11/08/21

Asyura

Sepuluh Muharam dalam bahasa Arab disebut Asyura. Orang Jawa menyebutnya Suro. Di beberapa daerah Jawa Barat, hari itu biasanya dirayakan dengan membuat bubur merah putih: bubur sura.

Sudah sukar menemukan orang tua yang dapat menjelaskan asal usul upacara itu. Para ulama yang ditanya menjelaskan disunatkannya puasa pada waktu hari itu. Mengapa? Karena hari itu adalah hari pertolongan Allah pada para nabi dalam menghadapi orang-orang zalim.

Pada hari asyura, Ibrahim lepas dari Namruz. Yunus keluar dari perut ikan. Musa bebas dari kejaran Firaun, dan Muhammad selamat dari racun orang Yahudi. Konon, masih kata ulama, ketika Nabi Muhhamad saw hijrah ke Madinah, ia menemukan orang yahudi berpuasa pada hari itu, untuk mengenang kemenangan Nabi Musa. “Aku lebih berhak berpuasa dari pada kalian”, kata Nabi kepada orang-orang Yahudi.

Maka kaum mukmin yang saleh di Indonesia selalu melaksanakan puasa `Asyura – sebagai ungkapan syukur atas kemenangan para Nabi.

Sebagian kaum mukmin di Mesir mensyukuri dengan cara lain, mereka memakai makanan yang bagus, makan- makan, dan bergembira ria Al Maqrizi.

Ahli tarikh Islam menulis dalam al-Khuthath 1: 490, “Dinasti Fatimiah di Mesir menjadikan `Asyura sebagai hari duka cita (untuk mengenang kematian Husain di Karbala)”.

Ketika Raja-raja Bani Ayub merebut Mesir, mereka menjadikan hari itu hari gembira… melanjutkan tradisi orang-orang Syam, yang dirintis al-Hajjaj pada jaman Abdul Malik bin Marwan. Tujuan utamanya ialah mempermalukan pengikut Ali bin Abi Thalib yang menjadikan Asyura sebagai hari duka cita.

Al Hajjaj adalah tonggak besar Dinasti Umayah, ia melakukan strategi kekerasan dalam menumpas pengikut Ali-lawan politik Bani Umayah-secara fisik. Di samping itu, ia melakukan disinformasi untuk membasmi Mazhab Ali secara intelektual.

Bermula sejak kekuasaan Muawiyah, opini publik diarahkan untuk membenci Ali dan mencintai penguasa. Pendapat yang berbeda diberangus. Pendapat yang sesuai dengan selera penguasa disebarluaskan. Para khatib disuruh untuk mengutuk Ali di mimbar-mimbar jum’ah. Hadis-hadis tentang keutamaan Ali dilarang diriwayatkan. Hadis-hadis buatan yang mengecam Ali digalakkan. Begitu pula, ajaran Islam yang dijadikan syiar pengikut Ali dibid’ahkan atau dicarikan tandingannya.

Lalu di Karbala terjadilah pembantaian keluarga Ali bin Abi Thalib pada 10 Muharram 61 H oleh Bani Umayyah. Husain bin Ali dibunuh dengan cara mengenaskan.

Asyura artinya tanggal sepuluh, dan -untuk pertama kalinya- bermakna hari terbunuhnya Husain dan sekaligus hari kemenangan Bani Umayyah. Para pengikut Ali tentu saja menjadikan hari itu hari berkabung. Hari terbunuhnya cucu Rasulullah, dan hari syahidnya seorang pejuang keadilan. Setiap Asyura mereka merekontruksi peristiwa itu dan merintih penuh nestapa.

“Bagi kami setiap hari adalah Asyura dan setiap tempat karbala,” teriak mereka. Gaung teriakan ini terdengar lagi ketika para pengikut Ali menumbangkan kekuasaan Reza Fahlevi.

Karena itu, Asyura menjadi lambang yang mengancam para penguasa. Al Hajjaj menetapkan Asyura sebagai hari sukacita, hari bersyukur. Karena might is right, yang salah tentu saja yang kalah. Justifikasi religius harus dibuat.

Lahirlah hadis-hadis yang menyatakan Asyura sebagai hari kemenangan para nabi dan kekalahan orang-orang zalim. Seperti kata sebagian ulama, kita harus bersyukur dengan berpuasa pada hari itu. Akhirnya kita terpaksa bertanya, tidakkah sebagian yang kita anggap ajaran agama itu sebetulnya hasil rekayasa politik sepanjang sejarah? Agama ternyata tidak lepas dari politik. ***

artikel ini ditulis oleh KH Jalaluddin Rakhmat, cendekiawan Muslim dan Ketua Dewan Syura IJABI periode 2000-2021.