02/05/22

Khutbah Idul Fitri: Komponen-komponen Tasyakkur [by KH Jalaluddin Rakhmat]


Allahu Akbar!  Wahai Yang Menguasai alam semesta,

Yang Menghidupkan dan Mematikan, saksikanlah, hari ini kami bersimpuh lagi di hadapan keagungan-Mu.

Allahu Akbar, Tiada Tuhan kecuali Engkau.

 Dengarlah puja dan sanjungan kami!

Terimalah sembah dan pengabdian kami!

Hadirin dan hadirat...

Dalam rangkaian ayat-ayat puasa, pada salah satu ayatnya Allah mengakhiri dengan perintah:

(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan “hendaklah kalian sempurnakan bilangan (puasamu), dan besarkanlah Allah atas petunjuk-Nya padamu, supaya kalian bersyukur.”  (Qs.Al-Baqarah[2]:185)

Dengan ayat ini Allah mengajarkan kepada kita bahwa setelah selesai menjalankan ibadah puasa, kita harus membesarkan Allah  dan bersyukur kepada-Nya. Ayat ini juga menegaskan, bahwa dalam kehidupan Muslim, kita berjalan dari takbir ke tasyakkur.

Takbir artinya membesarkan Allah, dan mengecikan apa-apa selain Allah. Dalam ibadah shaum, takbir kita cerminkan dengan mengecilkan pengaruh hawa nafsu dan menghidupkan kebesaran Allah dalam hati kita. Ketika kita membaca Al-Quran, kita mengecilkan seluruh pembicaraan manusia, dan hanya membesarkan Kalamullah. Ketika kita berdiri salat malam di bulan Ramadhan, kita kecilkan seluruh urusan dunia ini, dan hanya membesarkan perintah Allah. Seluruh ibadah kita adalah takbir. Seluruh ibadah kita dimaksudkan untuk mengecilkan apa pun selain Allah Yang Mahatinggi.

Setelah menyelesaikan seluruh ibadah ini, Allah masih juga memerintahkan kita untuk bertakbir. Bukankah dalam puasa kita sudah membesarkan Allah? Bukankah dalam tarawih dan tadarus kita sudah membesarkan Allah? Bukankah pada malam dan hari ‘Id kita sudah bertakbir? Mengapa kita masih harus bertakbir lagi, mengapa kita harus membesarkan Allah lagi?

Allah tahu, kita sering bertakbir dalam ibadah-ibadah kita, tetapi melupakan takbir di luar itu. Kita besarkan Allah di masjid, tetapi di luar masjid kita agungkan kekayaan, kekuasaan, kedudukan, kita besarkan hawa nafsu, kepentingan, dan pikiran kita. Di atas tikar sembahyang, di masjid, di mushalla, di tempat-tempat ibadah, kita gemakan takbir. Di kantor, di pasar, di ladang, di tengah-tengah masyarakat, kita lupakan Allah –kita gantikan takbir dengan takabur.

Ketika kita duduk di kantor, kita campakkan perintah-perintah Allah. Jabatan yang seharusnya kita gunakan untuk memakmurkan negara, melayani rakyat, membela yang lemah, menyantuni yang memerlukan pertolongan, kita manfaatkan untuk memperkaya diri. Kita bangga kalau kita mampu menyalahgunakan fasilitas kantor, kita bangga kalau kita melihat rakyat yang harus kita layani merengek-rengek bersimpuh memohon belas kasihan kita. Kita bangga kalau –dengan sedikit kecerdikan – kita menumpuk keuntungan walaupun mengorbankan saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air. Di kantor, kita singkirkaan takbir, dan kita suburkan takabur.

Ketika kita bersaing merebut pasar dan konsumen, ketika kita menjalankan bisnis, seakan-akan Allah tidak pernah hadir dalam hati kita. Kita lakukan cara apapun, tanpa peduli halal dan haram, tanpa memperhatikan apakah tindakan kita menghancurkan hidup orang lain atau menyengsarakan banyak orang. Kita lupakan firman Allah yang datang setelah perintah puasa:

“Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, dan janganlah kamu membawa urusan harta kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari  harta benda orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahuinya.”  (Qs.Al-Baqarah[2]:188)

Kita lupakan firman Allah itu. Kita bahkan merasa hebat bila kita mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya walaupun mencampakkan firman Allah. Kita sudah menggantikan takbir dengan takabur.

