Buku Ajaib
Koleksi berharga dan indah ini bernama Nahjul Balaghah. Masa tidak mampu menjadikannya basi dan kuno. Laju roda zaman dan munculnya ide-ide baru secara berurutan telah memperjelas nilai buku ini. Buku ini adalah pilihan ceramah, doa, wasiat, surat dan kata mutiara Amirul Mukminin Ali as yang dikumpukan oleh Sayid Radhi sekitar seribu tahun yang lalu.
Tidak diragukan lagi bahwa Amirul Mukminin as adalah orator. Maka dari itu, beliau sering berceramah. Sering juga terdengar dari beliau kata-kata mutiara yang bijak sesuai dengan momen-momen tertentu. Begitu pula tercatat pula oleh sejarah surat-surat beliau yang berlimpah, khususnya di masa kekhalifahannya. Dan sejak zaman itu, masyarakat memberi perhatian khusus pada kata-kata beliau dan menghafalnya.Al-Mas‘udi, yang hidup sekitar seratus tahun sebelum Sayid Radhi (akhir abad ketiga dan awal abad keempat Hijriah), mengatakan dalam kitabnya Murûj adz-Dzahab jilid kedua pada judul “Fi Dzikri Luma‘in min Kalâmih wa Akhbârih wa Zuhdih”, “Ceramah-ceramah Amirul Mukminin as di berbagai posisi yang telah dihafal oleh masyarakat mencapai angka empat ratus delapan puluh lebih. Beliau membawakan ceramah secara jelas dan tanpa persiapan atau catatan sebelumnya. Masyarakat pendengar pun segera menangkapnya dan secara praktis mengambil keuntungan dari orasi beliau.”Kesaksian cendekiawan peneliti dan tersohor seperti al-Mas‘udi merupakan bukti betapa banyaknya ceramah Amirul Mukminin as. Nahjul Balaghah hanya memuat 239 ceramah padahal al-Mas‘udi melaporkannya lebih dari empat ratus delapan puluh yang tersimpan di memori masyarakat.Sayid Radhi dan Nahjul BalaghahSecara pribadi, Sayid Radhi sendiri sangat terpikat oleh kalimat-kalimat Amirul Mukminin as. Sayid adalah sastrawan, penyair dan mengenal nilai perkataan. Tsa‘âlibî yang hidup semasa dengannya berkata, “Sekarang ini, dia (Sayid Radhi) adalah orang yang paling menakjubkan di tengah masyarakat kontemporer. Dia adalah orang termulia di tengah para sayid Irak. Di samping memiliki nasab dan kehormatan yang sejati, dia juga dihiasi oleh sastra dan keutamaan yang sempurna .… Dialah yang terbaik di tengah pujangga-pujangga keluarga Abi Thalib, padahal keluarga ini punya banyak penyair yang handal. Tidak jauh dari kenyataan apabila saya katakan bahwa dari semua orang Quraisy tiada pujangga yang sampai pada tingkatannya.”[1]Keterpikatan dia pada sastra khususnya pada kalimat Amirul Mukminin as membuatnya lebih sering memandang kalimat beliau dari kaca mata kefasihan dan keindahan, dan hal itu pula yang menjadi tolok ukur pilihan dia dalam kitab Nahjul Balaghah, artinya bagian-bagian yang dia muat di kitab itu lebih menarik perhatiannya lantaran terletak pada puncak kefasihan tertentu; karena itulah koleksi kalimat Amirul Mukminin in diberi nama dengan Nahjul Balaghah, dan dengan alasan yang sama pula kenapa dia tidak begitu memberi perhatian lebih pada refrensi kalimat tersebut, hanya di beberapa tempat saja mengingat ada momentum tertentu dia menyebutkan nama kitab yang jadi rujukannya untuk menukil ceramah atau surat Amirul Mukminin as.Langkah terutama yang harus diambil dalam buku sejarah atau hadis adalah refrensi dan sanad yang jelas, tanpa itu maka secara ilmiah buku itu tidak bernilai, adapun nilai karya sastra bukanlah pada refrensinya melainkan terletak pada kelembutan, keindahan, manis dan daya tawan karya tersebut. Kendatipun demikian, tidak bisa kita katakan bahwa Sayid Radhi lalai akan nilai histori dan nilai-nilai lain dari karya ini dan semata hanya memperhatikan nilai sastranya.Untungnya, di masa setelah dia, ada orang-orang yang meluangkan waktunya untuk mengumpulkan sanad dan refrensi Nahjul Balaghah, mungkin sampai sekarang buku yang paling lengkap dan luas dalam hal ini adalah “Nahjus Sa’adah fi Mustadraki Nahjil Balaghah” karya salah satu peneliti yang mulia dari negri Iraq dan bernama Muhammad Baqir Mahmudi. Kitab ini memuat semua ceramah, perintah, surat, wasiat, doa dan kata mutiara Amirul Mukminin as, di samping memuat semua isi Nahjul Balaghah kitab ini juga menampung ucapan-ucapan Amirul Mukminin as yang tidak terpilih di Nahjul Balaghah atau tidak terjangkau oleh Sayid Radhi pada waktu itu, dan sepengetahuan saya sampai sekarang ini hanya sebagian kecil dari kata mutiara saja yang masih belum disebutkan refrensinya, adapun yang lain sudah ditemukan dan sudah dicetak empat jilid.