Imam Shadiq as berkata kepada pemasang pelana kuda yang melayani beliau: "Ada beberapa Muslim yang memiliki satu bagian keimanan, sedangkan yang lainnya memiliki dua atau tiga dan bahkan tujuh bagian keimanan. Tidaklah patut membebani seseorang yang memiliki satu bagian keimanan, dengan amalan yang semestinya untuk orang yang memiliki dua bagian keimanan. Demikian juga, tidak patut membebani seseorang yang memiliki dua bagian keimanan dengan amalan yang semestinya untuk orang yang memiliki tiga bagian keimanan.
"Aku berikan contoh. Suatu ketika ada seseorang yang bertetangga dengan orang Kristen. la mengajak tetangganya itu agar masuk Islam. Orang Kristen itu pun setuju dan masuk Islam. Keesokan harinya, saat subuh tiba ia mengetuk pintu rumah mualaf itu. Ketika sang mualaf membuka pintu, ia menyuruhnya mengambil wudhu, berpakaian dan menemaninya pergi ke masjid. Mereka menunaikan shalat tidak saja shalat subuh tetapi juga shalat-shalat lainnya sampai matahari terbit.
Baru saja mualaf hendak pulang, ia bertanya kepadanya: Mau ke mana? Siang itu singkat, sebentar lagi waktu zuhur tiba. Tunggu saja sampai kita mengerjakan shalat zuhur.
Maka mereka menunggu waktu shalat zuhur. Dan setelah menunaikan shalat zuhur sang mualaf pun bergegas hendak pulang. Tetapi lelaki itu kembali membujuknya untuk menunggu waktu shalat ashar. Mualaf itu pun menurutinya. Setelah itu lelaki itu berkata kepadanya bahwa hari sudah hampir maghrib, maka mereka tidak beranjak sampai melaksanakan shalat maghrib. Kemudian ia membujuknya lagi untuk menunggu waktu shalat isya juga. Setelah shalat Isya mereka pun pulang ke rumah.
Keesokan harinya, saat subuh tiba lelaki itu mengetuk pintu rumah mualaf itu lagi dan mengajaknya shalat bersama di masjid. Mualaf itu berkata: untuk agamamu ini, carilah orang lain yang waktunya lebih banyak dari yang kumiliki. Aku ini orang miskin dan mempunyai keluarga yang harus kuberi makan dan kujaga."
Imam Shadiq mengakhiri perkataannya, "Muslim yang bodoh telah membuatnya kembali kepada agamanya semula, Kristen."
Namunah-e Ma'arif, jld. 2, hlm. 479; Al-Kafi, Bab Tingkatan Keimanan.