Tanya
Mengapa Allah Swt tidak memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk melakukan nikah mutah? Pada surah al-Nisa tatkala menjelaskan hukum mut’ah, bahkan Allah Swt sendiri tidak mengunakan kalimat perintah? Apakah ada sanadnya yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As bahkan putra-putranya melakukan jenis pernikahan ini? Atau paling tidak memerintahkan orang untuk melakukan mut’ah? Apakah setelah pelarangan Umar dalam urusan mut’ah, tatkala Imam Ali As memegang tampuk pemerintahan, apakah terdapat nash yang tegas yang menyatakan pencabutan pembatasan ini dari sisi Imam Maksum As? Apakah dalam pernikahan mut’ah, pria dapat menikah dengan beberapa wanita pada saat yang sama tanpa ada batasan? Dan memerlukan izin dari istri-istri mut’ahnya?
Jawaban
Kesatu, Islam sebagai agama paling sempurna membolehkan dan mensyariatkan pernikahan sementara (mut’ah) yang boleh jadi disebabkan oleh pelbagai persoalan yang dihadapi sebagian orang, sehingga tidak mampu melangsungkan pernikahan tetap. Pernikahan mut’ah dapat digunakan sebagai remedi (obat sementara) di tengah masyarakat. Hal ini merupakan salah satu poin positif dan progressif ajaran Islam yang di samping menjawab kebutuhan seksual secara permanen, juga menyodorkan solusi sementara dan beraturan kepada masyarakat.[1]
Al-Quran dalam hal ini menyatakan:
«وَ أُحِلَّ لَكُمْ ما وَراءَ ذلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا
بِأَمْوالِكُمْ مُحْصِنينَ غَيْرَ مُسافِحينَ
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَريضَةً وَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ
فيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَريضَةِ إِنَّ
اللهَ كانَ عَليماً حَكيماً»
“Dan dihalalkan bagimu selain wanita-wanita yang telah disebutkan itu, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi, bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut‘ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah dosa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Nisa [4]:24)
Ayat ini merupakan ayat-ayat madani yang diturunkan kepada Rasulullah Saw pada masa-masa pertama Hijrah di Madinah. Pada masa itu, kaum Muslimin melangsungkan nikah mut’ah, tetapi sebagian dari mereka tidak menyerahkan mahar. Kemudian ayat ini turun yang menyatakan bahwa sekiranya kalian telah menikahi secara mut’ah maka berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna sebagai sebuah kewajiban.[2]
Kedua, Nikah mut’ah merupakan salah satu pernikahan yang telah mentradisi pada masa jahiliyah dan sebelum kedatangan Islam. Islam banyak menghapus tradisi-tradisi dan aturan-aturan jahiliyah, namun tetap menerima sebagian darinya dengan syarat-syarat dan pakem-pakem tertentu. Nikah mut’ah merupakan salah satu tradisi yang telah diramu dan diperbaiki dan pada masa-masa itu mut’ah dikenal dengan lafaz dan istilah ini. Ayat pun turun berdasarkan percakapan dan terma yang berkembang pada masyarakat saat itu.
Dalam buku “Târikh al-Jahiliyah” sehubungan dengan nikah mut’ah disebutkan, “Nikah sementara dilakukan dalam bentuk akad personal antara pria dan wanita yang tidak perawan pada masa jahiliyah di mana dengan penikahan itu pria menyerahkan sejumlah uang kepada wanita sebagai ganti manfaat yang diperoleh. Pernikahan ini berakhir seiring dengan berakhirnya masa perjanjiannya.[3]
Akan tetapi pada sebagian perkara, terdapat sebagian pria yang tidak menyerahkan mahar atau upah yang telah disepakati. Allah Swt dalam ayat ini mengingatkan penyimpangan ini dan berfirman bahwa apabila kalian telah nikah mut’ah maka hendaknya kalian menyerahkan upah kepada wanita yang telah kalian peroleh manfaat darinya.
