Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa
Ali Muhammad
Ini cerita sesungguhnya. Kawan saya, seorang rekan guru di Soreang, Kabupaten Bandung. Ia berbagi kisah tentang pengalaman anak didiknya di Sekolah Dasar. Alkisah, guru agama masuk ke sebuah kelas. Beliau bercerita tentang kewajiban shalat. Beliau kemudian bertanya: “Siapa di antara anak-anak yang tidak shalat Subuh pagi tadi?”. Anak-anak tidak menjawab. Mereka menahan tangannya. “Ayo, mengapa tidak ada yang menjawab?”
Akhirnya, seorang anak dengan
malu-malu mengangkat tangannya. “Saya Pak Guru…”. Mendengar jawaban anak itu,
Pak Guru Agama dengan seketika meluap amarahnya: “Mengapa kamu tidak shalat
Subuh? Bukankah itu wajib bagi kamu? Tahukah kamu akibat dari melalaikan
perintah Tuhan!?” Dan seterusnya…anak itu kemudian dihukum gurunya berdiri di
depan kelas.
Sore hari, ia pulang dengan wajah
tertunduk lesu. Ia ceritakan kisah itu pada ibunya seraya berkata: “Bu, mulai
saat ini, saya tidak akan berkata jujur lagi.” Ia belajar sesuatu yang pahit.
Kejujurannya mengantarkannya pada kesengsaraan.
Ada pertanyaan besar pada
sepenggal cerita di atas. Apa yang sebetulnya akan kita ajarkan pada anak-anak
kita: menghafal sederet materi atau kesadaran yang berkaitan dengan pengalaman
hidupnya? Yang pertama kita sebut saja ilmu pengetahuan, yang kedua
pengembangan kepribadian. Belakangan, kita menyebutnya dengan pendidikan
karakter.
Istilah pendidikan karakter
sebetulnya juga bukan sesuatu yang baru. Kementerian Pendidikan Nasional
menjadikannya program utama Kabinet Periode ini. Pak Menteri mengangkatnya
menjadi tema utama program 100 hari. Beliau memandang bahwa permasalahan bangsa
ini berakar dari pendidikan karakter yang tak terintegrasi.
Dahulu orang menyebutnya
pendidikan moral. Sempat populer juga istilah budi pekerti. Di luar negeri
istilah yang lebih dikenal adalah “Character Education” dan “character
building”. Yang kedua masuk ke negeri ini dalam bentuk-bentuk pelatihan
motivasi (achievement
motivation trainings). Banyak aktivitas dibuat. Games dirumuskan: teamwork,
solidaritas, sportivitas, semangat menghadapi tantangan, kerjakeras, disipling
menjadi hal-hal yang lumrah dan tujuan dari setiap kegiatan itu.
Akan tetapi, dampak dari
pelatihan-pelatihan motivasi itu temporal. Dia mengubah, bisa sangat besar,
tetapi juga cepat pudarnya. Sekian banyak pelatihan motivasi, tak terhitung
nuansa spiritual dimasukkan ke dalamnya, tapi negeri kita masih menempati angka
terburuk dalam kemiskinan dan korupsi. Karena itulah, pemerintah beralih pada
Pendidikan Karakter.
Seperti lazimnya program Pemerintah, mereka bingung mengurai benang kusut pendidikan negeri ini. Pendidikan Karakter sempat dimasukkan dalam bagian yang integral dari kurikulum. Guru-guru bekerja keras untuk itu. Di sisi lain, terlalu banyak pesanan dari kiri dan kanan sehingga semua hal dimasukkan dalam unsur karakter yang penting itu. Semua merasa semua nilai utama. Tak kurang dari 21 nilai dirumuskan sebagai nilai-nilai yang utama itu. Bagaimana mengaplikasikannya? Ia jadi pekerjaan rumah tersendiri.
Unesco dan LVEP
Tahun 1995, sebuah organisasi
kemasyarakatan Internasional Brahma Kumarismemulai proyek
internasional LVEP sehubungan dengan ulangtahun PBB ke-50. LVEP adalah
singkatan dari Living Values: an Educational Project.
