30/09/21

Mengenal Imam Ali bin Abi Thalib as

image

Bahwa dalam Islam, setelah meninggalnya Rasulullah saw, terus dan akan tetap terus ada dalam masyarakat Islam (umat) seorang Imam (pemimpin yang dipilih oleh Allah).

Banyak hadis Nabi Muhammad Saw yang diwariskan dalam kepercayaan syiah terkait dengan deskripsi dan jumlah Imam, fakta bahwa mereka semua berasal dari suku Quraysh dan kerabat Rasulullah, dan fakta bahwa Imam Mahdi yang dijanjikan ada di antara mereka dan merupakan yang terakhir. Ada juga perkataan-perkataan Nabi yang shahih terkait dengan keimaman Imam ‘Ali dan keberadaannya sebagai Imam pertama. Begitu juga sabda Nabi dan Imam ‘Ali terkait keimaman Imam kedua yakni Hasan bin Ali. 

Dengan cara yang sama, Imam-imam terdahulu meninggalkan pernyataan yang jelas tentang keimaman dari para imam penerusnya. Sesuai dengan perkataan yang terdapat dalam kitab Duabelas Imam Shiah, para Imam tersebut adalah (1) 'Ali bin Abi Thalib; (2) al-Hasan bin 'Ali; (3) al-Husain bin 'Ali; (4) 'Ali bin al-Husain; (5) Muhammad bin 'Ali; (6) Ja'far bin Muhammad; (7) Musa bin Ja'far; (8) 'Ali bin Musa; (9) Muhammad bin 'Ali; (10) 'Ali bin Muhammad; (11) al-Hasan bin 'Ali; dan (12) al-Mahdi.

Imam Pertama

Amirul Mukminin ‘Ali ra adalah putra dari Abu Thalib, seorang bangsawan dari Bani Hashim. Abu Thalib adalah paman dan penjaga dari Rasulullah saw dan orang yang membesarkannya seperti putranya sendiri. Setelah Rasulullah dipilih untuk menjalankan tugas kerasulannya, Abu Thalib terus mendukungnya dan melindunginya dari kejahatan yang datang dari orang-orang kafir Arab, terutama dari suku Quraysh. Menurut sejarah lisan, Imam ‘Ali lahir sepuluh tahun sebelum kenabian Rasulullah. Pada umur enam tahun, karena adanya bencana kelaparan di dan sekitar Mekah, beliau diminta oleh Rasulullah untuk meninggalkan rumah ayahnya dan tinggal di rumah Rasulullah.

Di sanalah beliau dijaga dan dipelihara secara langsung oleh Rasulullah. Beberapa tahun kemudian, ketika Rasulullah dianugrahi kenabian oleh Allah dan untuk pertama kalinya menerima wahyu Allah di gua Hira’, pada saat Rasulullah meninggalkan gua untuk kembali ke kota dan rumahnya beliau bertemu ‘Ali di jalan. Rasulullah menceritakan kepada Imam ‘Ali apa yang telah terjadi dan Imam ‘Ali menerima agama baru tersebut. Kemudian pada saat Rasulullah mengumpulkan para kerabatnya dan mengajak mereka untuk menerima agamanya, beliau berkata bahwa orang pertama yang menerima ajakannya akan dijadikan wakil, pewaris dan deputinya. Hanya Imam ‘Ali yang berdiri dari duduknya dan menerima agama Rasulullah dan Rasulullah menerima pengakuan keimanan Imam ‘Ali tersebut. 

Oleh karena itu Imam ‘Ali adalah orang pertama yang menerima iman Islam dan yang pertama di antara para pengikut Rasulullah yang tidak pernah mempersekutukan Allah. Imam ‘Ali selalu menemani Rasulullah sampai hijrahnya dari Mekah ke Madinah. 

