10/02/24

Nabi dan Imam Mempraktikan Nikah Mutah

Seseorang mengirimkan e-mail dan bertanya: apakah Nabi dan Imam Ahlulbait mempraktikan nikah mutah? Benarkah tidak ada dalil yang kuat tentang nikah mutah, khususnya dari para Imam Ahlulbait?

JAWABAN: Kami belum menemukan riwayat atau data sejarah tentang Rasulullah saw dan Aimmah melakukan nikah mut'ah. Meski tidak dipraktekan oleh Rasulullah saw dan Aimmah, tetapi masih bagian dari syariat Islam.

Sejarah menyebutkan praktek nikah mut'ah, berdasarkan hadis dan riwayat dari Ahlusunnah dan Ahlulbait, bahwa terjadi ketika para sahabat jauh dari istri-istrinya dan dalam kondisi perang. Para sahabat yang tidak tahan saat melihat kaum wanita diizinkan oleh Rasulullah saw untuk menikahinya dengan dibatasi waktu. Nikah yang dibatasi waktu inilah yang disebut dengan nikah mut'ah dengan ketentuan rukun dan syarat ditunaikan. Sama dengan ketentuan dalam rukun dan syarat nikah daim, baik monogami maupun poligami.

Nikah mut'ah yang dilakukan sahabat dan diketahui atau dibolehkan oleh Rasulullah saw merupakan taqrir. Meski tidak dicontohkan, tetap masih ada pembenaran dari Rasulullah saw dengan tidak melarang sahabat melakukan nikah mut'ah dan tercantum pula dalam Al-Quran surah Annisa ayat 24.

Memang tidak ada riwayat yang mengitsbatkan Nabi dan para Imam Ahlulbait melakukan nikah mut’ah. Tetapi hal itu bukan menjadikan dalil bahwa nikah mut’ah itu haram. Sebab tidak semua yang halal dilakukan oleh Nabi dan para Imam Ahlulbait seperti halnya Nabi belum pernah merasakan bawang. Lalu, apakah bawang itu haram?

Memang ada sebagian orang yang memperkirakan bahwa sebagian Imam melakukan nikah mut'ah karena mereka istrinya lebih dari empat. Disebutkan dalam salah satu riwayat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib ra telah melakukan nikah mutah dengan seorang perempuan Kufah, Irak. Namun, belum ada keterangan yang menguatkan riwayat tersebut. Mungkin saja istri yang banyak itu budak wanita, bukan istri mutah.

Perlu diketahui, nikah mutah tidak semudah yang dikira oleh orang-orang yang anti Syiah. Dalam fikih mazhab Syiah terdapat syarat dan rukun yang perlu diketahui, dilaksanakan, dan konsekuensi syariatnya.

Beberapa ketentuan nikah mutah, yaitu aqad harus dengan  bahasa Arab disebutkan mahar dan zaman (waktu); kalau mahar atas keinginan dan keridhaan wanita; nikah mutah tak ada paksaan (hukum dasarnya mubah, tapi bisa jadi makruh, haram, mustahab/sunah); kalau seorang gadis wajib izin walinya (ayahnya atau kakeknya); dan tidak boleh dengan perempuan pelacur.

Kalau membuahkan anak maka anaknya sah nasab ke ayahnya dan menjadi tanggungan ayahnya dari sisi nafkah dan pewarisan; tidak saling mewarisi antara suami dan istri kecuali disepakati dari aqad nikah masalah adanya hal semacam pewarisan.

Suami tidak ada kewajiban menafkahi kecuali kalau disyaratkan dalam aqad nikah untuk memberikan semacam nafkah; istri mut'ah adalah istri resmi dan berlaku hukum suami istri.

Setelah selesai masa nikah (waktu) istri harus iddah dua kali haid (kalau hendak menikah lagi) dan sebelum habis masa haid tidak boleh menikah.

Sama dengan nikah permanen (daim), nikah mutah juga ada dalilnya yang terdapat pada surah Annisa ayat 24:

“…. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka. Berikanlah kepada mereka maharnya (sebagai suatu kewajiban).”

Mufasir Al-Fakhru al-Razi menerangkan bahwa: ayat (Annisa ayat 24) ini khusus tentang nikah mutah karena alasan berikut: “Ubayy bin Ka’b dan Abdullah bin Abbas membaca ayat ini iIâ ajalin musammâ (sampai waktu yang ditentukan). Tidak ada sahabat yang menyangkalnya, berarti umat ijma tentang kebenaran qiraatnya.”

Dari Imran bin Hushayn: “Telah turun ayat mutah dalam Kitab Allah. Kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Maka tidak turun satu ayat pun yang menasakhnya dan Nabi Muhammad saw tidak melarangnya sampai ia meninggal dunia.”(Musnad Ahmad 4: 436).