[2]Perlu diketahui juga bahwa bukan Sayid Radhi saja yang berperan dalam mengumpulkan kalimat-kalimat Amirul Mukminin as. Tidak sedikit orang lain yang juga memiliki karya koleksi kalimat beliau dengan nama yang berbeda-beda. Salah satu yang paling populer adalah karya bernama “al-Ghurar wa ad-Durar”, karya al-Âmidi yang disyarahi oleh Syaikh Jamaludin al-Khunsari dalam bahasa persia dan dicetak oleh yang terhormat Mir Jalaludin Muhaddis Armawi di universitas Teheran.Ali al-Jundi, Rektor Fakultas Ulum di Universitas Kairo dalam pengantarnya terhadap buku yang berjudul “Ali bin Abi Thalib, Syi‘ruh wa Hikamuh” (Ali bin Abi Thalib, Syair dan Kata-kata Mutiaranya) menyebutkan beberapa naskah koleksi kalimat Amirul Mukminin as yang sebagiannya masih dalam bentuk tulisan tangan dan belom tercetak, seperti:1. Dastûr Ma‘âlim al-Hikam, karya Qadla’i Sha’ibul Khutath.2. Natsr al-La’âlî, karya seorang orientalis Rusia. Satu jilid besar dan terjemahannya sudah menyebar di pasaran.3. Hikam Sayidina Ali as, tulisan tangan dan bisa dilihat di Darul Kutub al-Mishriah.Dua Keistimewaan Nahjul BalaghahSejak dulu kala, ucapan Amirul Mukminin as terkenal dengan dua keistimewaannya: pertama, kefasihan dan keindahan, dan kedua, kemultidimensiannya. Masing-masing dari dua keistimewaan ini cukup untuk memberikan nilai yang sangat tinggi pada kata-kata Amirul Mukminin as, sedangkan bersandingnya dua keistimewaan ini dalam kata-kata beliau sangat mendekatkannya pada tingkat mukjizat. Maksud dari pertemuan dua kelebihan tersebut dalam kata-kata Amirul Mukmini as adalah ucapan yang disampaikan di berbagai perjalanan dan medan yang berbeda-beda, bahkan juga bertentangan, tetap menjaga puncak kefasihan dan keindahannya secara merata. Oleh karena itu, juga ucapan Amirul Mukminin as berada di posisi tengah antara firman Pencipta (Allah SWT) dan ucapan makhluk-Nya; fauqa kalâmil makhlûq wa dûna kalâmil khâliq. Begitulah sebagian ulama mengungkapkan isi hatinya.IndahKeistimewaan Nahjul Balaghah yang satu ini tidak perlu lagi untuk dijelaskan bagi orang yang mengenal nilai sebuah perkataan dan keindahannya, karena pada dasarnya keindahan hanya bisa dirasakan, bukan disifati. Empat abad telah berlalu (di masa hidup Mutahari), akan tetapi Nahjul Balaghah masih memiliki kelembutan, rasa manis, daya tarik dan tawan yang dahsyat bagi pendengar/pembaca masa kini sebagaimana juga hal itu berlaku bagi pendengar/pembaca pada saat Amirul Mukminin as melantunkannya. Kami tidak berada pada posisi pembuktian hal ini; kita sesuaikan dengan momentum saja perihal pembicaraan seputar pengaruh ucapan Amirul Mukminin as pada hati pendengar, begitu juga pengaruhnya dalam membangkitkan perasaan heran setiap pendengarnya sejak zaman itu sampai sekarang, padahal telah terjadi perubahan dan pergolakan intelektual dan selera sepanjang sejarah. Coba kita amati bersama mulai dari masa Amirul Mukminin as sendiri.Sahabat-sahabat Amirul Mukminin as, khususnya mereka yang mengerti nilai orasi, betul-betul takjub pada kata-kata beliau. Ibn Abbas adalah salah satu dari mereka. Padahal Ibn Abbas sendiri—seperti dinukil oleh al-Jahizh di dalam kitab “al-Bayân wa at-Tabyîn”—adalah seorang orator yang handal.