21/08/21

Dalam Beragama Perlu Akal [by KH Jalaluddin Rakhmat]

Mempelajari filsafat tidak hanya mengetahui teori-teori filsafat, tetapi juga mempraktikkan cara berfikir filsafat. Filsafat berguna dalam diskusi. Misalnya kalau kita diskusi antar mazhab biasanya tidak nyambung. Katakanlah diskusi antara orang Persis (Persatuan Islam) dengan orang NU (Nahdlatul Ulama). NU bersandar pada dalil-dalil yang dipegang NU dan Persis bersandar dengan dalil-dalil yang mendukung Persis. Kalau bersandar dengan masing-masing dalil tidak akan nyambung karena memegang keyakinannya sendiri-sendiri.

Sebetulnya ada yang bisa mempersatukan, yaitu menggunakan akal. Gunakanlah akal untuk menguji masing-masing dalil. Penggunaan akal dengan sistematis itulah yang disebut berfilsafat. Agar kita berfikir secara jernih. Itu namanya berfilsafat. Kalau kita berdiskusi antar agama dengan menggunakan masing-masing pegangannya maka tidak akan menyambung. Kalau orang Kristen menggunakan kitab sucinya saat berdiskusi dengan orang Islam maka tidak akan nyambung.

Begitu juga kalau orang Islam menggunakan al-Quran saat berdiskusi dengan orang Kristen maka tidak akan nyambung. Satu-satunya yang bisa menjadi wasit adalah akal. Menggunakan akal dengan jernih adalah berfilsafat. Mazhab Ahlulbait ditegakkan di atas Al-Quran, As-Sunah, dan Al-Aql. Kitab yang pertama dalam rangkaian Ushul Al-Kafi adalah kitab al-aqli. Addinu huwal aqlu la dina liman la aqlalahu. Agama itu menggunakan akal, tidak bisa beragama orang yang tidak menggunakan akalnya.

Pengajian saya yang menggunakan pendekatan akal ini dikiritik oleh seseorang yang dianggap tokoh agama di Bandung. Beliau mengatakan bahwa pendekatan yang dipergunakan oleh Jalaluddin Rakhmat itu logika iblis karena agama tidak bisa didekati dengan logika. Dari pernyataan itu bisa dipahami bahwa kalau agama tidak bisa didekati dengan logika maka agama itu tidak rasional.

Dalam istilah fiqih, orang yang tidak menggunakan akal adalah orang gila dan seluruh syariat agama tidak berlaku bagi orang yang tidak berakal. Dalam fiqih disebutkan syarat-syarat sah bagi yang memulai pertama ibadah shalat adalah aqil baligh. Aqil berarti berakal. Dari fiqih saja jelas bahwa agama tidak berlaku bagi orang yang tidak berakal. Kalau beragama tidak menggunakan akal maka kita akan terkena korban doktrin-doktrin sesat dan akan muncul guru-guru palsu yang menyesatkan. Biasanya guru-guru palsu yang mengajarkan aliran-aliran sesat memerintahkan murid-muridnya agar tidak menggunakan akal sehat.

Kalau pengajian saya ini, misalnya tidak menggunakan akal pasti murid-murid saya sudah banyak karena orang-orang di Indonesia sedikit yang menggunakan akal sehatnya.

Guru pertama yang mengajarkan berfikir dengan rasional atau menggunakan akal adalah Socrates. Kalau ada orang yang bertanya, Socrates menjawab dengan pertanyaan lagi. Pernah ada orang yang bercerita tentang keindahan. Kemudian ditanya oleh Socrates: apa keindahan itu? Orang itu menjawab: keindahan itu segala sesuatu yang menenangkan batin. Kemudian Socrates memberikan contoh-contoh yang sampai pada kesimpulan bahwa tidak semua yang menenangkan batin itu indah.

Dengan bimbingan Socrates, orang yang bertanya itu mengerti bahwa yang disebut indah itu kalau semua komponen berjalan dengan fungsinya. Misalnya mata itu indah kalau bisa digunakan untuk melihat. Kalau mata buta maka tidak akan indah lagi. Betapa pun indah bentuknya, telinga kalau tidak berfungsi maka tidak indah.

Suatu saat Socrates ditantang oleh anak muda yang wajahnya tampan. Kebetulan wajah Socrates tidak tampan. Paling jelek wajahnya. Kalau dalam pewayangan itu yang posisinya paling sisi adalah wayang yang paling jelek. Socrates itu hidungnya seperti hidung babi. Bibirnya tebal. Mulutnya besar. Meski jelek, tapi banyak yang suka kepada Socrates.

Malahan Plato sangat menyukainya dan menjadi muridnya. Bahkan ada yang mencintainya. Bahkan ada laki-laki yang jatuh cinta kepada Socrates. Ada yang menduga Socrates itu seorang gay atau homo. Sebenarnya itu karena Socrates pintar sehingga disukai.

Ada muridnya yang bernama Crito menantang Socrates. Crito menantang adu ketampanan dengan Socrates. Kemudian ditentukan ukuran ketampanan itu dari hidung. Crito mengatakan bahwa hidung yang dimilikinya lebih baik. Dibantah oleh Socrates bahwa hidung Crito itu lubang hidungnya ke tanah. Sedangkan hidung Socrates menghadap ke seluruh dunia dan lebih bisa menghisap wewangian dari seluruh penjuru bumi. Hidung Crito hanya bisa menghisap wewangian dari bawah. Karena itu, kata Socrates, hidungnya lebih baik karena lebih bisa menjalankan fungsinya. Crito pun membenarkannya.