Mereka menyederhanakan pendidikan karakter ini ke dalam nilai-nilai moral
kehidupan. Sebut saja ia nilai-nilai dasar. Awalnya, proyek ini diberi nama
“Sharing our values for a better world.” Proyek ini terfokus pada duabelas
nilai-nilai universal. Temanya—yang diambil dari pasal dalam Pembukaan
Perjanjian PBB—berbunyi: “To reaffirm faith in fundamental human rights,
in the dignity and worth of the human person…”
Untuk menguatkan kepercayaan pada
hak-hak asasi manusia, harga diri, dan kelayakan seorang manusia. Bagi Brahma
Kumaris waktu itu, pendidikan karakter cukup menekankan pada tiga hal: hak
asasi, harga diri, dan kelayakan seorang manusia.
Proyek ini kemudian
bermetamorfosis menjadi LVEP: Living values: an educational project. UNESCO
mengangkatnya menjadi program internasional. Hingga tahun 2000-an, tercatat
LVEP telah diaplikasikan di lebih dari 2000 lokasi yang tersebar di 80 negara.
Saya belum tahun Sekolah di Indonesia yang menerapkannya, tapi Sekolah Dasar
kami di Bandung, Sekolah Cerdas Muthahhari mencoba untuk mengamalkannya.
Inilah urutan nilai yang
direkomendasikan oleh LVEP:
1. Kedamaian
2. Penghargaan
3. Cinta
4. Tanggung jawab
5. Kebahagiaan
6. Kerja sama
7. Kejujuran
8. Kerendahan Hati
9. Toleransi
10. Kesederhanaan
11. Persatuan
Bagi anak-anak dengan usia yang
lebih tinggi, para pendidik di LVEP menambahkan nilai keduabelas: Kebebasan.
Yang menarik, LVEP menempatkan Kedamaian sebagai urutan yang pertama. Ada
banyak diskusi tentang apakah urutan-urutan ini harus diajarkan bertahap atau
dia bisa mulai dari mana saja. Para pendidik di LVEP sepakat, untuk urutan
empat hingga 11 bisa diajarkan kapan saja. Tetapi sebaiknya kita mulai dari
tiga nilai yang pertama, lebih utama lagi, kita selalu mulai dari kedamaian.
Mengapa? Karena langkah pertama untuk melanjut pada nilai-nilai berikutnya
adalah damai: berdamai dengan dirinya, berdamai dengan keluarganya, berdamai
dengan lingkungan di sekitarnya.
Bagaimana LVEP diterapkan oleh
orangtua atau lingkungan sekolah? Untuk anak-anak usia dini: tiga – tujuh
tahun, ada banyak cara untuk mengeksplorasi nilai-nilai itu. Kegiatan
mempelajari konsep baru, berbagi dan berpikir, menciptakan, dan mengajarkan
keterampilan sosial ini dikombinasikan dengan permainan, seni, bernyanyi,
gerakan, dan imajinasi. Pada banyak bagian, bahkan ada tahapan-tahapan khusus
yang bisa kita aplikasikan segera. Misalnya, inilah contoh cara umum menerapkan
satu nilai dalam tahapan-tahapan yang berbeda.
- Bernyanyi, umumnya anak-anak
senang bernyanyi. Bernyanyi membuat mereka mengekspresikan diri mereka lebih
kuat. Jika kita orangtua atau guru, janganlah malu untuk bernyanyi. Anak-anak
kita bukanlah juri audisi kompetisi vokal dengan sederet syarat pitch
control dan harmoni. Mereka belum mengenal fals dan falsetto.
Bernyanyilah…untuk anak-anak kita. Lagu bisa yang secara khusus berkaitan
dengan tema yang kita ajarkan, atau lagu yang kita gubah untuk menyesuaikan
dengan tema.
- Latihan menjadi hening. Anak-anak
sebetulnya secara alamiah kurang suka dengan keheningan. Apalagi bila diminta
untuk menutup mata. Guru atau orangtua bisa menjadikannya sebagai sebuah
permainan. Pola seperti ini diperlukan untuk menumbuhkan imajinasi. Salah satu
cara praktis mengajarkan anak-anak pendidikan karakter adalah pola pertanyaan:
“Mengapa?” Dan bukan “Apa?” Hening juga membantu guru dan orangtua untuk
mendinginkan suasana, dan memulai perbincangan dari start yang baru.
