08/04/22

Mengapa Muslim Syiah Tidak Puasa pada Waktu Bepergian?

Pernah muncul pertanyaan: mengapa Muslim Syiah tidak berpuasa pada waktu bepergian? Berkenaan dengan berbuka pada waktu bepergian (safar), para fuqaha terbagi pada  dua  kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa berbuka dalam perjalanan adalah ‘azimah, kewajiban yang tidak ada pilihan di dalamnya. Kelompok kedua berpendapat berbuka dalam safar itu rukhshah, pilihan. Kita boleh memilih berbuka atau berpuasa. Kelompok kedua ini berbeda dalam menentukan mana yang lebih baik-berbuka atau berpuasa.

Fuqaha Ahlulbait[1]sepakat bahwa berbuka dalam safar hukumnya wajib.  Artinya  berbuka  itu  azimah  dan  bukan pilihan. Mereka berpegang pada dalil-dalil berikut:

Surah Al-Baqarah ayat 185:  “…  Barangsiapa  yang  menyaksikan di  antara  kamu  bulan Ramadhan hendaklah ia berpuasa. Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (berpuasalah) sebanyak bilangan (yang tidak berpuasa) pada  hari-hari yang  lain.”  Mafhum  ayat  ini  jelas  menunjukkan bahwa  berpuasa  diwajibkan  bagi  yang hadir (yang  menyaksikan)  dan  bukan musafir. Yang sakit dan musafir, diwajibkan berpuasa pada hari-hari yang lain di luar bulan Ramadhan.

Shahih Muslim (3: 141), “Sesungguhnya Rasulullah saw keluar menuju Makkah pada  Tahun  Kemenangan  (‘Am al-Fath) di bulan Ramadhan. Ia berpuasa  sampai  tiba  di Kura’ al-Ghamim. Dan berpuasa jugalah orang. Kemudian ia meminta satu cawan  air.  Ia  mengangkat  cawan itu sampai orang-orang melihatnya. Kemudian  ia  minum. Dikatakan kepadanya  sesudah  itu: Sebagian orang masih tetap berpuasa? Rasulullah saw bersabda; Ulaika al-‘Ushaat, Ulaika al-‘Ushaat. Mereka itu para pembangkang. Mereka itu para pembangkang (pelaku maksiat).”

Shahih Muslim  (3: 142) dari  Jabir, “Rasulullah saw sedang dalam perjalanan. Ia melihat seseorang yang sedang dikelilingi  orang  banyak.  Ia  dinaungi  orang. Nabi Muhammad saw bertanya:  Apa  yang  terjadi  padanya?  Mereka  berkata:  Ia sedang berpuasa. Rasulullah saw bersabda: Bukan termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan.”

Sunan  Ibn  Majah  (1: 532)  hadis  1666,  dari  Abd  al-Rahman  bin ‘Awf:  “Rasulullah  saw  bersabda,  ‘Berpuasa Ramadhan  dalam  perjalanan  dihitung  sama  dengan  tidak berpuasa ketika tidak bepergian (dalam keadaan hadir).”

Sunan  Ibn  Majah  (1: 533)  hadis  1667,  dari  Anas bin Malik  yang  melaporkan bahwa  seorang lelaki dari Bani ‘Abd al-Asyhal berkata: “Kendaraan Rasulullah saw tiba di tempat  kami.  Aku  mendatangi  Rasulullah  saw  dan ia  sedang  makan.  Ia  bersabda:  Mendekatlah  dan  makanlah.  Aku  berkata:  Aku  sedang  berpuasa.  Ia bersabda: Duduklah, akan  kujelaskan  padamu  perihal  puasa, shawm atau shiyam. Sesungguhnya Allah Swt membebaskan dari musafir setengah shalatnya, dan dari musafir, orang sakit, yang hamil, yang menyusui puasanya. (Kemudian orang itu melanjutkan). Demi Allah, ia telah mengucapkan semuanya atau salah  satu  di  antaranya. Duhai malangnya diriku, kenapa aku tidak  ikut makan  dari  makanan  Rasulullah saw.”

