Bacaan tahlil atau tahlilan seringkali dilakukan untuk mengirim pahala kepada mayat pada hari ketuju dari kematiannya. Ternyata ada hadis yang menjadi sandaran bagi pelaksanaan tahlil, talqin dan sedekah untuk mayat selama tujuh hari, yaitu Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dalam kitab “Az- Zuhd”, sebagaimana dikutip oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitab ‘Al-Mathalib Al-Aliyah (5/330) juga oleh As- Suyuthi dalam kitab “Al- Hawi Lil Fatawa (2/216). يَّام َ أ بُ ْو ِر ِه ْم َسْبعَةَ ْي قُ ْو َن فِ تَنُ َمْو َت يُفْ ْ اِ َّن ال ِ
“Sesungguhnya orang-orang mati itu akan diuji di dalam kubur mereka selama tujuh hari." Karena mayat di dalam kubur, menurut hadis ini, diuji selama tujuh hari maka ulama Ahlissunnah waljamaah berpendapat bahwa hukumnya sunnah untuk didoakan, ditahlilkan, ditalqin, dan disedekahi selama tujuh hari/malam.
Hadis tersebut menurut Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam
kitab AlFiqhiyyah termasuk hadits mursal yang diriwayatkan oleh banyak ulama
dengan sanad dari tiga ulama tingkatan tabi’in yaitu Thawus, Ubaid bin Umar dan
Mujahid.
Dengan demikian hadis tersebut tingkatannya sama dengan
hadits marfu’. Terlebih lagi ada pendapat bahwa Ubaid bin Umar itu termasuk
sahabat, karena dilahirkan pada zaman Nabi saw masih hidup, maka hadits ini
termasuk hadits marfu’ atau hadits muttashil. Hubungan tujuh hari atau malam
berdasarkan hadits tersebut di atas dihitung sejak mayat dikuburkan, bukan
sejak meninggal. Ketentuan ini mengecualikan mayat yang tidak diketahui
keberadaannya sehingga tidak bisa dikuburkan, maka dihitung sejak meninggalnya.
Adapun acara lainnya seperti empat puluh hari, seratus hari
atau hitungan hari tertentu sejak kematian mayat, maka itu merupakan adat
istiadat, yang jika diisi dengan kebaikan seperti shadaqah. Tahlilan dan amal
ma’ruf nahi munkar maka hukumnya boleh, sebagaimana pendapat Syekh Nawawi
Al-Bantani yang berkata: “shadaqah untuk mayat dengan cara yang sesuai dengan
syara’ itu baik, akan tetapi tidak harus terikat dengan tujuh hari atau lebih
banyak”.
Kalau terikat dengan hitungan hari maka itu termasuk adat,
menurut Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Sudah ada kebiasaan dari masyarakat berupa
shadaqah untuk mayyat pada hari ketiga, hari ketujuh, hari keduapuluh, hari
keempat puluh dan hari keseratus dari kematian mayat. Sesudah itu dilakukan
acara haul setiap tahun tepat pada hari kematian mayat. Jadi, yang terpenting
adalah isi dari sebuah acara, bukan karangkanya. Meskipun karangka itu berasal
dari adat istiadat, tetapi jika diisi dengan kebaikan, maka akan menjadi
kebaikan pula, selama kerangka itu bukan hal yang dilarang syara’.
Adapun tahlilan pada waktu setahun sesudah kematian atau
peringatan haul (setahun) dari kematian mayyat maka hal itu sebenarnya berasal
dari perbuatan Nabi saw yang selalu mengunjungi tampat pemakaman para syuhada
di gunung Uhud setiap tahun, sebagaimana yang tertuang dalam hadis berikut ini:
ُز ْو يَ َ م َّ َو َسل ْي ِه ي َص َّل ََّّللاُ َعلَ ُّ ِ َوقِ ِد َّي قَا َل : َكا
َن انَّب ْ ُحٍد َع ِن فِى ال ُ ِأ َءب س َهَدا ُرال ُّ بَى ُعقْ َ ْم فَنِ ْعم َصبَ
ْرتُ ِ َما ْم َع َسْب ُكْم ب ْو ُل: َسالَ َع َصْوتَهُ فَيَقُ َغ َرفَ ِذَبَلَ ُك
ًل َحْو ٍل َوإ َو َكا نَ ْت َما ُن، َّ َّم ُعث َّم ُع َمُر ثُ ِل َك ثُ َل ذَ ْ ُل
ِمث ْكِر ُك َّل َحْو ٍل يَفْعَ بُ ْويَ َ َّم أ ِرثُ ال َّدا َر ِض َي ََّّللاُ ِه
فَا ِط ْم َمةُ ْي ُم َعلَ َّ ا ٍص يُ َسل ِ ْي َوقً َو َكا َن َس ْعُدْب ُن اَب َوتَ
ْد ُعْو، َهاتَأتِ ْي ِه َعْن َ ْي ُكُم ال َّسالَم د ْو َن َعلَ ُّ ْوٍم يَ ُر ُمْو
َن َعلَى قَ ْ َسل تً َألَ ْو ُل: أ ِ ِه فَيَقُ ْص َحاب َ ُل َعلَى أ ِ ب َّم يُقْ
تُ
“Dari Al-Waqidi, dia berkata: Nabi saw menziarahi
para syuhada di Uhud setiap tahun (haul). Dan apabila sudah sampai (di Uhud)
beliau mengeraskan suaranya kemudian mengucapkan: Keselamatan untuk kamu
(wahai syuhada Uhud), sebab kamu telah bersabar. Maka alangkah baiknya tempat
kesudahan itu.”
Kemudian Abu Bakar setiap tahun (haul) melalukan hal semacam
itu kemudian Umar, kemudian Utsman Fatimah RA mendatangi Uhud dan berdoa. Saad
bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada ahli Uhud, lalu menghadap kepada
teman-temannya dan berkata: “tidaklah kamu mengucapkan salam kepada kaum (ahli
kubur di Uhud) yang menjawab ucapan salam kamu?”
Jadi, peringatan haul itu berasal dari kebiasaan Nabi
Muhammad Saw dan para sahabatnya kemudian dilanjutkan oleh ulama mutaakhkhirin,
dan pada akhirnya menjadi kebiasaan kaum muslimin dari golongan Ahlissunnah wal
Jama’ah pada tiap periode zaman hingga sekarang. Dan karenanya tidak dapat
dianggap bid’ah yang sesat atau khurafat. ***
SUMBER artikel dari https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/3298-Full_Text.pdf (bagian sejarah
tahlilan)