Allahu Akbar! Wahai Yang Menguasai alam semesta,
Yang Menghidupkan dan Mematikan, saksikanlah, hari ini kami
bersimpuh lagi di hadapan keagungan-Mu.
Allahu Akbar, Tiada Tuhan kecuali Engkau.
Dengarlah puja dan
sanjungan kami!
Terimalah sembah dan pengabdian kami!
Hadirin dan hadirat...
Dalam rangkaian ayat-ayat puasa, pada salah satu ayatnya
Allah mengakhiri dengan perintah:
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan “hendaklah kalian sempurnakan bilangan (puasamu), dan besarkanlah
Allah atas petunjuk-Nya padamu, supaya kalian bersyukur.” (Qs.Al-Baqarah[2]:185)
Dengan ayat ini Allah mengajarkan kepada kita bahwa setelah selesai menjalankan ibadah puasa, kita harus membesarkan Allah dan bersyukur kepada-Nya. Ayat ini juga menegaskan, bahwa dalam kehidupan Muslim, kita berjalan dari takbir ke tasyakkur.
Takbir artinya membesarkan Allah, dan mengecikan apa-apa
selain Allah. Dalam ibadah shaum, takbir kita cerminkan dengan mengecilkan
pengaruh hawa nafsu dan menghidupkan kebesaran Allah dalam hati kita. Ketika
kita membaca Al-Quran, kita mengecilkan seluruh pembicaraan manusia, dan hanya
membesarkan Kalamullah. Ketika kita berdiri salat malam di bulan Ramadhan, kita
kecilkan seluruh urusan dunia ini, dan hanya membesarkan perintah Allah.
Seluruh ibadah kita adalah takbir. Seluruh ibadah kita dimaksudkan untuk
mengecilkan apa pun selain Allah Yang Mahatinggi.
Setelah menyelesaikan seluruh ibadah ini, Allah masih juga
memerintahkan kita untuk bertakbir. Bukankah dalam puasa kita sudah membesarkan
Allah? Bukankah dalam tarawih dan tadarus kita sudah membesarkan Allah? Bukankah
pada malam dan hari ‘Id kita sudah bertakbir? Mengapa kita masih harus
bertakbir lagi, mengapa kita harus membesarkan Allah lagi?
Allah tahu, kita sering bertakbir dalam ibadah-ibadah kita,
tetapi melupakan takbir di luar itu. Kita besarkan Allah di masjid, tetapi di
luar masjid kita agungkan kekayaan, kekuasaan, kedudukan, kita besarkan hawa
nafsu, kepentingan, dan pikiran kita. Di atas tikar sembahyang, di masjid, di
mushalla, di tempat-tempat ibadah, kita gemakan takbir. Di kantor, di pasar, di
ladang, di tengah-tengah masyarakat, kita lupakan Allah –kita gantikan takbir dengan
takabur.
Ketika kita duduk di kantor, kita campakkan
perintah-perintah Allah. Jabatan yang seharusnya kita gunakan untuk memakmurkan
negara, melayani rakyat, membela yang lemah, menyantuni yang memerlukan
pertolongan, kita manfaatkan untuk memperkaya diri. Kita bangga kalau kita
mampu menyalahgunakan fasilitas kantor, kita bangga kalau kita melihat rakyat
yang harus kita layani merengek-rengek bersimpuh memohon belas kasihan kita.
Kita bangga kalau –dengan sedikit kecerdikan – kita menumpuk keuntungan
walaupun mengorbankan saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air. Di kantor,
kita singkirkaan takbir, dan kita suburkan takabur.
Ketika kita bersaing merebut pasar dan konsumen, ketika kita
menjalankan bisnis, seakan-akan Allah tidak pernah hadir dalam hati kita. Kita
lakukan cara apapun, tanpa peduli halal dan haram, tanpa memperhatikan apakah
tindakan kita menghancurkan hidup orang lain atau menyengsarakan banyak orang.
Kita lupakan firman Allah yang datang setelah perintah puasa:
“Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, dan janganlah kamu membawa urusan harta kepada hakim supaya kamu dapat
memakan sebagian dari harta benda orang
lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahuinya.” (Qs.Al-Baqarah[2]:188)
Kita lupakan firman Allah itu. Kita bahkan merasa hebat bila
kita mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya walaupun mencampakkan firman Allah.
