21/12/21

Pendidikan Karakter: wa maa adraka ma huwa? [by MIFTAH F. RAKHMAT]


Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad

 

Ini cerita sesungguhnya. Kawan saya, seorang rekan guru di Soreang, Kabupaten Bandung. Ia berbagi kisah tentang pengalaman anak didiknya di Sekolah Dasar. Alkisah, guru agama masuk ke sebuah kelas. Beliau bercerita tentang kewajiban shalat. Beliau kemudian bertanya: “Siapa di antara anak-anak yang tidak shalat Subuh pagi tadi?”. Anak-anak tidak menjawab. Mereka menahan tangannya. “Ayo, mengapa tidak ada yang menjawab?”

 

Akhirnya, seorang anak dengan malu-malu mengangkat tangannya. “Saya Pak Guru…”. Mendengar jawaban anak itu, Pak Guru Agama dengan seketika meluap amarahnya: “Mengapa kamu tidak shalat Subuh? Bukankah itu wajib bagi kamu? Tahukah kamu akibat dari melalaikan perintah Tuhan!?” Dan seterusnya…anak itu kemudian dihukum gurunya berdiri di depan kelas.

 

Sore hari, ia pulang dengan wajah tertunduk lesu. Ia ceritakan kisah itu pada ibunya seraya berkata: “Bu, mulai saat ini, saya tidak akan berkata jujur lagi.” Ia belajar sesuatu yang pahit. Kejujurannya mengantarkannya pada kesengsaraan.

 

Ada pertanyaan besar pada sepenggal cerita di atas. Apa yang sebetulnya akan kita ajarkan pada anak-anak kita: menghafal sederet materi atau kesadaran yang berkaitan dengan pengalaman hidupnya? Yang pertama kita sebut saja ilmu pengetahuan, yang kedua pengembangan kepribadian. Belakangan, kita menyebutnya dengan pendidikan karakter.

 

Istilah pendidikan karakter sebetulnya juga bukan sesuatu yang baru. Kementerian Pendidikan Nasional menjadikannya program utama Kabinet Periode ini. Pak Menteri mengangkatnya menjadi tema utama program 100 hari. Beliau memandang bahwa permasalahan bangsa ini berakar dari pendidikan karakter yang tak terintegrasi.

 

Dahulu orang menyebutnya pendidikan moral. Sempat populer juga istilah budi pekerti. Di luar negeri istilah yang lebih dikenal adalah “Character Education” dan “character building”. Yang kedua masuk ke negeri ini dalam bentuk-bentuk pelatihan motivasi (achievement motivation trainings). Banyak aktivitas dibuat. Games dirumuskan: teamwork, solidaritas, sportivitas, semangat menghadapi tantangan, kerjakeras, disipling menjadi hal-hal yang lumrah dan tujuan dari setiap kegiatan itu.

 

Akan tetapi, dampak dari pelatihan-pelatihan motivasi itu temporal. Dia mengubah, bisa sangat besar, tetapi juga cepat pudarnya. Sekian banyak pelatihan motivasi, tak terhitung nuansa spiritual dimasukkan ke dalamnya, tapi negeri kita masih menempati angka terburuk dalam kemiskinan dan korupsi. Karena itulah, pemerintah beralih pada Pendidikan Karakter.

 

Seperti lazimnya program Pemerintah, mereka bingung mengurai benang kusut pendidikan negeri ini. Pendidikan Karakter sempat dimasukkan dalam bagian yang integral dari kurikulum. Guru-guru bekerja keras untuk itu. Di sisi lain, terlalu banyak pesanan dari kiri dan kanan sehingga semua hal dimasukkan dalam unsur karakter yang penting itu. Semua merasa semua nilai utama. Tak kurang dari 21 nilai dirumuskan sebagai nilai-nilai yang utama itu. Bagaimana mengaplikasikannya? Ia jadi pekerjaan rumah tersendiri. 

