Seseorang telah meminta untuk untuk menyampaikan komentar atas buku Banyolan Syiah Imamiyah karya Firanda Andirja Abidin, Lc, MA yang dimuat dalam situs Salam-Online; yang isinya menyatakan perawi hadis Syiah terdapat keledai. Benarkah riwayat tersebut shahih dalam khazanah hadis-hadis dalam mazhab Syiah Imamiyah?
Pertama,
dalam tradisi keilmuan mazhab Syiah Imamiyah, tidak ada yang namanya
kitab hadis yang shahih, yaitu kitab yang seluruh isinya hadis yang
shahih. Dari seluruh kitab hadis Syiah, termasuk kitab Al-Kafi
karya Al-Kulaini oleh ulama Syiah yang muktabarah tidak dianggap seluruhnya shahih.
Kedua, Al-Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis
pada abad ke-4 H. Hadits-hadits al-Kafi mencapai 16.199 hadis. Tidak seperti
Bukhari yang menyeleksi hadis yang ia tulis, Al-Kulaini pada kitabnya hanya menuliskan
riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang “mengaku” sebagai pengikut
para Imam Ahlulbait as. Jadi, Al-Kulaini hanya sebagai pengumpul hadis-hadis dari
Ahlulbait
as. Tidak ada satu pun pernyataan dari Al-Kulaini yang
mengisyaratkan semua hadis yang dikumpulkannya adalah otentik (shahih). Dia hanya
mengumpulkan dan mempersilakan para ahli untuk memverifikasinya.
Oleh
karena itu, ulama-ulama Syiah Imamiyah (sesudah Al-Kulaini)
telah menyeleksi kitab hadis ini dan menentukan kedudukan setiap
hadisnya. Hasil penelitian Sayyid Ali Al-Milani menyatakan
bahwa dari seluruh hadis-hadis Al-Kulaini, lebih dari setengahnya
(lebih dari 9.000) adalah dha’if (lemah).
Syahid
Tsani juga
memiliki pandangan yang sama.[1] Meski banyak yang lemah, tetap saja hadis shahih yang ada pada kitab Al-Kafi
jumlahnya masih sangat banyak, yaitu kira-kira sama dengan jumlah riwayat yang
terdapat pada kitab Shahih Bukhari. Hingga kini, orang-orang Syiah
memperlakukan kitab-kitab hadis mereka dengan cara pandang kritis. Tidak setiap hadis
langsung dipercaya. Mereka hanya mempercayai hadis yang sudah diteliti oleh
para ulama dengan sangat ketat. Sehingga adanya riwayat-riwayat aneh seperti
kisah keledai ini bukan hal yang menakjubkan dan sama sekali tidak bisa secara
serta-merta dijadikan sebagai argumen untuk memojokan Syiah. Bagi orang Syiah
pun, riwayat seperi ini juga memang lemah dan tidak layak dijadikan pegangan.
Ketiga,
khusus untuk kisah Keledai Ufair ini, Allamah Majlisi dalam kitab yang berjudul Mir’aatul
Uquul menyatakan bahwa riwayat ini lemah dan sengaja disusupkan oleh
musuh-musuh Islam dalam rangka menghina agama. Menurut ulama hadis
Syiah, hadis ini mursal (ada mata rantai sanad yang terputus). Selain
itu, di antara para perawinya terdapat seorang bernama Sahal bin Ziyad. Pada
kitab Rijal An-Najasyi dikatakan bahwa dia orang yang tidak bisa
dipercaya serta sering berdusta dan berbohong.[2]
Perlu
segera ditambahkan bahwa Allamah Majlisi wafat pada tahun 1110 H. (sekitar 330
tahun yang lalu) dan ia sudah mengkritisi riwayat ini. Pendeteksian atas
kelemahan riwayat ini sudah dilakukan oleh ulama Syiah sendiri, berabad-abad
yang lalu. Lalu, kini dimunculkan kaum takfiri, yang
juga mengkritisinya bak pahlawan kesiangan.
Keempat,
seperti tuduhan-tuduhan lainnya, Firanda sama sekali tidak mencantumkan kitab
rujukan terkait dengan pernyataan Ayatullah Khui’ yang mempercayai riwayat ini. Firanda juga tidak
mencantumkan rujukan ketika menyatakan bahwa Al-Mahdi memiliki keyakinan
tentang validnya semua hadis dalam kitab Al-Kafi. Siapakah Al-Mahdi yang
dimaksud? Di kitab apa ia
bicara seperti itu? Karena itu, seperti biasa sulit memberikan tanggapan atas
tulisan yang sangat tidak ilmiah tersebut (buku Banyolan Syiah Imamiyah).
Kelima,
sebenarnya riwayat tentang keledai bernama ‘Ufair ini (dengan kisah yang sangat
mirip, yaitu bisa bicara, mengaku sebagai keturunan keledai di masa Nabi Nuh,
serta mati bunuh diri dengan cara meloncat ke sumur) terdapat juga
pada sejumlah kitab riwayat Sunni. Bisa ditemukan riwayat ini pada kitab
Subul Al-Huda karya Shalih Asy-Syaami (jilid 7, halaman 406; dan jilid
11, halaman 421), kitab Dala’il An-Nubuwwah karya Abu Nai’m Isfahani, kitab
As-Sirayah (jilid 6, halaman 10) karya Ibnu Asakir; riwayat tentang
Ufair ini kemudian dikutip oleh Ad-Dumairi dalam kitab yang berjudul Hayat
Al-Hayawan (jilid 1, halaman 251), kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah karya
Ibnu Katsir Asy-Syami, dan kitab Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyadh.
Silakan
direnungkan!
Kisah keledai Ufair ini hanya ada pada satu kitab hadis Syiah, tetapi mereka ributnya
minta ampun. Padahal, kisah ini sudah lama dikritisi oleh ulama Syiah sendiri.
Sedangkan kisah yang sama terdapat, sediktinya pada enam kitab Sunni, dan
mereka sendiri tidak pernah mencoba melakukan otokritik atas riwayat yang ada pada
kitab riwayat mereka.
Keenam,
kalau takfiri menyerang Syiah dengan riwayat ini dan mengatakan bahwa kitab
Syiah penuh dengan dongeng yang menggelikan, riwayat-riiwayat yang aneh juga
terdapat pada kitab-kitab Sunni. Perhatikan beberapa di antaranya dalam kitab Hilliyyah
Al-Auliya karya Abu Naim Al-Isfahani (jilid 3) terdapat riwayat yang
menyatakan bahwa “yang pertama kali menyalati jenazah Rasulullah saw adalah Allah
(fa innahu awwala man yushalli ‘alayya Ar-Rabbu ‘azza wa jalla wa man fawqa
arsyihi). Allah menyalati jenazah? Terus, saat Allah shalat, Dia menyembah
siapa?
Kemudian dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir dikatakan bahwa Rasulullah saw melihat Allah di Padang Arafah sedang menunggangi unta berwarna merah. Nah, apakah yang demikian layak dianggap lelucon dan kekonyolan dari Ahlussunnah? Tentu ini untuk dikaji ulang terkait dengan riwayat tersebut. Mari bersikap kritis atas setiap riwayat yang merendahkan derajat agama Islam. *** (Ikhwan Mustafa)