22/08/21

Aboebakar Atjeh: Aliran Syiah Di Nusantara (3)

image

Oleh H. ABOEBAKAR ATJEH

Dalam kitab karangan saya mengenai “Syi’ah, Rasionalisme dalam Islam” (Semarang, 1972), saya uraikan tentang pengikut Syiah li ini dengan mashafnya, yang bernama Ahlil Bait, sebagai berikut.

Memang di sana-sini kita mendengar kecaman terhadap Mashaf Ahlil Bait, yang menggunakan hadits-hadits tersendiri dan berbuat bidah; misalnya oleh pengarang sejarah yang terkenal Ibn Khaldun (Muqaddimah, hal. 274), tetapi acap kali orang lupa, bahwa dibelakang tuduhan-tuduhan itu terdapat politik propaganda Bani Umayah atau Bani Abbas, yang membenci mashaf ini, karena ia teruntuk khusus bagi Syi’ah Ali bin Abi Thalib. Untuk kemaslahatan dan keselamatan diri serta karangan-karangannya, banyak penyusun-penyusun kitab dalam segala bidang meninggalkan kemegahan bagi Syi’ah, meskipun pada bathinnya kadang-kadang mereka membenarkannya.

Mengenai jawaban ilmiyah atas kecaman Ibn Khaldun, bacalah kitab “Al-lmam as-Shadiq wal Mazahibil Arba’ah”, karangan Asad Haidar, diantara lain jilid kesatu, hal. 216 -218. Sebenarnya bukan tidak beralasan, baik Bani Umayyah maupun Bani Abbas, menuduh Syi’ah Ali senantiasa kalah menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan mereka. Jiwa pengajaran Islam dalam daerahnya banyak dititik beratkan kepada kehidupan duniawi, melalui jalan kasar atau jalan halus terhadap ulama-ulamanya, sedang ajaran Islam menurut Mashaf Ahlil Bait lebih banyak ditekankan kepada kehidupan dunia dan akhirat.

Jiwa pengajaran Imam As-Shadiq di antara lain adalah kemerdekaan roh, yang sangat dihargakan tinggi oleh Islam, dan dengan demikian pengikut-pengikutnya selalu berdaya upaya meiepaskan kemerdekaan jiwanya itu dari pada belenggu kekuasaan yang dianggap zalim ketika itu.

Sejak berdirinya mashaf ini terikat dengan dua peninggalan Nabi yang kuat “As-sagalain” yaitu Kitabullah dan Itrah Rasulnya, Qur’an dan keluarga Nabi, yang berpadu keduanya, tidak berccrai dalam penunaian kewajibannya untuk memberi petunjuk dan hidavat kepada umat. (“Haditsuts Tsaqalain”, 1952 M., penerbitan “Damt Taqrib bainal Mazahibil Islamiyah”).

Qur’an mencegah memberi bantuan kepada orang yang berbuat zalim dan mempercayainya. Dalam sebuah firman Tuhan berseru: “Jangan kamu lekatkan kepercayaanmu kepada mereka yang berbuat zalim karena pasti kamu akan masuk neraka. Tidak ada lain pemimpinmu kecuali Allah, yang lain tidak akan dapat menolongmu” (Qur’an surat Hud, ayat 113).

Ajaran seperti dalam masa Nabi ini sudah tidak sesuai lagi dengan masa Bani Umayyah dan Bani Abbas yang tamak kekayaan dan bertindak secara kekerasan. Mereka menganggap ajaran-ajaran Imam as-Shadiq itu ditujukan kepadanya.

Dengan penuh keberanian Imam menjalankan terus ajaran semacam ini. Pengikut-pengikutnya diajar meresapkan rasa adil, yang merupakan pokok terpenting daripada dasar-dasar penetapan hokum Islam. Murid-muridnya hanya mematuhi peraturan-peraturan yang tidak melampaui batas Tuhan, yaitu Qur’an dan mentaati imam-imam yang adil serta memelihara agama, imam-imam yang ingin damai, bermutu tinggi dalam akhlak dan budi pekerti.

Sebagai akibatnya rakyat tidak mau mencari penjelasan dalam urusannya kepada hakim-hakim pemerintah yang d’anggap zalim itu, menjauhkan dirinya dari ulama-ulama yang ditunggangi oleh pemerintah (Abu Na’im Halyatul Aulia, III : 195). Dengan demikian Khalifah Mansur As-Saffah dan Hajjaj bin Yusuf lalu mengambil tindakan, dan gugurlah ulama-ulama hadits dan fiqh dalam mempertahankan agamanya itu.