Di tengah-tengah masyarakat, kita tidak lagi mendengar firman Allah yang mengajarkan kejujuran, keikhlasan, kasih sayang, dan amal saleh. Sebaliknya, dengan setia kita mengikuti petunjuk iblis untuk melakukan penipuan, kemunafikan, kekerasan hati, dan penindasan. Allah yang kita besarkan dalam salat dan doa kita, kita lupakan dalam kehidupan kita. Dalam puasa kita menahan diri untuk tidak memakan makanan dan minuman yang halal, tetapi kita berbuka dengan makanan dan minuman yang haram. Bibir kita kering karena kehausan, perut kita kempis karena kelaparan, tetapi tangan-tangan kita kotor karena kemaksiatan.

Karena di masjid kita bertakbir, tetapi di tengah-tengah masyarakat kita ber-takabbur, kita sering melihat inkonsistensi (pertentangan) dalam perbuatan kita. Banyak orang yang khusyuk salatnya, khusyuk pula dalam merampas hak orang lain. Banyak orang yang fasih dalam melafalkan Al-Quran, dan fasih pula dalam memperdayakan orang lain. Banyak orang yang tidak putus puasanya, dan tidak putus pula kezalimannya.

Allahu Akbar! Tidak ada Tuhan kercuali Engkau. Ampuni kealpaan dan kekhilafan kami. Wahai Yang Pengasih dan Penyayang. Beri kami kemampuan untuk menggemakan takbir dalam seluruh kehidupan kami. Allahu Akbar wa lillahil-hamd.

Para ‘aidin dan ‘aidat....

Setelah perintah takbir, kita disuruh ber-tasyakkur. Takbir harus disusul dengan tasyakkur, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa tasyakkur terdiri atas tiga komponen: ‘Ilmu, hal, dan ‘amal.

Komponen tasyakkur pertama, yaitu ‘Ilmu, menunjukkan kesadaran kita akan nikmat-nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita. Kita tahu bahwa rahman Allah jualah yang menyebabkan kita masih hidup sampai hari ini, masih sanggup berlebaran tahun ini, masih sanggup berkumpul beserta keluarga atau sahabat-sahabat kita. Kita tahu bahwa rahim Allah jualah yang menyebabkan kita masih sanggup berpuasa, beribadah, bertakbir, dan menyampaikan syukur kita kepada-Nya hari ini.

Komponen tasyakkur kedua, yaitu hal, menggambarkan sikap kita akan nikmat Allah. Kita senang karena Allah senantiasa menolong kita pada saat-saat yang diperlukan. Hati kita penuh dengan rasa terimakasih kepada-Nya karena Dia telah membawa kita kepada keadaan seperti sekarang ini.

Rasulullah saw bersabda:يَتَّخِذَ أّحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُهُ عَلىَ أَمْرِ الآخِرَةِ  .

“Hendaklah kamu (berbahagia) bila mempunyai hati yang bersyukur, lidah yang berdzikir, dan istri (suami) mukmin yang membantumu dalam urusan akhirat.”  (HR.Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Komponen tasyakkur yang ketiga adalah ‘amal. ‘Amal diwujudkan dalam seluruh anggot badan kita. Bersyukur, kata Al-Ghazali, adalahإِسْتِعْمَالُ نِعَمِ اللهِ تَعالىَ فِى طَاعَتِهِ وَالتَّوْقِى مِنَ الإِسْتِعَانَةِ بِهَا عَلىَ مَعْصِيَتِهِ .

“Menggunakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala untuk menaati-Nya serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat-Nya itu untuk maksiat kepada-Nya.”  (Ihya’, 4:72)

Dengan demikian, tasyakkur yang benar ialah bila kita masukkan takbir dalam menggunakan nikmat-nikmat Allah. Kita gunakan nikmat hidup kita untuk membesarkan asma-Nya, menjunjung tinggi syariat-Nya, menghidupkan agama-Nya, dan menyayangi hamba-hamba-Nya. Kita gunakan nikmat kekuasaan, kekayaan, dan pengetahuan, untuk sebesar-besarnya mewujudkan kehendak Allah di bumi.