- Pelajaran, penyampain materi.
Baik dengan kegiatan bermain ataupuh diskusi. Di sini kreativitas guru dan
orangtua dituntut. Percayalah, orangtua adalah makhluk yang secara spontan
punya gudang kreativitas tak terbatas, terutama untuk anak-anaknya.
- Waktu berkelompok. Saat-saat
seperti ini adalah waktu yang baik melaksanakan pembuatan peraturan dengan
kolaboratif atau untuk penyelesaian masalah.
Apa yang harus disiapkan
orangtua?
Pertama, ketika berdiskusi dengan anak-anak, tidak ada jawaban “benar”
dan “salah”. Terbiasalah menerima dan mengakui jawaban anak-anak itu, seberapa
mustahilnya. Intinya bukan pada jawaban tetapi pada menghargai danmendengar
pendapat anak-anak. Dari pengalaman, anak-anak terbiasa memberikan jawaban yang
“menyimpang” dari standar. Misalnya: bahwa perang adalah bagian dari dunia yang
damai, atau “Aku bahagia bila dianggap anak nakal” dan sebagainya. Dalam
memberikan respons, mengangguk sudah cukup. Tetapi respons verbal yang
menyatakan bahwa orangtua menerima jawaban mereka dan menyatakan
kembali isi jawaban adalah metode yang lebih efektif dalam
menyatakan penghargaan orangtua.
Di sini, saya ingin bercerita
tentang “123 Magic”. Menurut Dr. John Gray, penulis bestseller Children
are from Heaven, pola respon anak-anak sekarang sudah jauh berbeda
dengan anak-anak dahulu. Saya kutip pendapatnya dalam satu wawancara dengan
WebMD Live (webmd.com), sebuah situs yang mengkhususkan diri untuk tema-tema
keluarga: Much of
our frustration as parents comes from not knowing what to do to manage our
children. We're at a crisis point in history. All of the old parenting skills
we learned by watching our parents parent are not as effective as they used to
be. Children today are different, and do not
respond to guilt trips, yelling, and the threat of punishment. These
are the kinds of control techniques our parents used as a last resort. In
previous generations, they worked, but today they don't. The book, Children Are
From Heaven, provides a training for parents with new communication skills to
make the job of parenting much easier and, at least, much less frustrating.
Frustration always arises when what we're doing is not working.
Anak-anak sekarang jauh lebih
kebal terhadap “rasa bersalah, teriakan, dan ancaman hukuman.” Dan ini bagian
yang kedua yang
harus disiapkan orangtua: menyampaikan pesan positif. Tentu orangtua adalah role
model anak yang paling awal. Bagi orangtua tidak berlaku prinsip
larangan riya. Menurut saya, orangtua harus riya. Bagaimana mungkin kita akan
mengajarkan bersedekah kalau kita sendiri tidak mencontohkannya (apalagi bila
tangan kiri harus tak tahu yang diamalkan tangan kanan)? Dr. Gray menyampaikan
Lima Pesan Positif yang dapat dilakukan orangtua.
- “It’s okay to be different.”
Berbeda itu tidak apa-apa.
- “It’s okay to make mistakes.”
Sesekali berbuat salah itu biasa.
- “It’s okay to have or express
negative emotions.” Mau marah, silakan saja.
- “It’s okay to want more.” Mau
minta lebih? Boleh. Dan…
- “It’s okay to say No.” Berkata
“Tidak” itu boleh saja.
(Kutipan lengkap Wawancara Dr.
Gray saya masukkan dalam bagian lampiran makalah ini. Inspiratif!)
Lebih jauh Dr. Gray bercerita
tentang 123 Magic. Ini adalah pola yang biasanya diterapkan orangtua untuk
anak-anaknya. Ketika perintahnya tidak dipatuhi, orangtua akan berkata: “Bapak
hitung ya…satu…(di sini biasanya nada suara masih rendah)…dua…(nada suara
meninggi) dan….tiga!” Anak biasanya berlari sebelum hitungan tiga.