Imam As-Shadiq menghendaki, agar disamping pemerintah dunia, terdapat pimpinan agama, yang betul-betul menjalankan kebijaksanaannya menurut hukum Tuhan, berdasarkan kepada da’wah yang benar kebajikan, keadilan, persamaan ukhuwah Islamiyah umum, peradaban yang baik dan kebudayaan yang benar, membasmi hawa nafsu, membasmi bid’ah dan kesesatan, yang semuanya itu dapat diperoleh hanya dari keturunan suci, pemimpin-pemimpm mashaf ini. Karena merekalah yang sanggup memimpin umat kepada agamanya, membawanya kepada kebahagiaan, kepada tujuan-tujuan yang mulia dan tinggi, kepada contoh-contoh yang tinggi.

Mashaf Ahlil Bait ini adalah mashaf yang terdahulu lahir dalam sejarahnya, karena sebenarnya bukan Imam As-Shadiq yang meletakkan batu pertama dan menaburkan benihnya, tetapi ialah Rasulullah sendiri. Nabilah yang meletakkan sumber-sumber dan peraturannya dengan ucapannya menyuruh berpegang kepada Qur’an dan keluarganya, agar umat jangan tersesat (Hadits).

Mashaf ini terlahir dalam masa Nabi dan Imam yang pertama ialah Ali bin Abi ThaVb, Imam yang paling tinggi nilainya dan paling banyak ilmunya. Ia merupakan diri Nabi Muhammad mengikutinya alam segala waktu, menampung ilmu langsung dari padanya, memperoleh tasyri’amali sahabatnya dikampung dan dalam perjalanan, ia duduk jika Nabi duduk, ia bekerja jika Nabi bekerja. Rasulullah adalah guru langsung dari A l i , pendidik dan pengasuhnya.

Penyair Mutanabbi menggambarkan keindahan pewarisan ilmu itu kepada A l i sebagai berikut :

Kuletakkan sanjunganku kepada pewaris, Pewaris Nabi, wasiat Rasul, Karena ia nur cahaya berbaris, Sambung menyambung, susul menyusul. Sesuatu yang tetap terus menerus, Pasti akhirnya berdiri sendiri, Busah lenyap karena arus, Laksana sifat matahari. Tatkala Ali wafat, gerakan ilmiyah dan pimpinan mashaf ini dipimpin oleh puteranya, Imam Hasan, cucu Rasulullah dan mainan hatinya. Dialah tempat rakyat mengembalikan urusannya dan segala persengketaan. Tetapi urusan mashaf itu tidak berjalan dengan lancar, karena tekanan beberapa kejadian dan saling sengketa dengan Mu’awiyah. Kecurangan-kecurangan Mu’awiyah terhadap keluarga A l I dan kekejaman-kekejamannya yang banyak menumpahkan darah, menghambat kemajuan perkembangan hukum. Kita ketahui bahwa perjanjian antara Hasan dan Mu’awiyah untuk menyelamatkan perkembangan hukum dan ajaran Islam, yang sebenarnya, tidak ditepati oleh Mu’awiyah.

Masa Imam Husain yang menggantikan saudaranya, lebih kacau lagi. Tidak saja peperangan-peperangan sudah terbuka, tetapi kekuasaan yang telah dicapai oleh Mu’awiyah digunakannya dengan sengaja untuk merusakkan kedudukan hukum kaum muslimin. Urusan peradilan diserahkan kepada anaknya Jazid, seorang fasik dalam berbuat dosa dan kufur yang tidak ada taranya. Kemudian ia menjadi khalifah buat orang Islam, menjadi imam yang duduk diatas singgasana kekhalifahan Islam.

Siapa Yazid? Dalam “As-Sa’ral Anwal Fil Islam”, karangan Muhammad Abdul Baqi (hal. 79) kita baca, bahwa ia seorang fasik yang durhaka, ia membolehkan berzina, memperkenankan meminum-minuman keras, membolehkan berzina, memperkenankan nyayian-nyanyian dalam mejelis-majelis kehormatan menjadikan adat kebiasaan meminum anggur dalam sidang-sidang pengadilan, memberikan rantai dan kalung anjing dan monyet mainannya dengan emas, sedang ratusan orang Islam disekeliling tempat itu mati kelaparan.

Lalu menjadilah kedudukan hukum Islam ketika itu sangat buruk. Imam Husain tidak dapat berdiam diri, ia terpaksa bangkit membela kebenaran, melakukan amar-ma’ruf nahi munkar, hingga terpaksa ia mengorbankan jiwanya dengan cara yang sangat menyedihkan scbagai pahlawan Islam.

Urusan peradilan Islam dan pimpinan mashaf berpindah kepada anaknya Imam Ali bin Husain, yang bergelar Zainal Abidin, seorang yang sangat wara’ dan taqwa dalam masanya, tetapi juga seorang alim dalam segala bidang ilmu Islam. Dengan cara diamdiam ia meneruskan usaha ayahnya,, yang meskipun suasana ketika itu sangat buruk, melahirkan banyak ulama-ulama ahli hukum dan ahli hadits.