 

Unesco dan LVEP

Tahun 1995, sebuah organisasi kemasyarakatan Internasional Brahma Kumarismemulai proyek internasional LVEP sehubungan dengan ulangtahun PBB ke-50. LVEP adalah singkatan dari Living Values: an Educational Project. Mereka menyederhanakan pendidikan karakter ini ke dalam nilai-nilai moral kehidupan. Sebut saja ia nilai-nilai dasar. Awalnya, proyek ini diberi nama “Sharing our values for a better world.” Proyek ini terfokus pada duabelas nilai-nilai universal. Temanya—yang diambil dari pasal dalam Pembukaan Perjanjian PBB—berbunyi: “To reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person…”

 

Untuk menguatkan kepercayaan pada hak-hak asasi manusia, harga diri, dan kelayakan seorang manusia. Bagi Brahma Kumaris waktu itu, pendidikan karakter cukup menekankan pada tiga hal: hak asasi, harga diri, dan kelayakan seorang manusia.

 

Proyek ini kemudian bermetamorfosis menjadi LVEP: Living values: an educational project. UNESCO mengangkatnya menjadi program internasional. Hingga tahun 2000-an, tercatat LVEP telah diaplikasikan di lebih dari 2000 lokasi yang tersebar di 80 negara. Saya belum tahun Sekolah di Indonesia yang menerapkannya, tapi Sekolah Dasar kami di Bandung, Sekolah Cerdas Muthahhari mencoba untuk mengamalkannya.

 

Inilah urutan nilai yang direkomendasikan oleh LVEP:

1. Kedamaian

2. Penghargaan

3. Cinta

4. Tanggung jawab

5. Kebahagiaan

6. Kerja sama

7. Kejujuran

8. Kerendahan Hati

9. Toleransi

10. Kesederhanaan

11. Persatuan

 

Bagi anak-anak dengan usia yang lebih tinggi, para pendidik di LVEP menambahkan nilai keduabelas: Kebebasan. Yang menarik, LVEP menempatkan Kedamaian sebagai urutan yang pertama. Ada banyak diskusi tentang apakah urutan-urutan ini harus diajarkan bertahap atau dia bisa mulai dari mana saja. Para pendidik di LVEP sepakat, untuk urutan empat hingga 11 bisa diajarkan kapan saja. Tetapi sebaiknya kita mulai dari tiga nilai yang pertama, lebih utama lagi, kita selalu mulai dari kedamaian. Mengapa? Karena langkah pertama untuk melanjut pada nilai-nilai berikutnya adalah damai: berdamai dengan dirinya, berdamai dengan keluarganya, berdamai dengan lingkungan di sekitarnya.

 

Bagaimana LVEP diterapkan oleh orangtua atau lingkungan sekolah? Untuk anak-anak usia dini: tiga – tujuh tahun, ada banyak cara untuk mengeksplorasi nilai-nilai itu. Kegiatan mempelajari konsep baru, berbagi dan berpikir, menciptakan, dan mengajarkan keterampilan sosial ini dikombinasikan dengan permainan, seni, bernyanyi, gerakan, dan imajinasi. Pada banyak bagian, bahkan ada tahapan-tahapan khusus yang bisa kita aplikasikan segera. Misalnya, inilah contoh cara umum menerapkan satu nilai dalam tahapan-tahapan yang berbeda.

 

- Bernyanyi, umumnya anak-anak senang bernyanyi. Bernyanyi membuat mereka mengekspresikan diri mereka lebih kuat. Jika kita orangtua atau guru, janganlah malu untuk bernyanyi. Anak-anak kita bukanlah juri audisi kompetisi vokal dengan sederet syarat pitch control dan harmoni. Mereka belum mengenal fals dan falsetto. Bernyanyilah…untuk anak-anak kita. Lagu bisa yang secara khusus berkaitan dengan tema yang kita ajarkan, atau lagu yang kita gubah untuk menyesuaikan dengan tema.

 

- Latihan menjadi hening. Anak-anak sebetulnya secara alamiah kurang suka dengan keheningan. Apalagi bila diminta untuk menutup mata. Guru atau orangtua bisa menjadikannya sebagai sebuah permainan. Pola seperti ini diperlukan untuk menumbuhkan imajinasi. Salah satu cara praktis mengajarkan anak-anak pendidikan karakter adalah pola pertanyaan: “Mengapa?” Dan bukan “Apa?” Hening juga membantu guru dan orangtua untuk mendinginkan suasana, dan memulai perbincangan dari start yang baru.

