03/09/21

Hukum Permainan Catur

Soal: Sebagian fukaha (ahli fikih) melarang catur dan backgammon, apakah Anda setuju?

Jawab: Sebelumnya permainan-permainan (catur dan backgammon) ini dianggap sebagai permainan judi. Karena itu, memainkan permainan ini dilarang sampai sekarang walau pun untuk taruhan simbolis. *** 

Soal: Untuk menghindari kecurigaan dan ketidakpastian mengenai hukum yang berkaitan dengan permainan-permainan semacam itu, bukankah lebih baik apabila Anda memilih antara melarangnya atau mengeluarkan keputusan ihtiyath wajib (pencegahan yang wajib)? 

Jawab: Terdapat perbedaan yang besar mengenai kehati-hatian kita mengenai segala hal, yang diperkirakan mesti dilarang, dan tindakan kita memperlihatkan fakta yang konkret dan kuat mengenai boleh tidaknya. Oleh karena itu, hal seperti ini merupakan tanggung jawab para ahli fikih untuk menyampaikan faktanya dan menentukan boleh tidaknya suatu hal berdasarkan peraturan-peraturan yang disetujui oleh para ahli fikih. Jadi, orang-orang dapat mengambil pilihan mereka apakah berhati-hati atau tidak.   

Lebih jauh lagi, apabila kita berusaha menjadikan kehati-hatian yang wajib sebagai sebuah hukum, maka kita mesti berhati-hati pada setiap hal di sekitar kita lantaran segala sesuatu memiliki sisi negatif yang lain. Tetapi kita sebaiknya tidak keberatan apabila para ahli fikih lainnya lebih suka mengambil sikap berhati-hati wajib (ahwath wujubi) karena takut melakukan kesalahan sehingga jatuh pada apa-apa yang dilarang. Namun walaupun kehati-hatian ini tidak ditolak, kita sadari bahwa hukum ini mungkin menyulitkan hidup manusia, misalnya dia mungkin melihat larangan dalam hal-hal yang mungkin tidak dilarang, atau mungkin dia melihat kewajiban dalam hal-hal yang wajib.

Jadi, berhati-hati adalah tindakan yang baik. Namun mungkin akan menyulitkan orang itu dan juga kehidupannya. Karena itu, tanggung jawab ahli fikih adalah memfasilitasi kehidupan bukan melengkapkannya.

Dengan kata lain, para ahli fikih harus mengeluarkan peraturan-peraturan secara berani dan percaya diri dengan fakta konkret yang dapat memecahkan kehidupan manusia. Yakni si mukallaf boleh memilih antara mengamalkan fatwa tersebut atau bertaklid pada mujtahid lainnya yang mempunyai fatwa tersebut dengan syarat menjaga urutan kelebihpandaian (a'lamiyyah) marja taklid (tokoh agama yang fatwanya (keputusan hukumnya) mengikat para muqallid (orang yang bertaklid).***

(Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, Soal Jawab Fikih Kontemporer. Cianjur: Titian Cahaya, 2005)