06/08/21

Mengkaji Riwayat Debat Imam Al-Baqir dengan Abu Hanifah

image

Alkisah bahwa pada saat Abu Hanifah pergi haji, Abu Jafar Muhammad Al-Baqir menghadangnya di Madinah. Kemudian berkata: “kamulah yang merubah agama kakekku dengan qiyas!”

Abu Hanifah berkata: “aku berlindung pada allah untuk melakukan itu.”

Berkata Abu Jafar: “tapi kamu telah merubah!”

Abu Hanifah berkata: “duduklah...aku ingin ingin bertanya padamu tiga pertanyaan, dan jawablah pertanyaanku. Apakah laki laki lebih kuat dari perempuan?”

Jawab Abu Jafar : “ya..laki laki yang lebih kuat.”

Berkata Abu Hanifah: “Berapa bagian untuk laki laki dan berapa bagian untuk perempuan?”

Jawab Abu Jafar: “laki laki mendapat dua bagian, dan perempuan mendapat satu bagian.”

Berkata Abu hanifah : “ini adalah perkataan kakekmu (nabi). Maka jika saya merubah agama kakekmu, dengan qiyas menjadi terbalik antara kedudukan laki laki dan perempuan, karena perempuan lebih lemah dari laki laki. Mana yang lebih utama, puasa atau shalat?”

Jawab Abu Jafar: “shalat.”

Berkata Abu Hanifah: “ini juga perkataan kakekmu. Maka jika saya merubah agama kakekmu, dengan qiyas aku memerintahkan perempuan yang haidh untuk menqadha shalat dan tidak menqadha puasa. Manakah yang lebih dekat pada najis, mani atau air kencing?”

Jawab Abu Jafar: “air kencing yang lebih najis.”

Berkata Abu Hanifah: “Jika saya merubah agama kakekmu, maka dengan qiyas, saya akan memerintahkan wudhu jika seseorang keluar air mani, dan mandi jika mengeluarkan air kencing karena air kencing lebih mendekati najis dari mani.”

Kemudian setelah itu, Abu Jafar bangun dan mencium wajah Abu Hanifah dan memuliakannya. 

 

Kajian Kritik Historis

Terkait dengan riwayat debat Imam Al-Baqir dengan Abu Hanifah ini sampai sekarang kami belum mendapatkan informasi mengenai kitab klasik mana yang menjadi rujukan sehingga tidak bisa meneliti para perawinya. Jika melihat biografi tokoh di atas akan kelihatan bahwa riwayat dialog Abu Hanifah dengan Imam Baqir tidak logis.

Dalam catatan sejarah, Imam Baqir lahir pada tahun 57 Hijriah dan wafat pada tahun 114 Hijriah. Beliau menjadi imam setelah ayahandanya (Imam Zainal Abidin) wafat pada tahun 95 Hijriah.

Sementara Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit) lahir di Kufah (Iraq) pada tahun 80 Hijriah. Ia berguru kepada sejumlah ulama Kufah, salah satunya adalah yang paling terkenal bernama Hamad bin Abi Sulaiman.  Pada tahun 120 Hijriah (saat Abu Hanifah berusia 40 tahun), Hamad wafat, dan sejak saat itulah Abu Hanifah mulai dipercaya untuk menyampaikan fatwa menggantikan gurunya, Hamad.

Kemudian tahun 129 Hijriah, khilafah Bani Umayyah menghadapi berbagai ancaman kudeta dan pemberontakan. Untuk itu, mereka meminta (dengan ancaman) para ulama agar berpihak kepada Bani Umayyah dengan cara memberikan fatwa-fatwa yang memperkuat posisi politik Bani Umayyah. Abu Hanifah yang sejak awal menentang Bani Umayyah menolak permintaan tersebut dan memilih untuk lari dari Kufah menuju Mekah kemudian ke Madinah setahun sesudahnya (tahun 130 Hijriah).

Ketika Abbasiyyah berkuasa pada tahun 132 Hijriah, Abu Hanifah balik lagi ke Kufah. Di Kufah, ia melakukan perlawanan diam-diam kepada pemerintahan Abbasiyyah. Pada tahun 145 Hijriah, saat terjadi pemberontakan dari Kufah, Abu Hanifah disebut-sebut sebagai penyokong pemberontakan. Ia lalu ditangkap oleh Khalifah Al-Mansur dan meninggal di penjara pada tahun 150 Hijriah.

Dari biografi Abu Hanifah dan Imam Baqir, kami mengalami kesulitan menemukan celah kapan kira-kira Abu Hanifah bertemu dengan Imam Baqir dan melakukan dialog seperti dalam riwayat di atas. Mengapa?

PertamaAbu Hanifah baru menjadi ulama panutan (yang fatwa2nya didengar dan diikuti oleh kamu Muslimin), pada tahun 120. Sedangkan Imam Baqir wafat tahun 114 H, alias enam tahun sebelum Abu Hanifah menjadi ulama. Jadi, kalau riwayat kedua yang dipegang, Imam Baqir mempertanyakan/mengkritik pendapat Abu Hanifah yang baru dikeluarkan enam tahun setelah wafat beliau.

Kedua, Abu Hanifah baru pergi ke Mekah dan Madinah pada tahun 130 H, atau 16 tahun setelah wafatnya Imam Baqir. Aneh, bukan?

Ketiga, seandainya pun dibuat spekulasi bahwa pertemuan itu terjadi ketika Imam Baqir masih hidup; tetap saja hal itu membingungkan karena pertemuan tersebut berlangsung di saat Abu Hanifah masih sangat belia. Jika yang dipakai ukuran adalah saat Imam Baqir menjadi imam (tahun 95 Hijiriah) maka saat itu Abu Hanifah masih berusia kurang dari 15 tahun. Padahal, berdasarkan riwayat tersebut, Imam Baqir mengkritik Abu Hanifah sebagai seorang ulama yang sudah sangat ditokohkan. Kami kira riwayat tersebut adalah bagian dari keajaiban dunia yang perlu diapresiasi. Kalau ada yang berkena, ayo uji kembali dengan bertanya kepada pengabar riwayat tersebut. ***

( redaksi@misykat.net )