Masa anaknya Imam Al-Baqir, memimpin mashaf Ahlil Bait ini, suasana politik sudah agak berubah, pemerintah Bani Umayyah sudah mulai lemah, diserang kanan kiri dan dibenci oleh rakyat karena sifat feodalnya. Pengajaran-pengajaran Ahlil Bait digiatkan kembali dimana-mana, ulama-ulamanya memancar pergi menyiarkan ajaran Kitabullah dan Sunnah Nabi di Madinah dan dalam MasjidU Haram, terutama ruang yang terkuat dengan nama “Ruang Ibn Mahil”. Kemajuan yang sangat pesat dicapai dalam masa Imam As-Shadiq.

Ditiap negeri sudah ada orang alim yang mengajar mashaf ini. Madrasah Imam As-Shadiq di Madinah merupakan sebuah universitas yang besar, yang dikunjungi oleh mahasiswa dari seluruh pojok bumi Islam. Banyak yang mengirimkan utusan-utusannya. Sejarah pendidikannya menerangkan, bahwa ia seorang mujtahid besar; Tidak ada pertanyaan yang tidak dijawab dan jawabannya itu menjadi sumber hukum pula bagi murid-muridnya.

Terkenal sebuah ucapannya : “Tanyakanlah kepadaku sebelum aku mati, tidak akan ada seorangpun dapat memberikan kepadamu penjelasan seperti yang engkau dengar daripadaku” (Tazkiratul Huffaz, II : 157). Mengapa tidak demikian, karena dialah pewaris ilmu kakeknya yang masyhur itu. Mengenai A l i bin Abi Thalib, Nabi berkata : „Aku ini gudang ilmu dan Ali pintunya” (Hadits).

Maka oleh karena itu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam As-Shadiq dari ayahnya Al-Baqir, dari ayahnya Zainal Abidin, dari Husain bin Ali dan dari Nabi, dianggap sanad yang paling baik dan paling kuat Riwayat semacam ini dinamakan “Silsilah zahabiyah”, urutan keemasan demikian tersebut dalam kitab “Ma’-rifah Ulumut Hadits, karangan Hakim An-Naisaburi, hal. 55.

Jelaslah kepada kita mengapa ulama-ulama mengutamakan mashaf ini dalam sesuatu penetapan hukum. Tidak lain sebabnya melainkan karena salurannya sangat bersih. Pemerintah melihat bahayanya orang banyak dari mencari hokum kepada Imam As-Shadiq, dan tidak mau mendatangi hakim-hakim dan pengadilan resmi. Lalu diambil siasat, menyuruh ulamanya mengeluarkan fatwa, bahwa pintu ijtihad hukum Islam sudah tertutup.

Mashaf Ahlil Bait, yang kemudian terkenal dengan Mashaf Al- Ja’fari, tidak mau mentaati siasat pemerintah ini, pertama karena rakyat tidak mau mematuhinya, kedua karena menyebabkan orang Islam menjadi beku, tidak mau berfikir dan menggunakan akal, satusatunya anugerah Tuhan yang sangat mulia kepada manusia. Sebagai akibat keputusan ini, pemerintah menganggap-anggap mashaf itu meneutang kebijaksanaannya dan menghukum orang-orang yang tidak taat itu.

Dengan alasan ini pemerintah menganggap mashaf Ahlil Bait musuhnya, lalu dinyatakan sebagai suatu golongan yang dianggap keluar dari Islam karena salah i’tikadnya, padahal ulama-ulama Ahlil Bait tidak mau mentaatinya karena hakim-hakim itu zalim, dan umat Islam diperintahkan meninggalkan orang-orang yang zalim itu dan rajanya.

Sebagaimana terjadi dalam salah satu permusuhan, pemerintahan Bani Abbas lalu mencari-cari dan membuat-buat alasan untuk memburuk-burukkan mashaf ini dan Syi’ah  Ali yang memeluknya. Mereka menggunakan uang untuk menggaji mubaligh-mubaligh yang menyampaikan kecaman-kecaman mereka dalam mesjid-mesjid, menggunakan ahli-ahli pidato yang ulung dijalan-jalan, mengumpulkan ulama-ulama untuk mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan hawa nafsu mereka untuk menyerang Syi’ah sebagai musuh negara dan sebagai musuh Islam.

Mereka menyiarkan berita bohong, bahwa Syiah mengkafirkan semua sahabat Nabi, bahwa mereka tidak beramal menurut Qur’an dll. Dengan demikian diracuni pikiran rakyat dan digerakkan untuk membasmi golongan yang disebut salah itu. Bacalah kitab “Imam As-Shadiq wal Mazhahihil Arba’ah”, karangan Asad Haidar, terutama jilid ketiga, hal. 21-23.

Dengan demikian pula tuduhan-tuduhan yang bukan-bukan kepada Syiah ini berlarut-larut dari generasi-kegenerasi, dari ulama ke ulama dari kitab ke kitab. Sebagaimana yang akan kita singgung juga di mana ada kesempatan. 

bersambung