Lelaki itu berusia sekitar 58 tahun. Pada hari kesepuluh bulan Muharram, di tahun 61 H, selepas menunaikan shalat subuh, dia bergegas keluar tenda dan menaiki kuda kesayangannya. Pria itu menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Mulailah dia berpidato yang begitu indah dan menyentuh hati:
قال:
أما بعد، فانسبوني فانظروا من أنا، ثم ارجعوا إلى أنفسكم وعاتبوها، فانظروا، هل يحل
لكم قتلي وانتهاك حرمتي؟ ألست ابن بنت نبيكم ص وابن وصيه وابن عمه، وأول المؤمنين بالله
والمصدق لرسوله بما جاء به من عند ربه! او ليس حمزة سيد الشهداء عم أبي! أوليس جعفر
الشهيد الطيار
ذو الجناحين عمى! [او لم يبلغكم قول مستفيض فيكم: إن رسول الله ص قال لي ولأخي: هذان
سيدا شباب أهل الجنة!] فإن صدقتموني بما أقول- وهو الحق- فو الله ما تعمدت كذبا مذ
علمت أن الله يمقت عليه أهله، ويضر به من اختلقه، وإن كذبتموني فإن فيكم من إن سألتموه
عن ذلك أخبركم، سلوا جابر بن عبد الله الأنصاري، أو أبا سعيد الخدري، أو سهل بن سعد
الساعدي، أو زيد بن أرقم، أو أنس بن مالك، يخبروكم أنهم سمعوا هذه المقاله من رسول
الله ص لي ولأخي.
أفما في هذا حاجز لكم عن سفك دمي!
“Lihat nasabku. Pandangilah siapa aku ini. Lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kehormatanku.“
“Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu? Bukankah
aku ini anak dari washi dan keponakan Nabimu, yang pertama kali beriman kepada
ajaran Nabimu?“
“Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada, adalah Pamanku?
Bukankah Ja’far, yang akan terbang dengan dua sayap di surga, itu Pamanku?“
“Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara
kalian bahwa Rasulullah berkata tentang saudaraku dan aku: “keduanya adalah
pemuka dari pemuda ahli surga?”
“Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan
sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak
mempercayaiku, maka tanyalah Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa’id
al-Khudri, Sahl bin Sa’d, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik, yang akan
memberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai
kedudukan saudaraku dan aku.“
“Tidakkah ini cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan
darahku?”
Kata-kata yang begitu eloknya itu direkam oleh Tarikh
at-Thabari (5/425) dan Al-Bidayah wan Nihayah (8/193).
Namun mereka yang telah terkunci hatinya tidak akan
tersadar. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidullah bin Ziyad itu
memaksa pria yang bernama Husein bin Ali itu untuk mengakui kekuasaan
Khalifah Yazid bin Mu’awiyah.
Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa
pertarungan di masa Khilafah dulu itu sampai mengorbankan nyawa seorang Cucu
Nabi Saw. Apa masih mau bilang khilafah itu satu-satunya solusi umat?
Simak pula bagaimana Ibn Katsir dalam al-Bidayah
wan Nihayah bercerita bagaimana Sayidina Husein terbunuh di Karbala
pada 10 Muharram (asyura).
Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga
berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain
jubahnya. Dan dengan cepat balutan kain terlihat penuh dengan darah Husein.
Ada yang kemudian melepaskan panah dan mengenai leher Husein. Namun beliau
masih hidup sambil memegangi lehernya menuju ke arah sungai karena
kehausan. Shamir bin Dzil Jawsan memerintahkan pasukannya
menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru. Mereka tak
memberinya kesempatan untuk minum.
Ibn Katsir menulis: “Yang membunuh Husein dengan tombak
adalah Sinan bin Anas bin Amr Nakhai, dan kemudian dia menggorok leher Husein
dan menyerahkan kepala Husein kepada Khawali bin Yazid.” (Al-Bidayah, 8/204).
Anas melaporkan bahwa ketika kepala Husein yang dipenggal
itu dibawa ke Ubaidullah bin Ziyad, yang kemudian memainkan ujung
tongkatnya menyentuh mulut dan hidung Husein, Anas berkata: “Demi Allah!
sungguh aku pernah melihat Rasulullah mencium tempat engkau memainkan tongkatmu
ke wajah Husein ini.”
Ibn Katsir mencatat 72 orang pengikut Husein yang
terbunuh hari itu. Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mencatat 4
ribu pasukan yang mengepung Husein, dibawah kendali Umar bin Sa’d bin
Abi Waqash.
Pada hari terbunuhnya Husein, Imam Suyuthi mengatakan
dunia seakan berhenti selama tujuh hari. Mentari merapat laksana kain yang
menguning. Terjadi gerhana matahari di hari itu. Langit terlihat memerah selama
6 bulan.
Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam Tirmidzi yang
meriwayatkan kisah dari Salma yang menemui Ummu Salamah, istri
Nabi Muhammad, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64
H, sementara Husein terbunuh tahun 61 H).
Salma bertanya: “Mengapa engkau menangis?”
Ummu Salamah menjawab: “Semalam saya bermimpi
melihat Rasulullah yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya tanya
‘mengapa engkau wahai Rasul?“
Rasulullah menjawab: “saya baru saja menyaksikan
pembunuhan Husein.’”
Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa khilafah
dulu. Mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi khalifah. Apa mereka
sangka Rasulullah tidak akan tahu peristiwa ini? Lantas apakah mereka yang
telah membunuh Sayidina Husein kelak masih berharap mendapat syafaat
datuknya Rasulullah di padang mahsyar?
Dalam kisah yang memilukan ini sungguh ada pelajaran untuk
kita semua.
Al-Fatihah….
Tabik,
NADIRSYAH HOSEN,
Rais
Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law
School. Juga Pengasuh PonPes Ma'had Aly Raudhatul Muhibbin, Caringin Bogor
pimpinan DR KH M Luqman Hakim.