04/02/22

Negara, Tuhan, dan Kesetaraan [by Sukidi Mulyadi, Ph.D]

Tantangan keagamaan yang eksklusif dan diskriminatif menuntut pembaruan komitmen kita untuk menegakkan Indonesia sebagai negara ketuhanan yang inklusif dan setara. Ketuhanan menjadi konsensus para pendiri bangsa untuk mendirikan Indonesia sebagai negara religius yang menjamin hak berkeyakinan secara setara kepada setiap warga. ”Indonesia,” kata pendiri bangsa, Soekarno, pada pidato 1 Juni 1945, ”ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-nya dengan cara yang leluasa,” yakni dengan sikap yang lapang, bebas, dan merdeka. Kemerdekaan keyakinan ini berlaku setara untuk semua warga.

Negara ketuhanan yang menjamin kesetaraan dalam berkeyakinan ini terekam pada pemikiran pendiri bangsa dan pemikir Islam brilian H Agoes Salim. ”Dapatkah dengan asas negara [Ketuhanan yang Maha Esa] itu,” tanya Agoes Salim dalam esai Kementerian Agama dalam Republik Indonesia (1950), ”kita mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang meniadakan Tuhan? Atau keyakinan agama yang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi?” Tanpa ragu sedikit pun, Agoes Salim menjawabnya: ”Tentu dan pasti!”

Dengan merujuk pada Tuhan, Agoes Salim berargumen bahwa ”tetap adanya berbagai-bagai agama itu di atas dunia memang dikehendaki oleh Allah sebagaimana ditegaskan di dalam Al Quran Surah Al-Maidah Ayat 48 bagian kedua”. Keberagaman agama adalah kehendak Tuhan yang harus kita pegang teguh secara optimistis dengan menunjukkan sikap saling menghormati antarwarga, apa pun agama dan keyakinannya. ”Bahkan, kepada mereka yang meniadakan Tuhan pun dan yang beragama ketuhanan yang berbilangan atau berbagi-bagi,” lanjut Agoes Salim dengan justifikasi Tuhan lagi, ”tidaklah Tuhan menghendaki kita melakukan paksaan, bahkan tidak pun dibenarkan kita menghadapkan celaan dan cacian, mengingat firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Anam Ayat 108 bagian pertama.”

Kegigihan Agoes Salim dalam menegakkan prinsip kesetaraan ini ternyata didorong oleh keyakinan internal dirinya sebagai Muslim yang saleh, yang berpendirian teguh bahwa, pertama, Tuhan sendiri berkehendak penuh atas kemajemukan agama; kedua, Tuhan menganugerahkan kebebasan kepada setiap manusia untuk beriman dan tidak beriman sekalipun; ketiga, Tuhan tidak pernah memerintahkan kita untuk melakukan paksaan keyakinan kepada siapa pun; dan, terakhir, Tuhan juga tidak membenarkan ujaran kebencian, baik dalam bentuk celaan maupun cacian, terhadap sembahan-sembahan yang orang-orang sembah selain Allah. Intinya, Tuhan bertitah kepada kita untuk berpegang teguh pada prinsip kesetaraan dalam berkeyakinan. 

Dengan prinsip kesetaraan ini, Agoes Salim jauh lebih maju ketimbang John Locke. Locke hanya memperjuangkan toleransi kepada dissenters, yang menjadi korban persekusi di Inggris karena perbedaan keyakinan dengan gereja Anglikan. Toleransi tidak lebih dari sekadar konsesi negara atau gereja agar menahan diri dari persekusi. Sementara Agoes Salim memperjuangkan kemerdekaan keyakinan yang setara bagi semua warga, termasuk mereka yang tidak menyembah Tuhan sekalipun, Locke hanya menuntut toleransi yang terbatas. Dalam A Letter Concerning Toleration (1869), Locke tidak memberikan toleransi kepada Katolik karena ketaatannya kepada Paus ketimbang otoritas sipil; kepada Muslim karena keyakinan pada Islam dikaitkan dengan kepatuhan politik kepada mufti Konstantinopel di Turki; dan kepada ateis karena penolakannya atas eksistensi Tuhan.

Toleransi memang bukan konsep ideal. Menurut Diana Eck di Harvard, toleransi terlalu rapuh sebagai fondasi untuk membangun masyarakat yang majemuk. Toleransi adalah masalah konsesi, baik oleh negara maupum mayoritas. Kemerdekaan keyakinan bukan soal konsesi dari negara atau mayoritas, melainkan fakultas internal pada diri setiap manusia yang sangat berharga sebagai pemberian Tuhan atau hak natural setiap manusia berkat dirinya terlahir secara setara sebagai manusia.

Agoes Salim mengajak kita untuk ”tetap menghormati kemerdekaan mutlak daripada tiap-tiap orang”. Sebagai pendiri bangsa yang menyadari pentingnya proteksi negara atas kemerdekaan keyakinan, Agoes Salim merujuk pada konstitusi, ”sebab undang-undang dasar kita, sebagaimana undang-undang dasar tiap-tiap negara yang mempunyai adab dan kesopanan, mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan agama, asal jangan melanggar hak-hak pergaulan orang masing-masing, jangan melanggar adab kesopanan, tertib keamanan, dan damai”. 

Hak berkeyakinan adalah hak natural manusia yang bersifat mutlak dan setara, yang inheren pada fakultas internal dalam diri manusia dan tidak dapat diganggu oleh kekuatan eksternal di luar dirinya asalkan hak itu tidak melanggar ketertiban publik dan hak-hak orang lain.***

Sukidi Mulyadi, Ph.D. adalah Doktor Islamic Studies, Harvard Divinity School

Sumber artikel https://www.facebook.com/groups/Pembaca.KOMPAS/permalink/10165885504375565/