Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga orang Indonesia merupakan salah satu tradisi zaman Wali Songo yang sampai sekarang masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat. Asal-usul tradisi ini sebenarnya berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha yang termodifikasi oleh ide-ide kreatif para Wali Songo, penyebaran agama Islam di Jawa.
Awalnya tradisi tahlilan ini belum ada, sebab masyarakat zaman dulu masih mempercayai kepada makhluk-makhluk halus dan gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha meminta sesuatu kepada makhluk makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang dikehendakinya. Agar keinginan itu terkabul, maka mereka membuat semacam sesajen yang nantinya ditaruh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti punden dan pohon-pohon besar.
Melihat kenyatan tersebut, selain menyebar dakwah Islam, para
Wali Songo juga bertekad ingin merubah kebiasaan merekah yang sangat kental
akan nuansa tahayyul untuk kemudian diarahkan kepada kebiasaan yang bercorak Islami
dan realistik. Untuk itulah, merekah berdakwah lewat jalur budaya dan kesenian
yang cukup disukai oleh masyarakat denga sedikit memodifikasi serta membuang
unsur-unsur yang berseberangan dengan Islam.
Dengan begitu, agama Islam akan cepat berkembang di tanah
Jawa dengan tidak membuang mentah-mentah tradisi yang selama ini mereka
lakukan. Tradisi tahlilan ini memang tidak terdapat pada zaman Nabi Muhammad Saw.
Lebih tepatnya tradisi ini lebih identik dengan perpaduan antara kebudayaan
Jawa Kuno dengan tradisi Islam. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang secara
terang-terangan menolak, bahkan menentang tradisi ini. Sebab, mereka menyakini
bahwa acara tahlilan merupakan amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah
saw, sehingga termasuk bid’ah.
Namun perlu diingat, para Wali Songo dalam berdakwah sangat
mengedepankan kehati-hatian serta strategi yang jitu dalam misinya menyebarkan
ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sebab, dikala itu kondisi mereka yang
masih beragama Hindu dan Bunddha masih belum mampu merubah total apa yang
menjadi kebiasan dan tradisi mereka, sehingga sangat sulit bagi para Wali
apabila langsung mengkikis kebudayaan yang mereka lakukan selama itu dalam
dakwahnya.
Mereka juga tidak sembarangan membuat adat istiadat yang mereka
lakukan serta sangat selektif dan teliti memilah-milah kebiasaan mana yang
masih dalam koridor syari’at dan mana yang bertentangan. Sebab apabila para
Wali Songo bertindak gegabah dalam menjalankan misinya, maka agama Islam pun
sulit diterima oleh orang Jawa pada waktu itu. Bahkan tak jarang merekapun
semakin membeci pada Islam yang justru makin menghambat berkembangnya agama
yang dibawa baginda Rasulullah saw ini.
Strategi Wali Songo ini kemudian diperkuat dengan statement
Imam Syafi’i yang dikutip dalam buku “jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam” karrangan
Ibnu Rajab yang berbunyi: “Bid’ah itu ada dua, yaitu bid’ah hasanah (terpuji)
dan bid’ah dhalalah (tercela). Bid’ah hasanah berarti bid’ah yang selaras
dengan sunnah, sedangkan bid’ah dhalala berarti bid’ah yang bertentangan dengan
sunnah”.32 Meskipun tradisi tahlilan di Indonesia merupakan suatu trradisi
Hindu-Buddha yang oleh Wali Songo dimodifikasi dengan nilai-nilai islami,
amalan yang ada dalam tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan
sudah penah dicontohkan sejak masa sahabat, serta pada masa tabi’in dan
seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut
masih ada hingga kini. Misalnya sepertiselamatan hari ketujuh diperbolehkan
dalam syari’at Islam.
Sebagaimana keterangan Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuhi
dalam kitab karangannya yaitu kitab Al-Hawi Lil Fatawi: “Telah berkata Imam
Ahmad bin Hambal RA di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud:
Telah menceritakan kepadaku AlAsyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata
Imam Thawus (‘ulama bersar zaman tabi’in): Sesunggunya orang-orang yang
meninggal akan dapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama tujuh hari.
Maka disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah)
untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Sementara itu, sedekah selama tujuh hari yang pahalanya
diperuntukan untuk orang yang meninggal tela berlangsung di Mekkah dan Madinah
sampai sekarang. Keterangan ini dijelaskan oleh Imam Suyuti di dalam kitabnya
Al Hawi Lil Fatawi. Berikut penjelasannya: “Telah sampai kepadaku bawahsanya
kesunahan bersedekah selama tuju hari itu telah berlangsung di Mekkah dan di
Madinah hingga sekarang”. Maka secara dzohir disimpulkan bahwa sedekah tersebut
tidak pernah ditinggalkan mulai dari zaman sahabat sampain sekarang. Para
generasi terkemudian (kholif) telah mengambilnya secara turun temurun dari
generasi terdahulu (salaf) sampai masa generasi pertama.