Ketiga, Ayat (al-Nisa:24) ini berada pada tataran menjelaskan kebolehan, kehalalan, syarat-syarat sahnya pernikahan ini dan bahwa pernikahan ini dipraktikan masyarakat sebelum kedatangan Islam. Allah Swt tetap memperkenalkan pernikahan ini sebagai sesuatu yang halal dan memperbaikinya dengan menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Karena itu, pada ayat ini yang mengemuka adalah pembahasan keabsahan dan kebolehan pernikahan semacam ini bukan keharusan (wujub) dan adanya anjuran melakukannya sehingga tidak perlu dinyatakan dengan kata kerja perintah (fi’il amr).[4]
Kebolehan nikah mut’ah dan syarat-syarat lainnya disebutkan dalam banyak riwayat. Pada kitab Wasâil al-Syiah terdapat lebih dari 32 hadis dalam masalah ini, di antaranya:
Imam Shadiq As bersabda, “Nikah mut’ah adalah urusan yang tentangnya
(kehalalannya) diturunkan sebuah ayat al-Quran dan (nikah mut’ah ini adalah)
sunnah Rasulullah Saw.”[5]
Imam Shadiq As bersabda, “Barangsiapa yang tidak meyakini kehalalan mut’ah maka ia bukan dari kami.”[6]
Sebagian riwayat juga menunjukkan adanya anjuran (istihbâb) atau masalah ini. Karena Syiah memandang bid’ah dalam agama mereka yang mengharamkan nikah mut’ah sehingga dalam Syiah, nikah mut’ah dipandang mustahab sebagai upaya untuk melawan bid’ah ini. Melakukan nikah mut’ah sendirinya merupakan sejenis upaya menghidupkan sunnah Rasulullah Saw. Hal ini berulang kali disebutkan dalam pelbagai riwayat. Misalnya sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa kalian tidak boleh meninggalkan dunia ini kecuali kalian sebelumnya telah menghidupkan sunnah Ilahi ini.[7]
Salah satu syarat dan tipologi nikah mut’ah adalah dibolehkan bagi pria untuk nikah mut’ah lebih dari empat – meski ia telah memiliki istri dari pernikahan daim (permanen). Banyak riwayat yang menyebutkan hal ini. Di antaranya adalah Zurarah yang meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Imam Maksum As, “Berapa orang dibolehkan dalam nikah mut’ah?” “Berapa pun yang engkau suka.” Jawab Imam pendek.[8]
Demikian juga, dari sudut pandang syariat Islam, izin dan restu istri pertama tidak diperlukan baik untuk nikah daim atau nikah sementara,[9] kecuali disyaratkan dan dinyatakan sebelumnya dalam akad.
Keempat, Sehubungan dengan pertanyaan apakah para Imam Maksum As juga melakukan praktik nikah mut’ah atau tidak? Disebutkan dalam riwayat dari Imam Shadiq As yang bersabda bahwa Rasulullah Saw melakukan praktik nikah mut’ah.[10] Imam Ali As menikah mut’ah dengan seorang wanita dari Bani Nahsyal di Kufah.[11]
Dengan memperhatikan riwayat dan nikah mut’ah ini, kemungkinan Imam Ali as melakukan nikah mut’ah pada masa pemerintahannya di Kufah yang merupakan pusat pemerintahan. Karena sebelumnya Imam Ali tinggal di Madinah. Riwayat ini dapat menjadi dalil atas praktik nikah mut’ah. ***
RUJUKAN
[1]. Diadopsi
dari Pertanyaan 347 (Site: 353) yang tercantum pada Islam Quest, Indeks:
Problematikan Pelaksanaan Nikah Mut’ah Di Tengah Masyarakat.
[2]. Muhammad
Ridha Dhamiri, Darsnâmeh Fiqh Maqârin, Pasuk be
Syubhat-e Fiqhi, hal. 285, Cetakan Pertama, Muassasah Amuzesy wa Pazyuhesy
Madzhahib Islami, Qum, 1384 S.
[3]. Umar
Farukh, Târikh al-Jâhiliyah, hal. 156, Cetakan Kedua.
[4]. Untuk
telaah lebih jauh terkait dengan dalil-dalil ayat ini atas nikah mut’ah dan
jawaban-jawaban atas pelbagai syubhat dalam hal ini silahkan lihat, “Darsnâmeh Fiqh Maqârin, Muhammad Ridha Dhamiri, Pasuk
be Syubhat-e Fiqhi, hal. 285, Cetakan Pertama, Muassasah Amuzesy wa Pazyuhesy
Madzhahib Islami, Qum, 1384 S.
[5]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 6, Muassasah Alu
al-Bait, Qum, 1409 H.
[6]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 8.
[7]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 13.
[8]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 18.
[9]. Untuk
telaah lebih jauh silahkan lihat Pertanyaan 807.
[10]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 13.
«قَالَ الصَّدُوقُ وَ قَالَ الصَّادِقُ ع إِنِّي
لَأَكْرَهُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَمُوتَ وَ قَدْ بَقِيَتْ عَلَيْهِ خَلَّةٌ مِنْ
خِلَالِ رَسُولِ اللَّهِ ص لَمْ يَأْتِهَا فَقُلْتُ فَهَلْ تَمَتَّعَ رَسُولُ
اللَّهِ ص قَالَ نَعَمْ وَ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ وَ إِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ
إِلى بَعْضِ أَزْواجِهِ حَدِيثاً إِلَى قَوْلِهِ ثَيِّباتٍ وَ أَبْكاراً».
[11]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 10.
«قَالَ وَ رَوَى ابْنُ بَابَوَيْهِبِإِسْنَادِهِ أَنَّ
عَلِيّاً ع نَكَحَ امْرَأَةً بِالْكُوفَةِ مِنْ بَنِي نَهْشَلٍ مُتْعَةً.»