Tak terasa ini status Fb ke- 9 yang mencoba merangkum butir-butir gagasan Wilfred Cantwell Smith tentang Islam dan agama-agama di dunia. Tentu banyak hal dari ide Smith yang tidak saya diskusikan, karena tulisan berseri berupaya menjaga kesinambungan sehingga letupan-letupan ide yang berada di luar alur tulisan akan cenderung diabaikan. Lebih dari itu, sulit mendiskusikan gagasan seorang sarjana prolifik seperti Smith secara komprehensif. Dalam catatan penutup ini, saya akan menggarisbawahi hal-hal yang saya anggap menonjol dan kemungkinan kritiknya.
Jadilah engkau orang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau orang yang menyukai ilmu, dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan celaka. (HR Al-Baihaqi)
10/04/23
Catatan Penutup tentang Gagasan Smith [by Munim Sirry]
Kesan saya dulu ketika pertama kali membaca dan sekarang tentang gagasan Smith masih sama: Provokatif! Istilah “teologi dunia” (world theology) layak memancing reaksi beragam karena mengajak orang melampaui tradisi agamanya sendiri. Sementara para teolog umumnya menjelaskan pandangan agamanya tentang agama lain, Smith mengajukan gagasan supaya mereka membangun sebuah teologi yang melintasi sekat-sekat keagamaan: merangkul semua dan dirangkul oleh semua.
Tentu saja implikasi dari teologi dunia yang diperkenalkan Smith bertentangan dengan klaim-klaim kebenaran eksklusif yang dianut oleh masing-masing pemeluk agama. Juga bertentangan dengan paradigma inklusivis yang menganggap agama tertentu sebagai pemenuhan norma-norma kebenaran yang dapat digunakan untuk mengevaluasi agama lain. Bagi Smith, kebenaran tidak terletak pada doktrin atau ajaran, melainkan pada iman orang yang menginternalisasi sebuah doktrin keagamaan.
Walaupun tesis tersebut telah berhasil mentransformasi studi agama ke level yang lebih dinamis, karena tidak berkutat pada doktrin dan ajaran baku, persoalan muncul dari cara Smith memberikan penekanan pada iman semata. Pada akhirnya, seperti dikritik Talal Asad, Smith terjebak pada esensialisasi tradisi keagamaan. Yakni, bahwa esensi agama adalah iman. Sesuatu yang Smith coba hindari.
Asad mempersoalkan tesis Smith yang mengabaikan praktik keagamaan. Meningkatkan praktik kesalihan hidup merupakan suatu upaya yang selalu dilakukan oleh kaum beriman. Bagi kaum Muslim, misalnya, menaati perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-Nya dipahami sebagai cara mewujudkan kesalihan beragama itu. Menurut Asad, kita tak akan bisa mambandingkan pengalaman keagamaan tanpa melihat secara serius peran yang dimainkan oleh praktik keagamaan yang membentuk pengalaman tersebut.
Kritik lain dapat dialamat pada kata kunci dalam gagasan Smith, yakni “iman/faith.” Smith menggunakan kata tersebut dalam berbagai deskripsi yang berbeda. Pertanyaannya, apakah Smith mempertimbangkan penggunaan kata “iman/faith” sebagaimana digunakan kaum beriman sendiri? Saya kira itu yang tak dilakukannya. Padahal, prinsip utama yang dipegangnya ialah “tidak membuat pernyataan tentang suatu agama kecuali dibenarkan oleh penganut agama itu.”
Orang juga dapat mengkritik pandangan Smith karena terlalu beraroma Kristen, terutama penekanannya pada iman/faith. Kita tak jarang mendengar orang Kristiani mengatakan bahwa iman (pada Yesus) bukan hanya cukup, melainkan juga sebagai satu-satunya yang dibutuhkan. Bagaimana mungkin Smith menggunakan kategori Kristen dan menganggapnya bersifat universal? Saya kira kritik semacam itu wajar, walaupun sudah diantisipasi oleh Smith.
Dalam berbagai kesempatan dalam karya-karyanya, Smith tidak menyembunyikan kenyataan bahwa dia melihat dunia (dan agama-agama di dunia) sebagai seorang Protestan. Dia mengakui bahwa tak ada pandangan yang netral, apalagi menyangkut agama. Nah, untuk menetralisir pandangan yang bias itulah dia mengusulkan sebuah prinsip sebagaimana disebutkan di atas.
