Ketika turun ayat لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ
Kamu belum berbuat baik sebelum menginfakkan apa yang kamu cintai (QS Âli 'Imrân [3]: 92), seorang sahabat Nabi bernama Thalhah menjadi amat gelisah. la sibuk memikirkan hartanya yang paling ia cintai. la ingat bahwa ia amat menyukai kebun miliknya yang terletak di samping masjid Nabi. la sering melihat Nabi berbaring di kebun itu sebelum pergi ke masjid. Ia kemudian datang menemui Nabi dan berkata, "Ya Rasulullah, tak ada harga yang paling saya cintai selain kebun di samping masjid ini. Sekarang saya infakkan kebun ini di jalan Allah setelah saya mendengar ayat 92 Surah Âli 'Imrân."
Setelah mendengar ayat itu, sebaiknya kita juga sudah dapat memikirkan harta apa yang paling kita cintai. Setelah itu, kita harus menginfakkan harta yang paling kita cintai itu. Karena jika kita tidak melakukannya, kita belum mencapai kebajikan.
Surah Muhammad ayat 36-37 berbunyi: Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu supaya memberikan semuanya, niscaya kamu akan kikir dan Dia akan mengeluarkan kedengkianmu. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, berkenaan dengan ayat ini disebutkan: "Sesungguhnya Allah Swt. tahu bahwa kalau kau mengeluarkan rezekimu, pada saat yang sama kau mengeluarkan penyakit-penyakit batinmu, di antaranya kedengkian, iri hati, egoisme, dan mementingkan diri sendiri. Dengan kebiasaan mengeluarkan harta, akan keluar juga kedengkianmu."
Para psikoterapis mengetahui ada banyak sekali gangguan jiwa, seperti kegelisahan, keresahan, dan stres yang berkepanjangan, yang bermula dari perbuatan kita yang selalu mementingkan diri kita sendiri; menghendaki orang lain berperilaku seperti yang kita kehendaki, dan menginginkan dunia berjalan seperti yang kita atur. Kita menjadi sangat menderita jika sesuatu yang kita inginkan itu tidak terjadi. Yang selalu kita pikirkan adalah keinginan-keinginan ego kita.
Untuk menghilangkan ego, kita harus melakukan latihan-latihan. Di antara latihan itu adalah mengeluarkan harta. Harta adalah sesuatu yang selalu kita inginkan. Kita hanya bisa belajar untuk menaklukkan keinginan-keinginan kita dengan mengeluarkan harta yang kita cintai.
Dalam Surah Al-Taubah ayat 103, Tuhan memerintahkan Nabi Saw., Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Rasulullah Saw pernah bercerita tentang orang-orang yang telah mencapai derajat yang tinggi. Sekiranya salah seorang di antara mereka mati, Tuhan akan menggantikannya dengan orang yang sama seperti mereka. Menurut Rasulullah Saw., karena orang-orang inilah Allah menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, menghidupkan dan mematikan, serta membuat sehat dan sakit. Kalau mereka datang di satu tempat, Allah akan selamatkan tempat itu dari tujuh puluh bencana. Setelah itu, Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian bagaimana mereka mencapai derajat yang setinggi itu? Mereka mencapainya bukan karena banyaknya shalat dan haji. Mereka mencapai derajat itu karena dua hal. Pertama, al-sakhâwah (kedermawanan) dan kedua, al-nasîhatul lil muslimîn (hatinya bersih dan tulus terhadap sesama Muslim)." Dua hal inilah yang mengantarkan orang kepada tingkat yang lebih tinggi.
Kedermawanan dan kebersihan hati memang memiliki keterkaitan. Kalau orang sudah dermawan, insya Allah, hatinya pun bersih. Seperti disebutkan dalam Surah Muhammad ayat 36-37 di atas, jika kita mengeluarkan harta kita, Tuhan juga akan menghilangkan penyakit-penyakit hati kita. Kebakhilan merupakan ungkapan egoisme. Orang yang bakhil adalah orang yang tidak mau berbagi dengan orang lain dan ingin memiliki sesuatu hal hanya untuk dirinya sendiri.
Sebuah cerita klasik dari Cina mengisahkan delapan manusia biasa yang kemudian diangkat menjadi dewa. Mereka menjadi dewa karena kekhidmatan mereka yang luar biasa kepada sesama manusia. Salah seorang di antaranya menjadi dewa karena ia berkhidmat kepada orang lain meskipun hatinya terus-menerus disakiti. Sementara seorang yang lain diangkat menjadi dewa karena kekhidmatannya kepada orangtua dengan melewati berbagai ujian dan halangan. ***
(buku The Road To Allah, Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., hlm. 257-261)