Diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/696 no 3862
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad 5/54 no 20568 dan Musnad Ahmad 5/57 no 20597 juga dalam Fadhail Ash Shahabah no 1, Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman 2/191 no 1511, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliya 8/287, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban 16/244 no 7256, Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no 992, Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 5 no 389, Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa 2/272 no 833, Ibnu Ady dalam Al Kamil 4/167, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 9/125 no 4741 dan Sayyid An Nuri dalam Musnad Al Jami’ no 9479. Semua sanad hadis itu berujung pada Ubaidah bin Abi Ra’ithah dari Abdurrahman bin Ziyad atau Abdurrahman bin Abdullah atau Abdullah bin Abdurrahman atau Abdurrahman bin Abi Ziyad dari Abdullah bin Mughaffal.
Kedudukan Hadis
Hadis ini sanadnya dhaif karena di dalamnya terdapat perawi yang majhul (tidak dikenal) yaitu Abdurrahman bin Ziyad. Ia adalah perawi yang tidak jelas, ada yang menyebutkan namanya Abdurrahman bin Ziyad, ada yang menyebutkan namanya Abdurrahman bin Abdullah, ada pula yang menyebutnya Abdullah bin Abdurrahman dan ada pula yang menyebutnya Abdurrahman bin Abi Ziyad. Perbedaan nama-nama tersebut menunjukkan ketidakjelasan siapa dia sebenarnya.
Abdurrahman bin Ziyad (Musnad Ahmad 5/54 no 20568, Musnad Ahmad 5/57 no 20597, Fadhail Ash Shahabah no 1, Musnad Al Jami’ no 9479, Syu’ab Al Iman 2/191 no 1511, Tarikh Baghdad 9/125 no 4741).
Abdullah bin Abdurrahman (Hilyatul Awliya 8/287, Shahih Ibnu Hibban 16/244 no 7256, As Sunnah no 992, Tarikh Al Kabir juz 5 no 389, Adh Dhu’afa 2/272 no 833, Al Kamil 4/167).
Abdurrahman bin Abdullah (Musnad Ahmad 5/54 no 20568, Musnad Ahmad 5/57 no 20597, Fadhail Ash Shahabah no 1, Musnad Al Jami’ no 9479, Syu’ab Al Iman 2/191 no 1511, Tarikh Baghdad 9/125 no 4741).
Abdurrahman bin
Abi Ziyad (Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/272 no 833).
Abdul Malik bin
Abdurrahman (Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 359).
Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 5 no 389 menyebutkan namanya Abdullah bin Abdurrahman dan Bukhari telah memberikan cacat padanya dengan sebutan fiihi nazhar (perlu diteliti lagi). Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 6 no 359 dan Adz Dzahabi dalam Mizan Al I’tidal no 4867 menyebutkan biografi Abdurrahman bin Ziyad dan mengutip Ibnu Main yang mengatakan bahwa Abdurrahman bin Ziyad tidak dikenal. Adz Dzahabi dalam Al Mizan no 4412 dan Ibnu Hajar dalam Lisan Al Mizan juz 3 no 1269 menyebutkan biografi Abdullah bin Abdurrahman seraya mengatakan bahwa ia tidak dikenal dan mengutip pencacatan oleh Al Bukhari. Al Uqaili telah menyebutkan biografi Abdullah bin Abdurrahman dalam kitabnya tentang perawi dhaif yaitu Ad Dhu’afa no 833.
Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/569 memberikan predikat maqbul padanya, hal ini merupakan keanehan yang muncul dari Ibnu Hajar. Tidak diragukan lagi kalau Abdurrahman bin Ziyad hadisnya hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi yaitu Ubaidillah bin Abi Ra’ithah dan tidak ada yang memberikan predikat ta’dil pada Abdurrahman bin Ziyad ditambah lagi ia telah dinyatakan majhul oleh Ibnu Ma’in dan dicacatkan oleh Al Bukhari. Oleh karena itu Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf dalam Tahrir At Taqrib no 3863 mengoreksi Ibnu Hajar dan memberikan predikat majhul pada Abdurrahman bin Ziyad. Semua keterangan ini menunjukkan bahwa Abdullah bin Abdurrahman atau Abdurrahman bin Ziyad adalah perawi yang majhul dan keberadaannya hanya diketahui dari hadis ini saja.
Di antara mereka ahli hadis yang mendhaifkan hadis ini adalah
Al Uqaili yang
memasukkan hadis ini dalam kitabnya Ad Dhu’afa Al Uqaili 2/272 no 833.
Syaikh Syu’aib Al
Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad 5/54 no 20568, Musnad Ahmad 5/57
no 20597 dan tahqiqnya terhadap Shahih Ibnu Hibban 16/244 no 7256.
Syaikh Wasiullah
bin Muhammad Abbas dalam tahqiqnya terhadap kitab Fadhail As Shahabah hadis no
1.
Bashar Awad Ma’ruf dalam tahqiqnya terhadap kitab Tarikh Baghdad 10/179 no 4694.
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Ad Dhaifah no 2901, Dhaif Sunan Tirmidzi no 3862, Zhilal Al Jannah no 992 dan Dhaif Jami’ As Shaghir no 1160.
Anehnya walaupun sudah jelas kedhaifannya, Syaikh Salafi yang terkenal Shalih bin Fauzan tetap saja berhujjah dengan hadis tersebut dalam risalahnya Al Wala’ Al Bara’ hal 14, ia berkata
وأشدُ
الناسِ محاربةً للهِ مَنْ عادى أصحابَ رسولِ اللهِ وسبَّهم وتنَقصهمْ وقد قال : (اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضاً ،
فمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِي وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ وَمَنْ آذَى
اللَّهَ يُوشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ ) . أخرجه الترمذيُ
وغيرُه وقد صارتْ معاداةُ الصحابةِ وسبُّهم ديناً وعقيدةً عند بعضِ الطوائفِ
الضالةِ
Orang yang paling besar permusuhannya kepada Allah SWT adalah orang yang memusuhi sahabat Nabi dan mencela serta merendahkan mereka, padahal Rasulullah SAW bersabda “Demi Allah, Demi Allah tentang sahabatku, janganlah kalian jadikan mereka sebagai sasaran caci maki, barangsiapa menyakiti mereka maka mereka menyakiti aku dan barangsiapa menyakiti aku sungguh ia menyakiti Allah SWT dan siapa yang menyakiti Allah SWT maka dikhawatirkan Allah akan menyiksanya”. Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan selainnya. Dan sungguh sikap memusuhi dan mencela sahabat Nabi telah menjadi agama dan aqidah sebagian kelompok sesat.
Kami tidak meragukan kalau mencela sesama Muslim adalah suatu kemungkaran bahkan walaupun itu dilakukan oleh sahabat Nabi seperti Muawiyah dan Mughirah bin Syu’bah yang telah mencaci Ali bin Abi Thalib. Sungguh setiap kemungkaran tidak layak untuk mendapatkan pembenaran walaupun kemungkaran itu dilakukan oleh sahabat Nabi. ***
SUMBER artikel http://www.facebook.com/note.php?note_id=168514066857&ref=nf
secondprince.wordpress.com