
Kemudian
Tuhan bertanya, “Siapakah yang lebih kaucintai. Dirinya atau dirimu?” Ibrahim
menjawab, “Dia lebih aku cintai dari diriku sendiri.”
“Maka
siapakah yang lebih kaucintai: putranya atau putramu?”
“Sungguh,
putranya lebih aku cintai.”
“Ketahuilah,
sungguh kelak putra Muhammad akan tersembelih dalam keadaan terzalimi, dianiaya
musuh-musuhnya. Apakah tersayatnya leher putra Muhammad dalam keadaan
teraniaya, oleh musuh-musuhnya lebih membuatmu berduka? Ataukah tajam belati
yang mengiris leher putramu dalam ketaatan kepadaKu?”
“Sungguh
ya Allah, gugurnya putra Muhammad oleh tangan musuh-musuhnya lebih aku tangisi,
lebih mengiris dan mengoyak-koyak kalbuku.”
“Wahai
Ibrahim, sesungguhnya sekelompok kaum yang mengaku menjadi umat Muhammad akan
menyembelih Al-Husain putra Muhammad dalam keadaan terzalimi, sebagaimana
mereka menyembelih seekor domba. Bagi mereka murkaKu.”
Maka
bergetarlah Nabiyullah Ibrahim. Tersungkur dan terhempas di hadapan Tuhannya.
Air mata mengalir, tangisan tak berhenti. Hingga Allah Ta’ala mengilhamkan
padanya, “Wahai Ibrahim, bagimu kedudukan yang mulia, derajat yang utama
bagaikan seorang ayah yang telah mengorbankan putranya dengan tangannya
sendiri...karena kau telah menangis untuk musibah terbunuhnya Al-Husain putra
Muhammad...” (Uyun Akhbar al-Ridha as, Al-Khishal Syaikh Shaduq:
58)
Dan
untuk inilah Al-Qur’an berfirman “wa fadaynaahu bidzibhin ‘azhiim...Dan
telah kami tebus ia dengan sembelihan yang agung...” (QS. Al-Shaafaat
[37]:107)
Sungguh,
telah Tuhan tebus Ismail dengan sembelihan yang agung.
Inilah
pengakuan yang ketiga, ketika kita pasrah di hadapan Tuhan, tersungkur pada
ungkap syukur atas setiap pembimbing yang diturunkanNya bagi kita; untuk setiap
penerang jalan; untuk setiap pelita kegelapan; untuk setiap petunjuk
kebimbangan.
Di
‘Arafah itu pula kelak, Sang Sembelihan Agung mengawali perjalanannya
menyerahkan seluruh dirinya, seluruh kepasrahannya, seluruh kepatuhan dan
ketaatannya. Kelak, 10 Muharram, sebulan setelah 10 Dzulhijjah, Al-Husain putra
Rasulullah dikorbankan di Padang Karbala. Pada 61 H, ia berjuang menyelamatkan
agama kakeknya dari penyelewengan. Ia disembelih, bagai seekor domba yang kehausan.
Tubuhnya disayat ratusan pedang. Punggungnya ditikam panah dan lisan sucinya
ditekak tombak. Dan untuk semuanya, Zainab adiknya mengangkat tangan ke langit
dan berdoa, dalam linangan airmatanya...”Ya Allah...terimalah (pengorbanan ini)
dari Muhammad dan keluarga Muhammad...”
Di
Padang Arafah itu, Al-Husain berdoa...
“Ya
Alah, aku bersaksi kepadaMu...
Dengan
kedua mataku (yang kelak penuh dengan
darah)
Dengan
pelipis dahiku (yang dihantam anak panah)
Dengan
kedua bibirku (yang dipukul batang tombak)
Dengan
urat di leherku (yang terputus disayat pedang)
Dengan
dadaku (yang diinjak binatang)
Dengan
hatiku (yang dikoyak-koyak belati)
Dengan
jemariku (yang diiris-iris duri)
Dan
dengan seluruh apa yang ada pada diriku...
Sungguh...
Tak
mampu sesaat pun aku mensyukuri setiap nikmatMu...wahai Tuhanku.”
Inilah
pengakuan yang sesungguhnya.
...
Hadirin dan Hadirat, ‘Aadiin dan ‘Aaidat
Lebaran
Qurban tahun ini menjemput kita, ketika bangsa dan umat manusia tengah diuji
dalam berbagai coba. Tampak terlihat keinginan berkuasa, didasarkan atas hawa
nafsu semata. Ego kelompok, kepentingan pribadi, saling sikut berebut kursi.
Apa yang akan kita korbankan? Jabatankah, kedudukan, harta, atau kepentingan?
Sungguh,
sebagaimana Ibrahim ‘alaihissalam yang diuji dengan ketaatan menyembelih putra
yang dicintainya, hanya untuk menemukan bahwa ada ujian dan derita yang jauh
lebih besar lagi. Marilah kita antarkan seluruh kebaikan kita, yang tak ada
sebutir debu pun dibandingkan dengan sang nabi Tuhan itu, lalu kita gabungkan
dengan seluruh perkhidmatan di jalan kecintaan pada para teladan...berharap
kiranya, di ujung perjalanan, di ujung penantian...setelah kita serahkan
seluruh yang kita miliki, semua yang terbaik yang kita beri...terdengar sabda
kudus nan suci, “...dan sungguh, telah kami tebus ia dengan sembelihan yang
agung.” Wa fadaynaahu bidzibhin ‘azhiim...
Tak ada pengakuan yang lebih sempurna lagi...
Saudaraku
yang berhari raya, kapankah seorang yang beriman benar-benar bahagia. Dalam
sukacita tersimpan duka. Dalam kesedihan tersembunyi janji kebahagiaan.
Sungguh, semua duka akan terhenti, kecuali duka terpisah dari Baginda Nabi dan
keluarganya yang suci.
Semua bahagia akan sirna, kecuali bahagia beroleh pengakuan dari mereka. ***
Naskah khotbah Idul Adha, disampaikan di Pondok Pesantren Al-Mukarramah, Pasir Honje Cimuncang Bandung,
10 Dzulhijjah 1435 H.