Socrates mengaku bahwa mulut besarnya lebih baik dari Crito karena kalau dilihat dari fungsinya bisa lebih banyak menggigit. Socrates juga menyebutkan bibirnya lebih bagus dari bibir Crito karena lebih bisa berfungsi. Berkaitan dengan hidung mancung Crito juga dikritik oleh Socrates bahwa menghalangi pandangan mata yang menuju ke bawah. Sedangkan hidung pesek Socrates lebih baik karena tidak menghalangi pandangan mata. Akhirnya, Crito mengakui kepintaran Socrates dalam filsafat.

Karena Athena negara yang demokratis, Crito mengajak Socrates untuk menyerahkan penilaian kepada masyarakat. Siapa yang paling tampan? Berdasarkan penilaian, semua orang setuju bahwa Crito lebih tampan dari Socrates. Kemudian Socrates berkomentar bahwa Crito menang karena telah menyuap para juri.

Begitulah Socrates menggunakan filsafat. Berfilsafat seperti Socrates bisa dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu dalam rangka melatih agar kita berfikir jernih dan logis.

Suatu hari seorang laki-laki menyampaikan pengalamannya kepada saya. Menurutnya, orang yang berwilayah kepada Imam Ali bin Abi Thalib akan tenang dalam menghadapi kematiannya. Ia bercerita bahwa ada anak muda yang berwilayah kepada Imam Ali kemudian meninggal dengan tenang. Juga ibunya yang berwilayah kepada Imam Ali, meski biasa saja dalam menjalankan agama, meninggalnya dengan tenang. Kesimpulannya, setiap orang yang meninggal dengan tenang adalah orang yang berwilayah kepada Imam Ali.

Lalu, saya menyebutkan orang-orang Tionghoa yang meninggal dan diiklankan dalam surat kabar dengan kematian yang tenang dan damai. Saya bertanya kepadanya: apakah itu mereka berwilayah kepada Imam Ali? Ia menolaknya. Kemudian teori orang itu saya balik bahwa yang tidak tenang dalam matinya pasti karena tidak berwilayah kepada Imam Ali. Setiap orang yang mati dengan tidak tenang berarti tidak mengikuti Imam Ali. Ia membenarkannya. Kemudian saya sebutkan Imam Hasan yang meninggal karena diracun dengan penderitaan yang luar biasa hingga wafat. Imam Hasan sampai menghijau wajahnya akibat racun dan mengejang-ngejang. Saya sebutkan juga Imam Muhammad Baqir meninggal dengan penuh derita akibat racun sampai mengejang-ngejang. Apakah itu menunjukkan tidak berwilayah kepada Imam Ali?

Ia bingung dan tidak menjawab. Kemudian saya sebutkan pula kematian Imam Ali yang ditebas dengan pedang beracun. Sampai tiga hari Imam Ali menderita rasa sakit akibat racun hingga meninggal dunia. Kematian Imam Ali yang tidak tenang itu, apakah karena tidak berwilayah kepada dirinya sendiri? Ia semakin bingung dan tidak bisa menjawab.

Saya katakan kepadanya bahwa setiap orang yang berwilayah kepada Imam Ali akan meninggal dengan tenang. Namun, ukuran tenangnya tidak dari jasmaniah. Kalau tenang ditentukan dengan sikap tubuh maka bagaimana dengan orang yang meninggal dunia yang diakibatkan oleh penyakit-penyakit. Apakah ini berarti tidak tenang? Ukuran tenang ditentukan ruh atau keadaan ruhani. Maka ini yang sesuai dengan firman Allah, wahai jiwa yang tenteram. Jelas bukan tubuh. Tubuh Imam Husain porak poranda. Kepalanya dipotong dan badannya banyak luka. Secara keseluruhan keadaan tubuh Imam Husain sangat mengenaskan. Apakah meninggalnya Imam Husain termasuk tidak tenang? Jawabannya tentu tidak. Ukuran tenang bukan pada tubuh, tapi pada ruh. Setelah saya katakan itu, ia terdiam dan tidak datang lagi pada pengajian.

Seorang tokoh NU datang kepada saya. Dalam pertemuan itu saya guncangkan jiwanya. Ia menyampaikan kepada saya setelah bertemu dan berbicara dengan saya, ia tidak bisa tidur. Ia gelisah dan sering menangis. Kemudian mendatangi dan berbincang dengan saya. Ia kemudian berhaji dan mengirimkan SMS dari tanah suci dengan berbagai pertanyaan dan masalah. Itu terjadi setelah jiwanya digoncangkan dan kepribadiannya dijernihkan sehingga hidupnya bermakna.

Memang biasanya orang yang baru pertama kali diajak berpikir jernih akan goncang jiwanya. Banyak orang yang mengaji kepada saya menjadi goncang jiwanya setelah diajak berpikir jernih. Hanya para filusuf yang bersedia mengalami goncangan jiwa untuk menjernihkan pikirannya. Karena itu, ikuti pelajaran filsafat untuk menggoncangkan jiwa dan dibikin gelisah. Karena setelah itu pikiran kita menjadi jernih.

Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa lebih baik keimanan yang didahului dengan guncangan ketimbang keimanan yang kemudian mendapat guncangan. Lebih baik tenteram setelah terguncang daripada tenteram kemudian terguncang. ***

Dr KH Jalaluddin Rakhmat, Ketua Dewan Syura IJABI

(Naskah ditranskrip oleh kang Ahsa dari ceramah di Pengajian Ahad Masjid Al-Munawwarah)