Prinsip tersebut sangat krusial bagi Smith dan teologi dunianya. Tanpanya tidak mungkin seseorang dapat memahami agama lain. Persoalannya, mungkinkah penganut agama (insider) dan orang luar (outsider) menyepakati suatu klaim keagamaan, sehingga dapat dikatakan klaim universal (karena dibenarlkan oleh orang dalam dan orang luar)?
Jika menggunakan metode dekonstruksi, kita dapat mempersoalkan “klaim universal” yang dibayangkan Smith itu. Misalnya, kita dapat mulai dengan argumennya sendiri bahwa setiap pendapat itu mengandung bias karena dipengaruhi oleh konteks tertentu. Jika pernyataan orang dalam (insider) dan luar (outsider) dipengaruhi oleh konteks tertentu, maka ia dapat berubah karena pengaruh konteks lain. Dan jika suatu pernyataan terbuka untuk berubah, maka klaim tersebut tidak bisa dikatakan universal. Contohnya, si A dan si B hari ini sepakat, tapi belum tentu mereka akan sepakat besok.
Juga soal ketersambungan atau keterkaitan sejarah agama, sebagaimana disebutkan dalam status sebelumnya. Bagi Smith, kesatuan sejarah agama (unity of religious history) itu penting ditekankan bagi upaya membangun teologi dunia. Pandangan itu juga penting untuk mendemontrasikan soal lain. Yakni, misalnya untuk konteks tiga tradisi Ibrahim, agama-agama itu lahir dalam iklim kultural yang sama. Yang dilupakan Smith ialah bahwa keterkaitan sejarah tidak berarti bahwa masing-masing tidak punya sejarahnya yang khas.
Saya memang agak terganggu dengan kecenderungan universalistik dalam gagasan Smith. Saya simpatik dengan argumen pluralisme agama, tapi bukan dalam pengertian universalistik yang diinginkan Smith. Dia menginginkan sebuah teologi dunia yang dibangun berdasarkan bagian-bagian dari semua agama. Saya khawatir, gagasan Smith ini akhirnya terjatuh ke dalam kategori “teologi sinkretik.” Berbeda dengan Smith, saya mendukung gagasan pluralisme agama dari argumen Islam yang saya anut. Banyak sarjana Kristen, seperti Jacques Dupuis, mengembangkan teologi pluralisme agama (theology of religious pluralism) dari sudut pandang Kristen.
Terlepas dari catatan kritis di atas, ide-ide Wilfred Cantwell Smith telah memberikan corak tersendiri dalam kesarjanaan modern tentang agama (Islam), perbandingan agama, dan pluralisme agama. Sepanjang hayatnya, dia memperlakukan obyek kajiannya dengan penuh keseriusan, sensitif, dan humanis. Membaca karya-karyanya, saya bukan hanya belajar soal kesarjanaan yang simpatik, tapi juga bagaimana menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa terkungkung oleh sekat-sekat agama.
Pantas jika Bill Graham, guru besar di Harvard, pernah menjuluki Smith sebagai “scholar’s scholar” (sarjananya sarjana). Saya akan akhiri refleksi ini dengan kutipan dari artikel Graham yang diterbitkan di Harvard Divinity Bulletin: “He was the critic of ‘Orientalism’ years before Edward Said, a critic of intellectual colonialism long before the post-colonial debates, and these ethical and scholarly stances came from his moral and his intellectual rigorism” (Dia mengkritik “Orientalisme” beberapa tahun sebelum Edward Said, mengkritik kolonialisme intelektual jauh sebelum perdebatan pos-kolonial, dan sikap kesarjanaan dan etis itu bersumber dari kegigihan moral dan intelektualnya).
Menulis 9 catatan tentang Smith dan gagasannya yang kompleks membersitkan kebahagian tersendiri. Walaupun saya tak jadi menelitinya dalam proyek disertasi saya di Chicago, tapi gagasannya tentang pluralisme agama sangat berpengaruh dalam cakrawala pemikiran saya, termasuk bukunya “What is a Scripture?” yang belum sempat saya review. Masih sebagai penghormatan intelektual kepadanya, saya akan merefleksikan tren-tren baru dalam gagasan pluralisme agama dalam beberapa status Fb ke depan. Insya Allah. Terima kasih, Pak Smith!
***
artikel dari FB Munim Sirry