Pada malam sebelum terjadi hijrah ke Madinah, ketika orang-orang kafir mengepung rumah Rasulullah dan berencana menyerang rumah tersebut pada malam hari dan membunuh Rasulullah ketika sedang tidur. Imam ‘Ali tidur di ranjang Rasulullah ketika beliau meninggalkan rumah dan berangkat ke Madinah. Setelah keberangkatan Rasulullah, sesuai dengan keinginan beliau Imam ‘Ali mengembalikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada pengikut yang ditinggalkan. Kemudian Imam ‘Ali pergi ke Madinah bersama ibunya, putri Rasulullah dan dua wanita lain. Di Madinah Imam ‘Ali juga terus menemani Rasulullah baik secara pribadi maupun di depan umum. Rasulullah memberikan Fatimah, anak tunggal kesayangan dari istri beliau Khadijah, kepada Imam ‘Ali sebagai istri dan ketika Rasulullah membuat ikatan persaudaraan di antara para pengikutnya, beliau memilih Imam ‘Ali sebagai saudaranya. Imam ‘Ali selalu ada dalam perang yang melibatkan Rasulullah, kecuali perang Tabuk ketika beliau diperintahkan tinggal di Madinah untuk menggantikan Rasulullah. Tidak pernah Imam ‘Ali mundur dalam peperangan atau melarikan diri dari musuh. 

Beliau tidak pernah tidak mematuhi Rasulullah, sehingga Rasulullah pernah berkata: “ ‘Ali tidak pernah berpisah dari kebenaran atau kebenaran berpisah dari ‘Ali.” Pada hari meninggalnya Rasulullah, Imam ‘Ali berumur tigapuluh tiga tahun. Walaupun beliau yang paling terkemuka dalam keutamaan beragama dan pengikut Rasulullah yang paling hebat, beliau dikesampingkan untuk menjadi khalifah karena terlalu muda dan mempunyai terlalu banyak musuh karena terlalu banyak membunuh orang-orang kafir dalam perang yang diikutinya bersama Rasulullah. Oleh karena itu, Imam ‘Ali hampir menutup diri dari urusan kemasyarakatan. Beliau kembali ke rumahnya untuk memulai mempelajari kecakapan dalam ilmu agama dan dengan cara inilah beliau melewati tigapuluh lima tahun kekhalifahan dari ketiga khalifah yang berkuasa setelah Rasulullah, yang pertama dipilih oleh beberapa umat Islam; yang kedua dipilih oleh khalifah pertama dan yang ketiga dipilih dari enam kandidat yang tidak seimbang yang dinominasikan oleh khalifah kedua. 

Ketika khalifah ketiga terbunuh, masyarakat memberikan kepercayaan kepada beliau dan kemudian dipilih sebagai khalifah. Selama masa kekhalifahan beliau yang berumur hampir empat tahun sembilan bulan, Imam ‘Ali mengikuti dengan tepat cara-cara Rasulullah dan memberikan banyak gerakan spiritual, pembaharuan dan memulai banyak jenis reformasi pada gaya kekhalifannya. Perubahan-perubahan yang dilakukannya tidak sejalan dengan kepentingan pihak tertentu dalam mencari keuntungan. Hasilnya, sekelompok pengikut (beberapa yang paling utama adalah Thalhah dan Zubair, yang juga mendapat dukungan dari ‘Aishah dan terutama Mu’awiyah) membuat kematian khalifah ketiga sebagai alasan untuk beroposisi dan memulai pemberontakan kepada Imam ‘Ali. Untuk memadamkan kerusuhan dan penghasutan, Imam ‘Ali memerangi Thalhah dan Zubair di  dekat Basrah, yang dikenal sebagai Perang Unta, di mana ‘Aishah, ‘Sang Ibu yang Terpercaya, juga ikut terlibat. 

Beliau berperang melawan Mu’awiyah di perbatasan Irak dan Syria selama satu setengah tahun yang kemudian dikenal sebagai Perang Siffin. Beliau juga memerangi Khawarij di Nahrawan dalam perang yang dikenal sebagai ‘Perang Nahrawan’. Oleh karena itu sebagian besar masa kekhalifahan Imam ‘Ali dihabiskan untuk mengatasi perpecahan internal. Akhirnya pada suatu pagi tanggal 19 Ramadhan 40 H, ketika sedang berdoa di mesjid Kufah, beliau dilukai oleh salah satu orang Khawarij dan meninggal shahid pada malam tanggal 21 Ramadhan 40 H. Menurut kesaksian kawan dan lawan, Imam ‘Ali tidak mempunyai kekurangan secara kesempurnaan manusia. Dalam Islam, beliau adalah contoh yang sempurna hasil didikan dan bimbingan Rasulullah. Bukti-bukti terkait kepribadian beliau dan buku-buku yang ditulis tentang beliau oleh kaum Shiah, Sunni dan agama lain, seperti juga pihak-pihak lain agama yang tertarik, sulit untuk ditandingi oleh kepribadian orang lain dalam sejarah. 