Berbuka pada waktu safar juga tradisi dari para sahabat Nabi Muhammad saw. Ibnu  ‘Umar  berkata:  Kalau  orang  berpuasa pada waktu bepergian ia harus mengqadhanya ketika tidak bepergian  (Al-Fakhr  al-Razi,  Al-Tafsir  al-Kabir  5:76).

Umar bin Khaththab memerintahkan orang yang berpuasa dalam perjalanan untuk mengulangi (mengganti) puasanya (Musnad  Ahmad  bin  Hanbal  3:329).  Ibnu  Abbas  berkata:

“Berbuka  dalam  safar  itu  ‘azimah  (Al-Durr  al-Mantsur 1: 191).

Di  bawah  ini  dikutipkan  pendpat  para  sahabat  dan tabi’in tentang wajibnya berbuka pada waktu safar, seperti dihimpunkan oleh Ibn Hazm, Al-Muhalla (6: 256-258): “Melalui  Sofyan  bin  ‘Uyaynah,  dari  ‘Ashim bin Abdillah, dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari Umar bin  Khaththab,  bahwa  ia  menyuruh  seorang  laki-laki untuk mengganti puasanya pada waktu bepergian.

Dari Umar bin Abi Salamah bin Abd al-Rahman bin ‘Awf, dari bapaknya. Ia berkata: Aisyah Ummul Mu’minin melarang aku berpuasa Ramadhan dalam perjalanan. Dari Abu Hurairah: Bukan termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan. Melalui Syu’bah bin Abi  Hamzah,  Nashr  bin ‘Imran  al-Dhab’i.  Ia  berkata:  Aku  bertanya  kepada  Ibn Abbas  tentang  berpuasa  dalam  perjalanan.  Ia  berkata: Mudah  dan  sulit.  Ambillah  yang  dimudahkan  Allah  Swt. Kata Abu Muhammad: Pernyataannya bahwa puasa dalam perjalanan itu sulit menunjukkan wajibnya berbuka.

Dari ‘Ammar  mawla  Bani  Hasyim, yaitu  Ibn  Abi ‘Ammar-dari  Ibn  Abbas. Ia  ditanya  tentang  berpuasa dalam  perjalanan.  Berkata  Ibnu  Abbas: Tidak  sah.  Yakni batal puasanya. Dari  Ibn  ‘Umar  ia  ditanya  tentang  berpuasa  dalam perjalanan.  Ia  menjawab:  Barangsiapa  yang  sakit  atau  dalam perjalanan  (berpuasalah)  sebanyak  bilangan  (yang  tidak berpuasa)  pada  hari-hari  yang  lain.

Dari  Yusuf  bin  al-Hakam al-Tsaqafi bahwa Ibnu ‘Umar ditanya tentang berpuasa dalam safar. Ia berkata: Itulah sedekah Allah yang diberikan kepada kamu. Bagaimana pendapatmu jika kamu bersedekah dan orang menolak sedekahmu? Bukankah kamu marah? Kata Abu  Muhammad: Ini menjelaskan bahwa menurut Ibn Umar berpuasa dalam safar di bulan Ramadhan  mengundang murka Allah  Swt. Dan ia tidak pernah berkata begitu untuk sesuatu yang diperbolehkan. Melalui Hammad bin  salamah,  dari  Kultsum  bin Jabr: Seorang  perempuan  menyertai Ibn Umar dalam perjalanannya. Kemudian makanan dihidangkan. Ibn Umar berkata  kepadanya: Makanlah! Perempuan itu  berkata: Aku sedang berpuasa. Kata Ibn Umar:  Janganlah  kamu bersama kami. Melalui  Abi  Mu’awiyyah. Menyampaikan kepada kami Ibn Abi  Dzi’b,  dari  Al-Zuhri,  dari  Hamid  bin Abdir  Rahman  bin ‘Awf,  dari  bapaknya.  Ia  berkata; Yang berpuasa  pada  waktu  safar  sama  hukumnya  dengan  yang tidak berpuasa pada waktu hadir. Hadis ini sangat sangat shahih (fi ghayat al-shihhah).