[3]Kepada Amirul Mukminin as, Ibn Abbas tidak menyembunyikan kerinduannya untuk mendengar kata-kata beliau dan bahwa dia menikmati ucapan beliau yang selalu indah menawan, seperti juga ketika beliau berceramah yang dikenal dengan orasi Syiqsyiqiah dan dihadiri pula oleh Ibn Abbas. Di tengah ceramahnya, ada orang berpendidikan dari kota Kufah datang mengantarkan surat kepada Amirul mukminin as. Beliau pun segera memotong ceramahnya dan membaca surat yang berisi masalah-masalah tertentu. Setelah membaca surat tersebut, Ibn Abbas memohon Amirul Mukminin as untuk melanjutkan ceramahnya tadi. Namun, beliau tidak mengabulkan permintaan itu. Ibn Abbas berkata, “Sumur hidupku, aku tidak pernah menyesal karena ceramah tertentu sebagaimana aku menyesali terputusnya ceramah ini.”Ibn Abbas berkomentar tentang salah satu surat pendek Amirul Mukminin as yang dialamatkan kepadanya sebagai berikut, “Setelah sabda Rasulullah saw, saya tidak mendapatkan keuntungan lebih besar dari keuntungan yang saya dapat dari kata-kata surat ini.”[4]Mu‘awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan musuh bebuyutan Amirul mukminin as, mengakui keindahan dan kefasihan yang luar biasa dari kata-kata beliau.Mahqan bin Abi Mahqan berpaling dari Amirul Mukminin as dan menuju ke Mu‘awiyah, dan untuk menarik hatinya yang benci berat terhadap Amirul Mukminin as, Mahqan berkata, “Saya pergi dari orang yang paling tidak berlisan (tidak mengenal bahasa) untuk datang kepadamu.”Penjilatan ini sangat menjijikkan sehingga Muawiyah sendiri yang memberinya pelajaran. Mu‘awiyah berkata, “Celakalah dirimu! Apakah Ali adalah orang yang paling beradab (sastra)?! Sebelum Ali ada, Quraisy tidak mengenal kefasihan kata-kata. Ali adalah orang yang mengajarkan keindahan kalimat dan kefasihan kepada Quraisy.”PengaruhMereka yang duduk di bawah mimbar Amirul Mukminin as sangat terpengaruh oleh kata-katanya. Nasihat-nasihat beliau menggetarkan hati setiap pendengarnya sampai mengalirkan air mata. Sampai sekarang pun, hati siapakah yang tidak gemetar ketika membaca ceramah nasihat Amirul Mukminin Ali as atau mendengarnya. Setelah menukil ceramah populer al-gharâ’, Sayid Radhi mennegaskan, “Sewaktu Amirul Mukminin as menyampaikan ceramah ini, badan pendengar jadi gemetar, air mata mengalir deras, dan hati pun berdetak kencang.”Humam bin Syuraih—salah seorang sahabat Amirul Mukminin as yang hatinya dipenuhi rasa rindu kepada Allah swt dan jiwanya berkobar oleh api spiritual—sekali bersikeras meminta Amirul Mukminin as untuk menggambarkan sifat manusia bertakwa secara utuh. Di satu sisi, beliau tidak ingin mengecewakannya dengan jawaban negatif dan di sisi lain, beliau khawatir Humam tidak siap mendengarnya. Oleh karena itu, beliau menyingkat jawaban dalam kalimat yang pendek. Akan tetapi, Humam tidak rela dengan jawaban itu melainkan api kerinduannya semakin berkobar-kobar. Dia tetap bersikeras dan menyumpah beliau untuk menggambarkan lebih luas. Akhirnya Amirul Mukminin as pun memulai uraiannya. Sekitar 105[5] sifat yang beliau bawakan dalam penggambaran ini dan masih berkelanjutan. Akan tetapi, setiap kata beliau berlanjut dan meningkat, detak jantung Humam pun semakin kencang dan jiwanya semakin tidak tenang seperti ayam yang terkurung dan ingin merdeka. Tiba-tiba saja terdengar teriakan kencang yang histeris dan menarik perhatian hadirin sekalian. Orang yang berteriak tadi tidak lain adalah Humam. Ketika kepalanya sampai ke bantalan, dia telah mengosongkan tubuhnya dan memasrahkan rohnya kepada Pencipta roh. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘un!Amirul Mukminin as berkata, “Inilah yang saya khawatirkan sebelumnya. Heran! Lihatlah apa yang dilakukan oleh nasihat yang indah kepada hati yang siaga?!” Inilah tadi reaksi orang-orang yang mendengar kata-kata Amirul Mukminin as secara langsung. ***[1] Abduh, Syaikh Muhammad, Pengantar Nahjul Balaghah, hal. 9.
[2] Pada masa hidup Syahid Muthahari.[3] Al-Bayân wa at-Tabyîn, jilid 2, hal. 230.[4] Nahjul Balaghah, Surat ke-22.[5] Sesuai dengan penghitungan saya pribadi, jika tidak salah.SUMBER http://balaghah.net/old/nahj-htm/id/id/muthahri/02.htm