Imran bin Hushayn berkata: “Telah turun ayat mutah dalam Kitab Allah. Tidak turun ayat sesudahnya yang menasakhnya dan Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukannya. Ia meninggal dunia dan tidak pernah melarangnya. Kemudian seorang lelaki berkata dengan pendapatnya sekehendak hatinya.” (Al-Fakhr 9:51; lihat juga al-Bukhari 3:151, Kitab al-Tafsir, 7:24).

Al-Hakam ditanya tentang surat Annisa ayat 24: “Apakah sudah mansukh?” Ia menjawab: “Tidak.” Lalu ia mengutip ucapan Ali: “Sekiranya Umar tidak melarang mutah, tidak akan ada yang berzinah kecuali orang yang jahat (celaka).” (Tafsir al-Thabari 5:13; al-Fakhr 9:51; al-Durr al-Mantsur 2:486; Tafsir al-Nisaburi 5:16).

Dari Jabir bin Abdillah: “Sesungguhnya Ibn Zubayr melarang mutah dan Ibn Abbas ra memerintahkannya. Kami melakukan mutah (pada masa) bersama Rasulullah saw dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar bin Khaththab ra memerintah, pernah berkhotbah: Sesungguhnya Rasulullah saw adalah Rasul ini dan sungguh Al-Quran adalah Al-Quran ini. Sesungguhnya ada dua mutah yang ada pada zaman Rasulullah saw, yang sekarang aku larang dan aku hukum pelakunya. Yang pertama mutah perempuan. Kalau aku menemukan seorang lelaki kawin sampai watu tertentu, aku akan binasakan dia dengan batu. Yang kedua adalah mutah haji (haji tamattu)." (Sunan al Baihaqi 7:206, Muslim dalam bab nikah mutah, Al-Durr 3:487;Al-Fakhr 9:54, Al-Qasimi 5:1192).

Dari hadis tersebut bahwa nikah mut'ah diharamkan oleh Umar bin Khaththab. Mungkin karena posisi Umar menjadi penguasa sehingga bisa membuat kebijakan baru dengan mengharamkannya. Meski diharamkan oleh Umar, nash al-Quran dan hadis tidak terhapus karena kedudukannya lebih kuat dari pada fatwa politik khalifah.

Kalau menelusuri sejarah sahabat diketahui bahwa Abdullah bin Zubair dan Urwah bin Zubair adalah anak hasil nikah mutah antara Zubair bin Awwam dengan Asma binti Abu Bakar. Silakan baca buku Mazhab Kelima karya Prof Muhammad Husain T (penerbit Nur Al-Huda, 2013) bagian lampiran 2: mut’ah (pernikahan temporer) halaman 295.

O.Hashem dalam buku Menjawab Seminar Sehari tentang Syiah menjelaskan banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin di Indonesia untuk satu bulan dan ada yang sampai tiga tahun.

Ia juga bercerita tentang kawannya yang keturunan Arab diberi uang lima juta rupiah oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mutah ala Wahabi. Dia mencari seorang perempuan yang bisa diajak “main ranjang” dan menasihatinya agar tidak menceritakan profesinya kepada suaminya.

Setelah beberapa bulan, dia tinggalkan perempuan itu. Ketika ia datang kembali ia akan disuguhkan perempuan nakal yang lain untuk dikawin kontrak selama tiga bulan.

Menurut Hashem, nikah yang disebutkan tidak masuk dalam kategori mutah. Orang-orang Arab menyebutnya misyar (nikah untuk diceraikan kalau sudah tidak diperlukan) dan ada dalam mazhab Wahabi.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa nikah mut'ah masih bagian dari syariat Islam. Meski tidak dicontohkan atau dipraktekan pelaksanaannya oleh Rasulullah saw dan Aimmah, masih bisa dilakukan oleh umat Islam dengan mengacu pada ketentuan dan rukun yang didasarkan pada syariat Islam yang kini masuk dalam kajian ilmu fikih.

Di Indonesia, karena hukumnya belum mendukung pada nikah mut'ah maka alangkah baiknya tidak dilakukan oleh umat Islam. Mengikuti ketentuan hukum di Indonesia, bagi yang ingin menambah istri bisa melakukan nikah daim ta'adud (poligami). Tentu dengan ketentuan dan rukun yang harus dipenuhi pula. Daripada melakukan ibadah atau praktek beragama yang akan menuai kecaman orang yang belum paham, lebih baik menghindar dari masalah. Syariat Islam bukan sekadar nikah mut'ah, masih banyak syariat Islam lainnya yang perlu diwujudkan dan dipraktekan. Seperti menghormati perbedaan mazhab, mengentaskan kemiskinan, dan membantu kaum dhuafa. ***