Dari anak Abu Hurairah. Ia  berkata:  Aku  berpuasa Ramadhan dalam  perjalanan.  Abu Hurairah memerintahkan kepadaku untuk mengulanginya lagi di tengah-tengah keluargaku dan agar aku mengqadhanya. Maka aku lakukan qadha itu.

Dari Abdir Rahman bin Harmalah: Seorang lelaki bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyab: Bolehkah aku lengkapkan shalat dan berpuasa dalam safar? Kata Sa’id: Tidak boleh.  Ia  berkata: Aku  kuat  melakukannya.  Kata  Sa’id:  Rasulullah  saw  lebih  kuat  dari  kamu;  dan  ia  mengqashar shalatnya dan berbuka dalam puasanya.

Dari  riwayat berikut ini  kita  ketahui  bahwa  pada zaman Rasulullah saw dan zaman para sahabat, kebiasaan yang  berlaku  luas  adalah  berbuka  pada  waktu  safar. Ketika  salah  seorang  sahabat  Nabi  saw,  Dihyah  al-Kalbi keluar  dari  Damaskus  di  bulan  Ramadhan  sejauh  tiga mil,  ia  berbuka. Maka  berbuka  juga  orang-orang yang bersamanya. Sebagian lainnya ada yang tidak mau berbuka. Ketika  ia  kembali ke negerinya  ia  berkata: Demi  Allah, aku  belum  pernah  melihat  apa  yang  aku  lihat  sekarang-sekarang  ini.  Aku  tidak  mengira  bakal  melihat  kejadian itu. Orang-orang sudah berpaling dari petunjuk Rasulullah saw. Ia  mengatakan  begitu  kepada  orang  yang  tetap berpuasa  (Sunan  Abi  Dawud  2: 39,  Kitab  al-Shawm).

 Terakhir,  ada  orang  yang  menerjemahkankan  bahwa ayat  “wa  an  tashumu  khayrun  lakum” dengan  “dan  berpuasa  itu  lebih  baik  bagimu”.  Kata  Khayrun” diartikan lebih  baik.  Jadi berbuka  pada  waktu  safar  boleh,  tetapi kalau  berpuasa  itu  lebih  baik.  Kita  juga  bisa  melanjutkan dengan  mengatakan  orang  yang  sakit  keras  boleh  tidak berpuasa tapi berpuasa lebih baik bagi mereka. Ibn Hazm dalam  Al-Muhalla (6: 248-249) mengkritisi penafsiran atau penerjemahan  seperti  itu  dengan  sangat  keras:  “Orang yang  berhujjah  dengan  ayat  ini  untuk  memperbolehkan puasa  dalam  perjalanan  sudah  melakukan  dosa  besar  dan berbohong yang sangat keji. Ia telah memanipulasi firman Allah (harrafa kalamallahi ‘an mawdhi’ihi), kami berlindung kepada Allah dari yang seperti itu.” Bandingkanlah dengan kata “khayrun  lakum” pada ayat lainnya. Jika diterjemahkan “lebih baik bagimu” maka orang boleh bertaubat boleh tidak, karena tawbat itu  “khayrun  lakum”  (QS Al-Baqarah  ayat 54);  orang  juga  boleh  shalat Jumat  boleh  tidak,  tetapi  shalat  jumat “lebih  baik  bagimu” (QS Al-Jumah ayat 9);  orang  boleh  berjihad  boleh  tidak,  tetapi berjihad “lebih  baik  bagimu”  (Al-Sha 11). Ayat-ayat semacam ini banyak dalam Al-Quran. Beberapa ayat yang disebut hanyalah contoh untuk direnungkan. ***



[1] Dalam hal ini yang dimaksud adalah ulama Mazhab Syiah Imamiyah.