31/01/22

Mengenal Al-Hasan bin Ali al-Mujtaba

Nama: al-Hasan. 

Gelar: al-Mujtaba. 

Julukan: Abu Muhammad. 

Nama ayah: Amirul Mukminin. 

Nama ibu: Fatimah (putri Rasulullah).

Lahir: Di Madinah pada Selasa, 15 Ramadhan 3 H. 

Meninggal: Meninggal pada umur 46, di Madinah pada Kamis, 28 Shafar 50 H; dimakamkan di JannatuI Baqi, di Madinah. 

***

Imam Hasan adalah putra tertua Imam ‘Ali dan Sayyidah Fatimah. Ketika Rasulullah menerima kabar gembira lahirnya sang cucu, beliau datang ke rumah putri tercintanya, menggendong bayi yang baru lahir tersebut kemudian mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Sesuai dengan perintah Allah, Nabi menamainya al-Hasan.

Masa kecil

Tujuh tahun pertama masa kecilnya diberkahi oleh suri teladan yang amat baik dari Rasulullah, yang menganugerahi kualitas yang utama dan pengetahuan agama, toleransi, kecerdasan, karunia dan keberanian. Karena sudah sempurna sejak lahir dan dianugerahi pengetahuan oleh Allah, ia mempunyai pengetahuan untuk mengakses al-lawhu'I-mahfuz. Imam suci ini dengan segera menjadi terbiasa dengan semua isi wahyu (ayat-ayat Qur’an) yang diturunkan ketika Rasulullah akan mengungkapkannya kepada sahabat-sahabatnya. Hal yang mengejutkan Rasulullah adalah ketika Fatimah sering menceritakan teks yang tepat dari wahyu yang baru saja diturunkan sebelum Rasulullah menceritakan kepadanya. Ketika Rasulullah menanyakan, Fatimah memberitahukan bahwa melalui Hasan ia mengetahui wahyu tersebut.

Ibadah kepada Allah

Imam Hasan menghambakan dirinya dengan ibadah yang berlebih, sehingga anggota tubuh yang dipakai untuk bersujud berbekas luka dan tampak cetakan sajadahnya. Kebanyakan malamnya dihabiskan di tikar shalatnya. Kekhusukan dan rasa tawadhu’ pada saat shalat yang sangat tinggi menyebabkan ia sering menangis karena rasa takut yang sangat tinggi kepada Allah. Ketika sedang berwudhu, ia sering gemetar karena takut kepada Allah dan wajahnya menjadi pucat pada saat shalat. Kekhusukan yang tinggi pada saat memanjatkan doa dan beribadah membuatnya tidak sadar pada keadaan sekelilingnya.

Kesalehan dan kesenangan

Imam Hasan mempunyai warisan yang sangat banyak dan dapat hidup mewah, tapi ia memanfaatkan harta yang dipunyai untuk memperbaiki kehidupan kaum miskin. Ia juga sangat sopan dan rendah hati, bahkan tidak sungkan untuk duduk bersama pengemis di jalanan Madinah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka tentang agama. Karena kebaikan dan keramahannya, ia tidak pernah membiarkan kaum miskin merasa rendah diri terhadapnya ketika mereka datang ke tempat kediamannya.

Imamah

Sepeninggal Rasulullah saw, dunia Islam terjebak memasuki zaman yang penuh dengan ekspansi dan penaklukan. Tetapi walaupun dalam era yang revolusioner seperti tersebut, Imam Hasan tetap mengabdikan dirinya pada misi suci menyebarkan Islam dan ajaran Rasulullah secara damai bersama dengan ayahnya, Imam ‘Ali. Kesyahidan Imam ‘Ali pada 21 Ramadhan menandai mulainya Al-Hasan sebagai Imam. Mayoritas muslim berjanji setia kepadanya dan memenuhi formalitas dari bai’at (sumpah setia). 

Tak lama setelah ia memimpin, ia harus menghadapi tantangan dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syria, yang menyatakan perang terhadapnya. Sesuai dengan kehendak Allah dan untuk mencegah pembantaian orang Islam, ia menandatangani perjanjian perdamaian bersyarat dengan Muawiyah (walaupun tidak sepenuhnya dihormati dan dilaksanakan oleh Mu’awiyah) dan menyelamatkan Islam dan mencegah perang saudara.

Namun, perjanjian perdamaian ini tidak pernah dimaksudkan sebagai tanda menyerah terhadap kepemimpinan Mu’awiyah. Hal ini hanya dimaksudkan sebagai pergantian sementara pemerintahan kerajaan Islam dan dengan syarat pemerintahan harus dikembalikan kepada Imam Hasan sepeninggal Mu’awiyah. Meski bukan sebagai pemegang pemerintahan, Imam Hasan tetap menjadi pemimpin agama dan terus menyebarkan Islam dan ajaran Rasulullah di Madinah.

Kesyahidan

Dendam Mu’awiyah kepada Imam Hasan membuatnya berkonspirasi dengan istri Imam Hasan, Ja’dah putri dari As’ad. Ia disuruh memberi racun pada makanannya. Imam Hasan meninggal karena kejahatan Mu’awiyah dan syahid pada 28 Shafar 50 H. 

Pemakamannya dihadiri oleh Imam Husain dan anggota keluarga Bani Hashim. Ketika dibawa untuk dimakamkan di pemakaman Rasulullah, tandu jenazahnya ditembaki dengan panah oleh musuh-musuhnya dan pemakamannya harus dialihkan ke Jannatu 'I-Baqi' di Madinah. 

Persyaratan perjanjian perdamaian segera dilanggar oleh Muawiyah dan menghasilkan kejayaan sesaat. Pada akhirnya terbukti membawa bencana dan menghasilkan pukulan fatal bagi keseluruhan Bani Ummayah karena menetapkan Yazid bin Muawiyah sebagai pelanjutnya. Ini bentuk pelanggaran Muawiyah. 

Setelah wafat Imam Hasan, Al-Husain bin Ali as menjadi imam dengan kebenaran dan ketentuan nash yang tidak dapat dipungkiri. 

Pada tragedi Karbala yang mengerikan, dengan jumlah pasukan yang sedikit dan dengan mengisolasi tujuhpuluh dua anggota kelompok Imam Husain dan menghentikan suplai air minum selama tiga hari, Yazid berhasil membunuh tujuhpuluh dua anggota keluarga Imam tersebut. 

Keberhasilan tindakan yang diperbuat Yazid ini berumur pendek. Terdapat sejumlah orang-orang Islam memberontak terhadap Yazid bin Muawiyah, setelah mengetahui tindakan bengis yang telah ia lakukan. Tindakan Bani Umayyah yang tidak manusiawi pada umat Islam, khususnya pada keluarga Rasulullah Saw, berujung pada tumbangnya kekuasaan Bani Umayah dari muka bumi. * * * 

Artikel merupakan terjemahan dari buku A Brief History of The Fourteen Infallibles. Publisher: Ansariyan Publications Next day Shipping from Maryland; Fifth edition (January 1, 2005).