Sekarang, hal seperti itu kurang
efektif lagi. Komunikasi yang dibangun adalah komunikasi otoritatif, bukan
komunikasi suportif. Menurut Dr. Gray, untuk anak-anak usia sembilan tahun,
setelah angka tiga kesan yang muncul adalah hukuman yang akan diberikan
orangtua bila anak tak memenuhi keinginannya. 123 Magic tetap efektif, bila
menyusul angka 3 itu, orangtua menerapkan “Time out” instead
of punishment.
Ketiga, yang dapat dilakukan orangtua adalah membantu anak untuk
memberikan makna terhadap situasi yang terjadi di sekitar kita. Kadang-kadang
kita sudah menetapkan sederet standar nilai untuk anak-anak kita, tetapi ketika
berbenturan dengan dunia luar (ambillah contoh ketika bertamu), mungkin anak
akan dihadapkan pada orang dewasa yang punya standar nilai yang berbeda. Di
sinilah prinsip pesan positif yang pertama dari Dr. Gray menemukan
relevansinya. It is okay to be different, tetapi
kemudian kita memberikan makna terhadap perbedaan-perbedaan itu.
Pendidikan Karakter: Studi di
Yayasan Muthahhari Bandung
Di sekolah-sekolah kami,
pendidikan karakter erat kaitannya dengan kecakapan hidup. Ustad Jalal (Dr.
Jalaluddin Rakhmat) merumuskan tujuh kecakapan hidup yang mendasari nilai-nilai
moral universal itu.
Ada tujuh life skills di
lembaga-lembaga kami berikut penekanan porsi pemberiannya, sejak SD hingga SMA. Learning Skills dan Social
Skills (SD), Communication Skill dan Coping Skill (SMP), Happiness Skill,
Spiritual Skill dan Financial Skill (SMA).
Adapun prinsip-prinsip karakter
yang dikembangkan menitikberatkan pada empati: kepedulian. Dalam
beberapa telaah mutakhir, tumbuhnya empati juga bersinergi dengan peningkatan
kemampuan secara akademis. Di SMP dan SMA, penerapannya lebih mudah.
Di Sekolah Dasar, kami harus
mencari cara lebih luwes lagi. Terutama untuk bentuk pengajaran empati yang
bersifat klasikal. Karena makalah ini lebih merujuk pada pendidikan karakter di
usia dini, berikut beberapa program kami di Sekolah Cerdas Muthahhari. Tentu
sebagai sekolah yang masih muda, semua itu dalam tahap trial and error yang
masih perlu diuji.
- Studi dan kunjungan pasca hari
H. Setiap kali terjadi musibah, hati kita tergetar. Segera kita terdorong untuk
membantu. Dampak dari musibah berlangsung lama. Setelah puncak berita memudar,
biasanya bantuan pun berkurang. Ambillah contoh Panti Asuhan. Umumnya ramai
dikunjungi pada bulan suci Ramadhan, tetapi pada waktu-waktu di luar itu,
ketika mereka justru sangat membutuhkan, sedikit yang berkunjung. Kami mengajak
anak-anak ke Panti Asuhan pada waktu-waktu sepi kunjungan itu.
- Melibatkan anak dalam
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan (Project-Based Curriculum). Biasanya dilakukan
pada waktu libur sekolah dengan materi yang diintegrasikan dengan kurikulum
sesuai tingkatan.
- Bermain peran dan beralih
posisi.
- Menghadirkan sosok dan
kisah-kisah inspiratif.
- Mengolah permainan-permainan yang disesuaikan dengan keperluan
pengenalan nilai-nilai.
Demikian beberapa pengalaman yang
bisa dibagi. Saya ingin menutup dengan mengutip Milan Kundera, peraih Nobel
Sastra: “We are
guilty of many errors, but our worst crime is neglecting our children, our
fountain of life. It is the time their bones are being formed. To them we
cannot say “tomorrow”. Their names are “TODAY”. ***
[Makalah ini disampaikan dalam Seminar Pendidikan Seri ke-7 tentang Pendidikan Karakter yang dilaksanakan pada 9 November 2010 di Gedung Bosowa Management Development Institute (BMDI) Makassar; kerjasama Yayasan Amalia Insani dan Quantum Sinergi Makassar]