Pembacaan tahlil yang dikhususkan untuk orang-orang yang
telah meninggal juga menjadi tradisi turun temurun di Hadhramaut Yaman tempat
berdiamnya para ahlul bait dzurriyah Nabi Muhammad saw. Sejarah tersebut dapat
ditemukan dalam kitab Al-Ilmin Nibros tulisan dari Imam Jalaluddin As-Suyuthi,
Kitab Al-Hawi Lil Fatawi, jilid 2, h. 178.
Sayyid Al Habib Abdulloh bin Ashi bin Hasan Al Athos. Di
kitab tersebut di jelaskan: “Sabagain dari mereka (ahlul bait di Hadhramaut)
mengumpulkan para jama’ah yang membaca tasbih dan tahlil sebanyak 1000 kali,
kemudian mereka menghadiakan pahalahnya kepada orangorang yang telah meninggal
dunia.”
Jika di Mekkah dan di Madinah telah dikenal tradisi sedekah
selama 7 hari dan di Hadhramaut telah dikenal pembacaan tahlilan, maka ulama
Wali Songo yang notabene merupakan keturunan ahlul bait dari Hadhramaut
tersebut, mengingat para ulama Ahlu bait merupakan orangorang yang sangat
menjaga kemurnian ajaran yang didapat secara turun temurun yang bermuara kepada
Imam Ja’far Shodiq (putra Ali bin Tahlib) sampai kepada Rasulullah saw., dapat dipastikan
Wali Songo telah membawa tradisi ini dari sana, bukan dari Iran tempat yang
menjadi pusat syiah. Bukti bahwasanya Wali Songo merupakan keturunan dari
Hadhramaut ialah, bahwasanya Sayyid Ahmad Rahmatulloh yang dikenal dengan
sebutan Sunan Ampel merupakan putra dari Sayyid IbrahimZainal Akbar bin Husain
Zainal Akbar bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abdulloh bin Sayyid Abdul Malik
Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Marbath
bin Sayyid Alwikholi’ Qosam bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid
Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al Muhajir Ilallloh bin Isa bin Muhammad An-Naqib
bin Ali Al-Uraidli bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Ak-Baqir bin Ali Zaenal
Abidin bin Husain bin 22 Ali suami Fatimah Az-Zahra sampai kepada Rasulullah
saw, dengan begitu, tradisi yang dikenal dengan tahlilan merupakan perkawinan
tradisi Mekkah dan Madinah serta Hadhramaut.
Yang kebetulan Masyarakat Jawa kala itu sudah terbiasa dengan
sesajen ala Hindu, sehingga tradisi tahlilan ini sangat mudah diterima oleh
mereka setelah di sampaikan oleh para Wali penyebar Islam. Tradisi bacaan
tahlil sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin sekarang ini tidak terdapat
secara khusus pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tetapi tradisi
itu mulai ada sejak zaman ulama muta’akhkhirin sekitar abad sebelum hijriyah
yang mereka lakukan berdasarkan istinbath dari Al-qur’an dan hadits Nabi saw,
lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlil, mengamalkannya secara rutin dan
mengajarkannya kepada kaum muslimin.36 Ulama berbeda pendapat tentang siapa
yang pertama kali menyusun rangkaian bacaan tahlil dan mentradisikannya.
Sebagaian mereka berpendapat, bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah Sayyid
Ja’far Al-Barzanji, dan sebagai lain pendapat, bahwa yang menyusunpertama kali
adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang disebut
diatas adalah pendapat orang yang menyusun tahlil pertamakali adalah Imam
Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, karena Imam Al-Haddad yang wafat.pada tahun
1132 H lebih dahulu dari pada Sayyid Ja’far Al-Barzanji yang wafat pada tahun
1177 H. Pendapat ini diperkuat juga tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin
Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam Syarah Ratib Al-Haddad, bahwa kebiasaan Imam
Abdullah Al-Haddad sesudah membaca ratib adalah bacaan tahlil.
Tahlil yang dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesia sama
atau mendekti dengn tahlil yang dilakukan kaum muslimin di Yaman. Hal itu
dikarenakan tahlil yang berlaku di Indonesia ini disiarkan Wali Songo. Lima
orang dari Wali Songo itu para habaib (keturunan Nabi saw) dengan marga
Ba’alawy yang berasal dari Hadhramaut Yaman, terutama dari kota Tarim. Namun
ada sedikit perbedaan, yaitu jika di Yaman terdapat pengiriman do’a kepada Wali
Quthub yang bernama Sayyid Muhammad bin Ali Ba’alawy yang terkenal dengan
Al-FaqihAl-Muqaddam. Sedangkan di Jawa lebih banyak menyebutkan Sayyid Az-Syekh
Abdul Qadir AlJailani.
Kalau kita perhatiakan secara cermat susunan bacaan tahlilan
tidak terdapat didalamnya satu bacaan pun yang menyimpang dari Al-quran dan
Hadits. Semua bacaan yang ada bersumber dari keduanya. Kalaupun kemudian
formatnya tidak di atur secara langsung di dalam Al-qur’an dan Hadits, hal itu
tidaklah masalah, karena ia termasuk dzikir umum yang 24 waktu, bilangan dan
bacaannya tidak diatur secara baku oleh kedua sumber utama hukum Islam
tersebut. ***
SUMBER artikel dari https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/3298-Full_Text.pdf (bagian sejarah
tahlilan)