 

- Pelajaran, penyampain materi. Baik dengan kegiatan bermain ataupuh diskusi. Di sini kreativitas guru dan orangtua dituntut. Percayalah, orangtua adalah makhluk yang secara spontan punya gudang kreativitas tak terbatas, terutama untuk anak-anaknya.

 

- Waktu berkelompok. Saat-saat seperti ini adalah waktu yang baik melaksanakan pembuatan peraturan dengan kolaboratif atau untuk penyelesaian masalah.

 

Apa yang harus disiapkan orangtua?

Pertama, ketika berdiskusi dengan anak-anak, tidak ada jawaban “benar” dan “salah”. Terbiasalah menerima dan mengakui jawaban anak-anak itu, seberapa mustahilnya. Intinya bukan pada jawaban tetapi pada menghargai danmendengar pendapat anak-anak. Dari pengalaman, anak-anak terbiasa memberikan jawaban yang “menyimpang” dari standar. Misalnya: bahwa perang adalah bagian dari dunia yang damai, atau “Aku bahagia bila dianggap anak nakal” dan sebagainya. Dalam memberikan respons, mengangguk sudah cukup. Tetapi respons verbal yang menyatakan bahwa orangtua menerima jawaban mereka dan menyatakan kembali isi jawaban adalah metode yang lebih efektif dalam menyatakan penghargaan orangtua.

 

Di sini, saya ingin bercerita tentang “123 Magic”. Menurut Dr. John Gray, penulis bestseller Children are from Heaven, pola respon anak-anak sekarang sudah jauh berbeda dengan anak-anak dahulu. Saya kutip pendapatnya dalam satu wawancara dengan WebMD Live (webmd.com), sebuah situs yang mengkhususkan diri untuk tema-tema keluarga: Much of our frustration as parents comes from not knowing what to do to manage our children. We're at a crisis point in history. All of the old parenting skills we learned by watching our parents parent are not as effective as they used to be. Children today are different, and do not respond to guilt trips, yelling, and the threat of punishment. These are the kinds of control techniques our parents used as a last resort. In previous generations, they worked, but today they don't. The book, Children Are From Heaven, provides a training for parents with new communication skills to make the job of parenting much easier and, at least, much less frustrating. Frustration always arises when what we're doing is not working.

 

Anak-anak sekarang jauh lebih kebal terhadap “rasa bersalah, teriakan, dan ancaman hukuman.” Dan ini bagian yang kedua yang harus disiapkan orangtua: menyampaikan pesan positif. Tentu orangtua adalah role model anak yang paling awal. Bagi orangtua tidak berlaku prinsip larangan riya. Menurut saya, orangtua harus riya. Bagaimana mungkin kita akan mengajarkan bersedekah kalau kita sendiri tidak mencontohkannya (apalagi bila tangan kiri harus tak tahu yang diamalkan tangan kanan)? Dr. Gray menyampaikan Lima Pesan Positif yang dapat dilakukan orangtua.

 

- “It’s okay to be different.” Berbeda itu tidak apa-apa.

- “It’s okay to make mistakes.” Sesekali berbuat salah itu biasa.

- “It’s okay to have or express negative emotions.” Mau marah, silakan saja.

- “It’s okay to want more.” Mau minta lebih? Boleh. Dan…

- “It’s okay to say No.” Berkata “Tidak” itu boleh saja.

 

(Kutipan lengkap Wawancara Dr. Gray saya masukkan dalam bagian lampiran makalah ini. Inspiratif!)

 

Lebih jauh Dr. Gray bercerita tentang 123 Magic. Ini adalah pola yang biasanya diterapkan orangtua untuk anak-anaknya. Ketika perintahnya tidak dipatuhi, orangtua akan berkata: “Bapak hitung ya…satu…(di sini biasanya nada suara masih rendah)…dua…(nada suara meninggi) dan….tiga!” Anak biasanya berlari sebelum hitungan tiga.