Dalam ilmu dan pengetahuan Imam ‘Ali adalah sahabat Rasulullah dan orang Islam yang paling terpelajar. Beliau adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang memperbolehkan pembuktian logika untuk mendiskusikan ilmu Allah atau metafisika (ma'arif-e Ilahiyyah). Beliau berbicara tentang aspek esoterik pada Qur’an dan memikirkan tata bahasa Arab untuk menjaga bentuk ekspresi dalam Qur’an. Beliau adalah orang Arab yang paling pandai dan fasih berpidato (seperti sudah disebutkan pada bagian pertama buku ini). Keberanian Imam ‘Ali sangat terkenal. Dalam semua perang yang diikutinya selama masa hidup Rasulullah dan setelahnya beliau tidak pernah menunjukkan rasa gentar atau cemas. Walaupun dalam banyak perang seperti Uhud, Hunain, Khaibar dan Khandaq, para pembantu Rasulullah dan tentara Muslim menunjukkan rasa gentar atau bubar atau melarikan diri, beliau tidak pernah memalingkan diri dari musuh. Tidak pernah ada seorang tentara pun yang berperang dengan Imam ‘Ali dan kembali hidup-hidup. 

Walaupun demikian, dengan penuh jiwa ksatria beliau tidak pernah membunuh musuh yang sudah lemah atau mengejar musuh yang sudah melarikan diri. Beliau tidak pernah menyerang musuh secara mendadak atau pada kebalikan arus sungai. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pada Perang Khaibar pada serangan terhadap benteng Imam ‘Ali menjangkau pegangan gerbang dan mencabut kemudian melemparkan gerbang tersebut. Juga pada saat Mekah ditaklukkan dan Rasulullah memerintahkan semua berhala untuk dihancurkan. Berhala ‘Hubal’ adalah yang terbesar di Mekah, arca raksasa yang ditempatkan di puncak Ka’bah. Mengikuti perintah Rasulullah, Imam ‘Ali menginjakkan kaki di pundak Nabi, memanjat ke puncak Ka’bah, mencabut ‘Hubal’ dari tempatnya dan melemparnya ke bawah. 

Imam ‘Ali juga tanpa tandingan dalam hal asketisme religius dan pemujaan Allah. Menjawab keluhan beberapa orang akan kemarahan Imam ‘Ali terhadap mereka, Rasulullah menjawab: “Jangan mendekati ‘Ali karena ia sedang dalam keadaan ekstase dan kekaguman religius.” Abu Darda, salah seorang teman, suatu hari melihat Imam ‘Ali sedang berbaring di sebuah kebun kurma di Madinah dalam kondisi sekaku kayu. Ia kemudian pergi ke rumah Imam ‘Ali untuk memberitahu istri beliau, putri Rasulullah dan menyatakan duka cita. Putri Rasulullah berkata: “Sepupuku (‘Ali) belum meninggal. Ia cuma pingsan karena takut kepada Tuhan. Hal ini sering terjadi.” 

Banyak sudah cerita yang bersangkutan dengan kebaikan Imam ‘Ali terhadap kaum lemah, kasih sayang kepada yang miskin dan membutuhkan dan kedermawanan dan kemurahan hati kepada kaum yang menderita dan dalam kemiskinan. Imam ‘Ali menghabiskan hartanya untuk menolong kaum yang miskin dan membutuhkan, dan beliau sendiri hidup sangat sederhana. Imam ‘Ali beraktivitas bidang pertanian dan menghabiskan banyak waktu untuk menggali sumur, menanam pohon dan mengurus ladang. Akan tetapi semua ladang yang beliau garap atau sumur yang beliau bangun disumbangkan sebagai wakaf terhadap orang-orang miskin. Sumbangan beliau, dikenal sebagai sedekah Imam Ali, bernilai total duapuluh empat ribu dinar emas sampai akhir hidupnya. * * * 

Artikel merupakan terjemahan dari buku A Brief History of The Fourteen Infallibles (page 59-69). Publisher: Ansariyan Publications Next day Shipping from Maryland; Fifth edition (January 1, 2005).