Pernah muncul pertanyaan: mengapa Muslim Syiah tidak berpuasa pada waktu bepergian? Berkenaan dengan berbuka pada waktu bepergian (safar), para fuqaha terbagi pada dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa berbuka dalam perjalanan adalah ‘azimah, kewajiban yang tidak ada pilihan di dalamnya. Kelompok kedua berpendapat berbuka dalam safar itu rukhshah, pilihan. Kita boleh memilih berbuka atau berpuasa. Kelompok kedua ini berbeda dalam menentukan mana yang lebih baik-berbuka atau berpuasa.
Surah Al-Baqarah ayat 185:
“… Barangsiapa yang
menyaksikan di antara kamu
bulan Ramadhan hendaklah ia berpuasa. Barangsiapa yang sakit atau dalam
perjalanan (berpuasalah) sebanyak bilangan (yang tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain.”
Mafhum ayat ini
jelas menunjukkan bahwa berpuasa diwajibkan
bagi yang hadir (yang menyaksikan)
dan bukan musafir. Yang sakit dan
musafir, diwajibkan berpuasa pada hari-hari yang lain di luar bulan Ramadhan.
Shahih Muslim (3: 141), “Sesungguhnya Rasulullah saw keluar menuju
Makkah pada Tahun Kemenangan
(‘Am al-Fath) di bulan Ramadhan. Ia berpuasa sampai
tiba di Kura’ al-Ghamim. Dan
berpuasa jugalah orang. Kemudian ia meminta satu cawan air.
Ia mengangkat cawan itu sampai orang-orang melihatnya. Kemudian ia
minum. Dikatakan kepadanya
sesudah itu: Sebagian orang masih
tetap berpuasa? Rasulullah saw bersabda; Ulaika al-‘Ushaat, Ulaika al-‘Ushaat.
Mereka itu para pembangkang. Mereka itu para pembangkang (pelaku maksiat).”
Shahih Muslim (3: 142) dari Jabir, “Rasulullah saw sedang dalam
perjalanan. Ia melihat seseorang yang sedang dikelilingi orang banyak.
Ia dinaungi orang. Nabi Muhammad saw bertanya: Apa
yang terjadi padanya?
Mereka berkata: Ia sedang berpuasa. Rasulullah saw bersabda:
Bukan termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan.”
Sunan Ibn Majah (1:
532) hadis 1666,
dari Abd al-Rahman
bin ‘Awf: “Rasulullah saw
bersabda, ‘Berpuasa Ramadhan dalam
perjalanan dihitung sama
dengan tidak berpuasa ketika
tidak bepergian (dalam keadaan hadir).”
Sunan Ibn Majah (1:
533) hadis 1667,
dari Anas bin Malik yang
melaporkan bahwa seorang lelaki
dari Bani ‘Abd al-Asyhal berkata: “Kendaraan Rasulullah saw tiba di tempat kami.
Aku mendatangi Rasulullah
saw dan ia sedang
makan. Ia bersabda:
Mendekatlah dan makanlah.
Aku berkata: Aku
sedang berpuasa. Ia bersabda: Duduklah, akan kujelaskan
padamu perihal puasa, shawm atau shiyam.
Sesungguhnya Allah Swt membebaskan dari musafir setengah shalatnya, dan dari
musafir, orang sakit, yang hamil, yang menyusui puasanya. (Kemudian orang itu
melanjutkan). Demi Allah, ia telah mengucapkan semuanya atau salah satu
di antaranya. Duhai malangnya diriku,
kenapa aku tidak ikut makan dari
makanan Rasulullah saw.”
Berbuka pada waktu safar juga tradisi dari para sahabat Nabi Muhammad
saw. Ibnu ‘Umar berkata:
Kalau orang berpuasa pada waktu bepergian ia harus
mengqadhanya ketika tidak bepergian
(Al-Fakhr al-Razi, Al-Tafsir
al-Kabir 5:76).
Umar bin Khaththab memerintahkan orang yang berpuasa dalam perjalanan untuk
mengulangi (mengganti) puasanya (Musnad
Ahmad bin Hanbal
3:329). Ibnu Abbas
berkata:
“Berbuka dalam safar
itu ‘azimah (Al-Durr
al-Mantsur 1: 191).
Di bawah ini
dikutipkan pendpat para
sahabat dan tabi’in
tentang wajibnya berbuka pada waktu safar, seperti dihimpunkan oleh Ibn Hazm,
Al-Muhalla (6: 256-258): “Melalui
Sofyan bin ‘Uyaynah,
dari ‘Ashim bin Abdillah, dari
Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari Umar bin
Khaththab, bahwa ia
menyuruh seorang laki-laki untuk mengganti puasanya pada waktu
bepergian.
Dari Umar bin Abi Salamah bin Abd al-Rahman bin ‘Awf, dari bapaknya. Ia
berkata: Aisyah Ummul Mu’minin melarang aku berpuasa Ramadhan dalam perjalanan.
Dari Abu Hurairah: Bukan termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan. Melalui
Syu’bah bin Abi Hamzah, Nashr
bin ‘Imran al-Dhab’i. Ia
berkata: Aku bertanya
kepada Ibn Abbas tentang
berpuasa dalam perjalanan.
Ia berkata: Mudah dan
sulit. Ambillah yang
dimudahkan Allah Swt. Kata Abu Muhammad: Pernyataannya bahwa
puasa dalam perjalanan itu sulit menunjukkan wajibnya berbuka.