Kita sudah menggantikan takbir dengan takabur.
Di tengah-tengah masyarakat, kita tidak lagi mendengar
firman Allah yang mengajarkan kejujuran, keikhlasan, kasih sayang, dan amal
saleh. Sebaliknya, dengan setia kita mengikuti petunjuk iblis untuk melakukan
penipuan, kemunafikan, kekerasan hati, dan penindasan. Allah yang kita besarkan
dalam salat dan doa kita, kita lupakan dalam kehidupan kita. Dalam puasa kita
menahan diri untuk tidak memakan makanan dan minuman yang halal, tetapi kita
berbuka dengan makanan dan minuman yang haram. Bibir kita kering karena
kehausan, perut kita kempis karena kelaparan, tetapi tangan-tangan kita kotor karena
kemaksiatan.
Karena di masjid kita bertakbir, tetapi di tengah-tengah
masyarakat kita ber-takabbur, kita sering melihat inkonsistensi (pertentangan)
dalam perbuatan kita. Banyak orang yang khusyuk salatnya, khusyuk pula dalam
merampas hak orang lain. Banyak orang yang fasih dalam melafalkan Al-Quran, dan
fasih pula dalam memperdayakan orang lain. Banyak orang yang tidak putus
puasanya, dan tidak putus pula kezalimannya.
Allahu Akbar! Tidak ada Tuhan kercuali Engkau. Ampuni
kealpaan dan kekhilafan kami. Wahai Yang Pengasih dan Penyayang. Beri kami
kemampuan untuk menggemakan takbir dalam seluruh kehidupan kami. Allahu Akbar
wa lillahil-hamd.
Para ‘aidin dan ‘aidat....
Setelah perintah takbir, kita disuruh ber-tasyakkur. Takbir
harus disusul dengan tasyakkur, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa tasyakkur
terdiri atas tiga komponen: ‘Ilmu, hal, dan ‘amal.
Komponen tasyakkur pertama, yaitu ‘Ilmu, menunjukkan
kesadaran kita akan nikmat-nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita. Kita
tahu bahwa rahman Allah jualah yang menyebabkan kita masih hidup sampai hari
ini, masih sanggup berlebaran tahun ini, masih sanggup berkumpul beserta
keluarga atau sahabat-sahabat kita. Kita tahu bahwa rahim Allah jualah yang
menyebabkan kita masih sanggup berpuasa, beribadah, bertakbir, dan menyampaikan
syukur kita kepada-Nya hari ini.
Komponen tasyakkur kedua, yaitu hal, menggambarkan sikap
kita akan nikmat Allah. Kita senang karena Allah senantiasa menolong kita pada
saat-saat yang diperlukan. Hati kita penuh dengan rasa terimakasih kepada-Nya
karena Dia telah membawa kita kepada keadaan seperti sekarang ini.
Rasulullah saw bersabda:يَتَّخِذَ أّحَدُكُمْ قَلْبًا
شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُهُ عَلىَ أَمْرِ
الآخِرَةِ .
“Hendaklah kamu (berbahagia) bila mempunyai hati yang bersyukur,
lidah yang berdzikir, dan istri (suami) mukmin yang membantumu dalam urusan
akhirat.” (HR.Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Majah).
Komponen tasyakkur yang ketiga adalah ‘amal. ‘Amal
diwujudkan dalam seluruh anggot badan kita. Bersyukur, kata Al-Ghazali, adalahإِسْتِعْمَالُ
نِعَمِ اللهِ تَعالىَ فِى طَاعَتِهِ وَالتَّوْقِى مِنَ الإِسْتِعَانَةِ بِهَا
عَلىَ مَعْصِيَتِهِ .
“Menggunakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala untuk menaati-Nya serta
menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat-Nya itu untuk maksiat
kepada-Nya.” (Ihya’, 4:72)
Dengan demikian, tasyakkur yang benar ialah bila kita
masukkan takbir dalam menggunakan nikmat-nikmat Allah. Kita gunakan nikmat
hidup kita untuk membesarkan asma-Nya, menjunjung tinggi syariat-Nya,
menghidupkan agama-Nya, dan menyayangi hamba-hamba-Nya. Kita gunakan nikmat
kekuasaan, kekayaan, dan pengetahuan, untuk sebesar-besarnya mewujudkan
kehendak Allah di bumi.