Allah mengajarkan cara tasyakkur ‘amal ini:  “Dan nikmat Tuhanmu, kabarkanlah.”  (Qs.Al-Dhuha[93]:11)

Arti mengabarkan nikmat ialah menyebarkan nikmat yang kita peroleh kepada orang lain. Kita bagikan kebahagiaan kita kepada orang lain. Makin banyak orang ikut merasakan nikmat yang kita peroleh, makin bersyukurlah kita. Anda menjadi orang kaya yang paling bersyukur bila kekayaan Anda dapat dinikmati oleh orang banyak. Kelebihan rezeki yang Anda peroleh tidak Anda gunakan untuk barang-barang konsumtif yang hanya berfungsi untuk meningkatkan harga diri. Anda tidak menikmatinya sendiri, anda serahkan sebagian rezeki Anda untuk menolong pasien yang tidak sanggup membayar biaya rumah sakit, memberikan beasiswa kepada anak cerdas yang tidak mampu, atau meringankan penderitaan orang miskin. Anda telah menyebarkan nikmat kepada orang lain. Inilah tasyakkur dalam ‘amal.

Jika Anda orang yang berilmu, Anda ber-tasyakkur jika Anda sebarkan ilmu Anda sehingga orang memperoleh manfaat dari pengetahuan yang Anda miliki. Anda gunakan ilmu Anda memberi petunjuk kepada orang yang bingung, hiburan kepada orang yang menderita, pengetahuan kepada orang yang bodoh. Anda telah menyebarkan nikmat. Anda telah melakukan tasyakkur.

Jika Anda orang yang  berkuasa, Anda ber-tasyakkur bila Anda menggunakan kekuasaan untuk melindungi yang lemah, menolak yang zalim, membasmi yang batil, menegakkan keadilan dan kebenaran, sehingga ketika Anda meninggal, semua orang menangis karena kehilangan pemimpin yang kekuasaannya mendatangkan nikmat kepada mereka.

Jika Anda orang yang mempunyai kelebihan tenaga, Anda ber-tasyakkur bila Anda gunakan tenaga Anda untuk mendatangkan manfaat bagi orang lain. Yang takabbur ialah orang yang selalu memanfaatkan orang lain buat dirinya. Yang tasyakkur ialah orang yang berusaha bermanfaat bagi diri orang lain.

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الْعِبَادِ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ أَنْفَعُ النَّاسِ لِلنَّاسِ وَأَفْضَلُ الأعْمَالِ إِدْخَالُ السُّرُوْرِ عَلىَ قَلْبِ الْمُؤْمِنِ يَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا أَوْيَكْشِفُ عَنْهُ كَرُبًا أَوْيَقْضِى لَهُ دَيْنًا .

“Manusia yang paling dicintai Allah Ta’ala ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Amal yang paling utama ialah memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang yang beriman, mengenyangkan yang lapar, melepaskan kesulitan, atau membayarkan utang.”  (HR.Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Nashaiul-‘Ibad:4)

Al-Quran dimulai dengan nama Allah –Bismillah− dan diakhiri dengan nama manusia –An-Nas. Salat dimulai dengan −takbiratul ihram  –penghormatan kepada Allah− dan diakhiri dengan −assalamu’alaikum −penghormatan kepada manusia. Puasa dimulai dengan menahan makan, dan diakhiri dengan memberikan makanan kepada orang lain. Bukankah itu semua menunjukkan bahwa amal seorang Muslim selalu dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan tasyakkur – dimulai dengan membesarkan Allah, dan diakhiri dengan mendatangkan manfaat kepada sesama manusia?

Marilah kita  akhiri salat ‘Id dan khotbah ini dengan bersama-sama menyampaikan doa kepada Allah SWT. ***

Sumber: Jalaluddin Rakhmat, Khotbah-khotbah Idul Fitri. Remaja Rosdakarya/Bandung 1993; hal.67−74.