Dari ‘Ammar mawla Bani Hasyim, yaitu Ibn Abi ‘Ammar-dari Ibn Abbas. Ia ditanya tentang berpuasa dalam perjalanan. Berkata Ibnu Abbas: Tidak sah. Yakni batal puasanya. Dari Ibn ‘Umar ia ditanya tentang berpuasa dalam perjalanan. Ia menjawab: Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (berpuasalah) sebanyak bilangan (yang tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain.
Dari Yusuf bin al-Hakam al-Tsaqafi bahwa Ibnu ‘Umar ditanya tentang berpuasa dalam safar. Ia berkata: Itulah sedekah Allah yang diberikan kepada kamu. Bagaimana pendapatmu jika kamu bersedekah dan orang menolak sedekahmu? Bukankah kamu marah? Kata Abu Muhammad: Ini menjelaskan bahwa menurut Ibn Umar berpuasa dalam safar di bulan Ramadhan mengundang murka Allah Swt. Dan ia tidak pernah berkata begitu untuk sesuatu yang diperbolehkan. Melalui Hammad bin salamah, dari Kultsum bin Jabr: Seorang perempuan menyertai Ibn Umar dalam perjalanannya. Kemudian makanan dihidangkan. Ibn Umar berkata kepadanya: Makanlah! Perempuan itu berkata: Aku sedang berpuasa. Kata Ibn Umar: Janganlah kamu bersama kami. Melalui Abi Mu’awiyyah. Menyampaikan kepada kami Ibn Abi Dzi’b, dari Al-Zuhri, dari Hamid bin Abdir Rahman bin ‘Awf, dari bapaknya. Ia berkata; Yang berpuasa pada waktu safar sama hukumnya dengan yang tidak berpuasa pada waktu hadir. Hadis ini sangat sangat shahih (fi ghayat al-shihhah).
Dari anak Abu Hurairah. Ia
berkata: Aku berpuasa Ramadhan dalam perjalanan.
Abu Hurairah memerintahkan kepadaku untuk mengulanginya lagi di
tengah-tengah keluargaku dan agar aku mengqadhanya. Maka aku lakukan qadha itu.
Dari Abdir Rahman bin Harmalah: Seorang lelaki bertanya kepada Sa’id bin
al-Musayyab: Bolehkah aku lengkapkan shalat dan berpuasa dalam safar? Kata
Sa’id: Tidak boleh. Ia berkata: Aku
kuat melakukannya. Kata
Sa’id: Rasulullah saw
lebih kuat dari
kamu; dan ia
mengqashar shalatnya dan berbuka dalam puasanya.
Dari riwayat berikut ini kita
ketahui bahwa pada zaman Rasulullah saw dan zaman para
sahabat, kebiasaan yang berlaku luas
adalah berbuka pada
waktu safar. Ketika salah
seorang sahabat Nabi
saw, Dihyah al-Kalbi keluar dari
Damaskus di bulan
Ramadhan sejauh tiga mil,
ia berbuka. Maka berbuka
juga orang-orang yang bersamanya.
Sebagian lainnya ada yang tidak mau berbuka. Ketika ia
kembali ke negerinya ia berkata: Demi
Allah, aku belum pernah
melihat apa yang
aku lihat sekarang-sekarang ini.
Aku tidak mengira
bakal melihat kejadian itu. Orang-orang sudah berpaling
dari petunjuk Rasulullah saw. Ia
mengatakan begitu kepada
orang yang tetap berpuasa (Sunan
Abi Dawud 2: 39,
Kitab al-Shawm).
Terakhir, ada
orang yang menerjemahkankan bahwa ayat
“wa an tashumu
khayrun lakum” dengan “dan
berpuasa itu lebih
baik bagimu”. Kata ‘Khayrun”
diartikan lebih baik. Jadi berbuka
pada waktu safar
boleh, tetapi kalau berpuasa
itu lebih baik.
Kita juga bisa
melanjutkan dengan
mengatakan orang yang
sakit keras boleh
tidak berpuasa tapi berpuasa lebih baik bagi mereka. Ibn Hazm dalam Al-Muhalla (6: 248-249) mengkritisi
penafsiran atau penerjemahan seperti itu
dengan sangat keras:
“Orang yang berhujjah dengan
ayat ini untuk
memperbolehkan puasa dalam perjalanan
sudah melakukan dosa
besar dan berbohong yang sangat
keji. Ia telah memanipulasi firman Allah (harrafa kalamallahi ‘an mawdhi’ihi),
kami berlindung kepada Allah dari yang seperti itu.” Bandingkanlah dengan kata “khayrun lakum” pada ayat lainnya. Jika diterjemahkan
“lebih baik bagimu” maka orang boleh bertaubat boleh tidak, karena tawbat
itu “khayrun lakum” (QS Al-Baqarah
ayat 54); orang juga
boleh shalat Jumat boleh
tidak, tetapi shalat
jumat “lebih baik bagimu” (QS Al-Jumah ayat 9); orang
boleh berjihad boleh
tidak, tetapi berjihad “lebih baik
bagimu” (Al-Shaff 11). Ayat-ayat semacam ini banyak dalam
Al-Quran. Beberapa ayat yang disebut hanyalah contoh untuk direnungkan. ***