Allah mengajarkan cara tasyakkur ‘amal ini: “Dan nikmat Tuhanmu, kabarkanlah.” (Qs.Al-Dhuha[93]:11)
Arti mengabarkan nikmat ialah menyebarkan nikmat yang kita
peroleh kepada orang lain. Kita bagikan kebahagiaan kita kepada orang lain.
Makin banyak orang ikut merasakan nikmat yang kita peroleh, makin bersyukurlah
kita. Anda menjadi orang kaya yang paling bersyukur bila kekayaan Anda dapat
dinikmati oleh orang banyak. Kelebihan rezeki yang Anda peroleh tidak Anda
gunakan untuk barang-barang konsumtif yang hanya berfungsi untuk meningkatkan
harga diri. Anda tidak menikmatinya sendiri, anda serahkan sebagian rezeki Anda
untuk menolong pasien yang tidak sanggup membayar biaya rumah sakit, memberikan
beasiswa kepada anak cerdas yang tidak mampu, atau meringankan penderitaan
orang miskin. Anda telah menyebarkan nikmat kepada orang lain. Inilah tasyakkur
dalam ‘amal.
Jika Anda orang yang berilmu, Anda ber-tasyakkur jika Anda
sebarkan ilmu Anda sehingga orang memperoleh manfaat dari pengetahuan yang Anda
miliki. Anda gunakan ilmu Anda memberi petunjuk kepada orang yang bingung,
hiburan kepada orang yang menderita, pengetahuan kepada orang yang bodoh. Anda
telah menyebarkan nikmat. Anda telah melakukan tasyakkur.
Jika Anda orang yang
berkuasa, Anda ber-tasyakkur bila Anda menggunakan kekuasaan untuk
melindungi yang lemah, menolak yang zalim, membasmi yang batil, menegakkan
keadilan dan kebenaran, sehingga ketika Anda meninggal, semua orang menangis
karena kehilangan pemimpin yang kekuasaannya mendatangkan nikmat kepada mereka.
Jika Anda orang yang mempunyai kelebihan tenaga, Anda ber-tasyakkur
bila Anda gunakan tenaga Anda untuk mendatangkan manfaat bagi orang lain. Yang
takabbur ialah orang yang selalu memanfaatkan orang lain buat dirinya. Yang
tasyakkur ialah orang yang berusaha bermanfaat bagi diri orang lain.
Rasulullah saw bersabda:
أَحَبُّ
الْعِبَادِ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ أَنْفَعُ النَّاسِ لِلنَّاسِ وَأَفْضَلُ
الأعْمَالِ إِدْخَالُ السُّرُوْرِ عَلىَ قَلْبِ الْمُؤْمِنِ يَطْرُدُ عَنْهُ
جُوْعًا أَوْيَكْشِفُ عَنْهُ كَرُبًا أَوْيَقْضِى لَهُ دَيْنًا .
“Manusia yang paling dicintai Allah Ta’ala ialah manusia yang
paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Amal yang paling utama ialah
memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang yang beriman, mengenyangkan yang
lapar, melepaskan kesulitan, atau membayarkan utang.” (HR.Ibnu Hajar al-Asqalani dalam
Nashaiul-‘Ibad:4)
Al-Quran dimulai dengan nama Allah –Bismillah− dan diakhiri
dengan nama manusia –An-Nas. Salat dimulai dengan −takbiratul ihram –penghormatan kepada Allah− dan diakhiri
dengan −assalamu’alaikum −penghormatan kepada manusia. Puasa dimulai dengan
menahan makan, dan diakhiri dengan memberikan makanan kepada orang lain.
Bukankah itu semua menunjukkan bahwa amal seorang Muslim selalu dimulai dengan takbir,
dan diakhiri dengan tasyakkur – dimulai dengan membesarkan Allah, dan diakhiri
dengan mendatangkan manfaat kepada sesama manusia?
Marilah kita akhiri
salat ‘Id dan khotbah ini dengan bersama-sama menyampaikan doa kepada Allah SWT.
***
Sumber: Jalaluddin Rakhmat, Khotbah-khotbah Idul Fitri.
Remaja Rosdakarya/Bandung 1993; hal.67−74.