01/07/20

Taqiyyah dalam ajaran Syiah

 image

Taqiyyah berarti penjagaan. Dikatakan: seseorang ‘ittaqa syaian’ apabila dia menjadikan sesuatu sebagai penutup yang menjaganya dari bahaya. Taqiyyah juga didefinisikan sebagai berikut: Sesungguhnya taqiyyah adalah penjagaan seseorang atas dirinya dengan menampakkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ada dalam hatinya.

Taqiyyah dalam pandangan Syiah merupakan mafhum Qur’ani yang diambil dari surat Ali Imran ayat 28:

“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin, barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari wilayah Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri  (tattaqu berasal dari akar kata yang sama dengan  taqiyyahdari sesuatu yang ditakuti dari mereka” (QS. Ali ‘Imrân [3]:28).

Ayat tersebut membolehkan seseorang melakukan taqiyyah (menyembunyikan keimanan dan menampakkan kekufuran) demi menjaga dirinya dari gangguan kuffar.

Dari definisi di atas dapat ditegaskan bahwa taqiyyah  berbeda dengan nifaqNifaq juga merupakan istilah Qur’ani yang bermakna: menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan.

Sementara taqiyyah adalah sebaliknya menyembunyikan keimanan dan menampakkan kekufuran demi keamanan atau tujuan baik lainnya.

Pembagian Taqiyyah

Ulama Syiah membagi taqiyyah ditinjau dari sisi tujuannya menjadi dua. Pertama adalah taqiyyah makhafatiya, yaitu taqiyyah karena takut bahaya. Kedua adalah taqiyyah mudaratiyah, yaitu taqiyyah yang ditujukan untuk menjaga perasaan orang yang berbeda dengannya, demi terjalinnya hubungan baik antarkeluarga atau umat yang berbeda, untuk menghindarkan fitnah yang dapat meresahkan masyarakat atau demi terealisasinya persatuan umat Islam.

Perlu ditegaskan di sini bahwa taqiyyah merupakan istilah yang digunakan oleh para mufassirmuhaddis, dan fuqaha  dari berbagai kalangan.

Taqiyyah bukan hanya istilah yang digunakan oleh orang Syiah. Bahkan, bisa dikatakan bahwa olehnya taqiyyah  merupakan ijma para ulama Muslim sebagaimana pernyataan ulama besar Ahlus Sunnah.

Ibnu Katsir meyakini ijma’  ulama bahwa taqiyyah  diperbolehkan bagi “al-mukrah ” (orang yang terpaksa). Ibnu Katsir berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa menyatakan kekufuran, diperbolehkan (menyatakan kekufuran) demi menjaga keselamatan dirinya sebagaimana juga boleh menolaknya seperti sikap Bilal (ra).”

Fakhruddin Arrazi menukil pendapat para ulama tentang  taqiyyah, ketika beliau menafsirkan ayat di surat Ali Imran ayat 28 (kecuali demi menjaga diri mereka), beliau berkata, “Di riwayatkan dari Hasan (Al-Bashri) bahwa beliau berkata: Taqiyyah diperbolehkan bagi orang-orang mukmin hingga hari kiamat, pendapat ini lebih utama (kuat) karena mencegah bahaya atas diri sedapat mungkin hukumnya wajib.”

Al-Ghazali berkata, “Sesungguhnya menjaga darah orang Muslim adalah wajib, maka jika ada orang zalim yang bermaksud menumpahkan darah orang Muslim dan ia bersembunyi dari orang yang bermaksud membunuhnya, maka berdusta saat itu adalah wajib.”

Ibnu Qudamah berkata, “Tidak diperbolehkan shalat di belakang seorang ahli bid‘ah dan seorang fasiq di luar shalat Jumat dan hari raya yang mereka berdua melaksanakannya di satu tempat dalam satu kota. Apabila takut (terancam keamanannya) jika meninggalkan shalat di belakangnya, maka saat itu dia diperbolehkan shalat bermakmum di belakangnya (fasiq, ahli bid‘ah) dalam keadaan ber taqiyyah,kemudian dia mengulang shalatnya.”

Al-Qurtubi berkata, “Taqiyyah tidak dihalalkan kecuali dikarenakan takut akan pembunuhan, penyiksaan, gangguan, atau bahaya yang besar. Dan tidak ada pendapat yang dinukil yang berlawanan dengan pendapat ini menurut apa yang kami ketahui, kecuali apa yang diriwayatkan dari Muadz ibn Jabal dari kalangan sahabat dan Mujahid dari kalangan tabi’in. 

Dari pernyataan ulama di atas dapat disimpulkan bahwa taqiyyah merupakan sesuatu yang disepakati oleh jumhur ulama Muslimin, bukan hanya di kalangan ulama Syiah. Taqiyyah lebih erat hubungannya dengan fiqih ketimbang akidah, dengan demikian para fuqaha  memasukkan taqiyyah dalam Bab Al-Ikrah (keterpaksaan) dalam kitab-kitab fiqih mereka.

Perlu ditegaskan kembali bahwa taqiyyah tidak pernah dipersoalkan oleh para ulama dari zaman Sahabat, Tabi’in, Mutaqaddimin, dan Mutaakhirin.

Mereka membolehkan praktik taqiyyah dan membahasnya dalam berbagai bidang ilmu dengan istilahnya masing-masing seperti:

Pertama, para ulama akhlak dan para filosof membahas taqiyyah dalam bahasan: apakah tujuan menghalalkan segala cara? Kedua, para fuqaha dengan judul: Berbagai Tujuan dan Sarana. Ketiga, para ulama ushul dengan judul: Pertentangan antara yang lebih penting dengan yang penting. Keempat, atau istilah lain yang digunakan dalam membahas praktik taqiyyah.

Dengan demikian, jelas bahwa taqiyyah tidak mengganggu keimanan seseorang menurut kesaksian para ulama yang ditopang oleh dalil-dalil dari ayat Al-Quran dan Sunnah serta dalil-dalil rasional.***

Sumber Buku Putih Mazhab Syiah: Menurut Para Ulamanya yang Muktabar. Penerbit Ahlulbait Indonesia, tahun 2012.