 

Sekarang, hal seperti itu kurang efektif lagi. Komunikasi yang dibangun adalah komunikasi otoritatif, bukan komunikasi suportif. Menurut Dr. Gray, untuk anak-anak usia sembilan tahun, setelah angka tiga kesan yang muncul adalah hukuman yang akan diberikan orangtua bila anak tak memenuhi keinginannya. 123 Magic tetap efektif, bila menyusul angka 3 itu, orangtua menerapkan “Time out” instead of punishment.

 

Ketiga, yang dapat dilakukan orangtua adalah membantu anak untuk memberikan makna terhadap situasi yang terjadi di sekitar kita. Kadang-kadang kita sudah menetapkan sederet standar nilai untuk anak-anak kita, tetapi ketika berbenturan dengan dunia luar (ambillah contoh ketika bertamu), mungkin anak akan dihadapkan pada orang dewasa yang punya standar nilai yang berbeda. Di sinilah prinsip pesan positif yang pertama dari Dr. Gray menemukan relevansinya. It is okay to be different, tetapi kemudian kita memberikan makna terhadap perbedaan-perbedaan itu.

 

Pendidikan Karakter: Studi di Yayasan Muthahhari Bandung

Di sekolah-sekolah kami, pendidikan karakter erat kaitannya dengan kecakapan hidup. Ustad Jalal (Dr. Jalaluddin Rakhmat) merumuskan tujuh kecakapan hidup yang mendasari nilai-nilai moral universal itu.

 

Ada tujuh life skills di lembaga-lembaga kami berikut penekanan porsi pemberiannya, sejak SD hingga SMA. Learning Skills dan Social Skills (SD), Communication Skill dan Coping Skill (SMP), Happiness Skill, Spiritual Skill dan Financial Skill (SMA).

 

Adapun prinsip-prinsip karakter yang dikembangkan menitikberatkan pada empati: kepedulian. Dalam beberapa telaah mutakhir, tumbuhnya empati juga bersinergi dengan peningkatan kemampuan secara akademis. Di SMP dan SMA, penerapannya lebih mudah.

 

Di Sekolah Dasar, kami harus mencari cara lebih luwes lagi. Terutama untuk bentuk pengajaran empati yang bersifat klasikal. Karena makalah ini lebih merujuk pada pendidikan karakter di usia dini, berikut beberapa program kami di Sekolah Cerdas Muthahhari. Tentu sebagai sekolah yang masih muda, semua itu dalam tahap trial and error yang masih perlu diuji.

 

- Studi dan kunjungan pasca hari H. Setiap kali terjadi musibah, hati kita tergetar. Segera kita terdorong untuk membantu. Dampak dari musibah berlangsung lama. Setelah puncak berita memudar, biasanya bantuan pun berkurang. Ambillah contoh Panti Asuhan. Umumnya ramai dikunjungi pada bulan suci Ramadhan, tetapi pada waktu-waktu di luar itu, ketika mereka justru sangat membutuhkan, sedikit yang berkunjung. Kami mengajak anak-anak ke Panti Asuhan pada waktu-waktu sepi kunjungan itu.

 

- Melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan (Project-Based Curriculum). Biasanya dilakukan pada waktu libur sekolah dengan materi yang diintegrasikan dengan kurikulum sesuai tingkatan.

 

- Bermain peran dan beralih posisi.

- Menghadirkan sosok dan kisah-kisah inspiratif.

- Mengolah permainan-permainan yang disesuaikan dengan keperluan pengenalan nilai-nilai.

 

Demikian beberapa pengalaman yang bisa dibagi. Saya ingin menutup dengan mengutip Milan Kundera, peraih Nobel Sastra: “We are guilty of many errors, but our worst crime is neglecting our children, our fountain of life. It is the time their bones are being formed. To them we cannot say “tomorrow”. Their names are “TODAY”. ***


[Makalah ini disampaikan dalam Seminar Pendidikan Seri ke-7 tentang Pendidikan Karakter yang dilaksanakan pada 9 November 2010 di Gedung Bosowa Management Development Institute (BMDI) Makassar; kerjasama Yayasan Amalia Insani dan Quantum Sinergi Makassar]