Wafatnya Rasulullah saw membuat sebagian kaum Muslim terombang-ambing antara percaya dan tidak. Umar bin Khaththab yang berada di sekitar pembaringan Nabi pun tidak percaya. Umar yang berada dekat rumah Nabi sambil mengangkat pedang berkata, “Rasulullah tidak wafat! Beliau hanya menghilang dan akan kembali lagi! Beliau hanya pergi menghadap Allah, sama seperti Musa bin Imran yang menghilang dari tengah-tengah kaumnya selama empat puluh hari dan akhirnya kembali lagi kepada mereka. Barangsiapa berani mengatakan Rasulullah telah wafat, akan kupotong kaki dan tangannya!”[1]
Lalu, muncul Abu Bakar dan
berkata: “Wahai manusia, barangsiapa menyembah Muhammad maka Muhammad
benar-benar telah wafat. Akan tetapi, barangsiapa yang menyembah Allah,
sesungguhnya Allah Mahahidup, tidak akan mati.”[2]
Selanjutnya Abu Bakar dan Umar bin
Khaththab pergi meninggalkan jenazah Nabi. Jenazah Rasulullah saw diurus oleh
Ali bin Abi Thalib bersama kedua putranya, disertai Abbas bin Abdul Muthalib,
Fadhl bin Abbas, Qutsam bin Abbas, Usamah bin Zaid, dan Syuqran.[3]
Selesai dikafani, Ali bin Abi
Thalib menjadi imam shalat jenazah dan turun ke liang lahad menempatkan jenazah
serta menguburnya di rumah Rasulullah saw.
Sementara Abu Bakar dan Umar bin
Khaththab berada di Saqifah Bani Saidah. Di Saqifah ini Abu Bakar dan Umar melihat para sahabat
Muhajirin dan Anshar berkumpul membahas kepemimpinan Islam. Ibnu Ishaq
meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ada
enam orang dari kaum Muhajirin (Makkah) yang datang ke Saqifah. Mereka adalah
Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Abu Ubaidah, Mughirah bin Syu’bah, Abdurrahman
bin Auf, dan Salim (maula Abu Hudzaifah). Setibanya di sana, seorang dari
Anshar berkata: “Kami adalah Anshar Allah dan pasukan Islam, sedang kamu, wahai
kaum Muhajirin, pada hakikatnya adalah kelompok kami karena kalian telah hijrah
ke Madînah dan bercampur dengan kami.”[4]
Pembicaraan itu
dikomentari Umar bin Khaththab: “Coba lihat, mereka hendak memutuskan kita dari
asal usul kita.”
“Pelan, wahai Umar,”
cegah Abu Bakar. Dalam forum
itu Abu Bakar berkata: “Kebaikan yang kalian katakan tentang diri kalian,
patut. Namun, orang-orang Arab tidak menerima selain kepemimpinan Quraisy.
Mereka adalah orang Arab yang paling mulia dari segi keturunan maupun dari segi
tempat tinggal mereka.”[5]
Abu Bakar juga mengatakan, “Kami adalah orang
pertama dalam Islam. Dan di antara kaum Muslim, kedudukan kami di
tengah-tengah, keturunan kami yang mulia, dan kami adalah saudara Rasul yang
paling dekat. Sedang kamu, kaum anshar adalah saudara-saudara kami dalam Islam
dan kawan-kawan kami dalam agama. Kalian menolong kami, melindungi kami, dan
menunjang kami; mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kalian. Karena itu, kami
adalah pemimpin (umara’), sedangkan kalian adalah pembantu (wuzara’,
menteri). Orang Arab tidak akan tunduk kecuali kepada orang Quraisy. Tentu
sebagian dari kamu mengetahui betul sabda Rasul: ‘Para pemimpin adalah dari
orang Quraisy (al-a’immah min Quraisy). Maka janganlah kalian bersaing
dengan saudara-saudara kalian kaum Quraisy yang telah mendapat anugerah dari
Allah.”[6]
Kemudian Abu Bakar berkata, “Saya relakan
kepada kalian satu dari dua orang. Pilihlah siapa yang kalian senangi.” Sambil
berkata ia mengangkat tangan Umar dan tangan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, “Kaum
Quraisy lebih dekat kepada Rasulullah dari pada kalian. Maka inilah Umar bin
Khaththab kepada siapa Nabi berdoa, ‘Ya Allah, kuatkanlah imannya!’ dan yang
lain adalah Abu Ubaidah, yang oleh Rasulullah disebut sebagai ‘seorang
terpercaya dari umat ini’. Pilihlah orang yang kalian kehendaki dari mereka dan
baiatlah kepadanya.” Namun, segera keduanya menolak dengan mengatakan: “Kami
tidak menyukai diri kami melebihi Anda. Anda adalah sahabat Nabi dan orang
kedua dari yang ada dalam dua (dalam gua bersama saat hijrah).[7]
Umar berkata, “Sementara Anda masih hidup?
Siapa yang dapat menggeser Anda dari kedudukan Anda yang telah ditentukan
Rasul?” Kemudian Abu Ubaidah berkata: “Wahai kaum anshar, kalian adalah yang
pertama membela Islam; janganlah kamu menjadi orang yang pertama memisahkan diri
dan berubah.”
Kemudian Abdurrahman bin Auf berdiri dan
berkata: “Kalian memang berjasa, tetapi kalian tidak memiliki orang-orang
seperti Abu Bakar, Umar, dan Alî.” Seorang anshar bernama Al-Mundzir bin Arqam
menjawab: “Kami tidak menolak kebajikan-kebajikan yang kalian sebutkan, tetapi
sesungguhnya ada seorang di antara kalian yang tidak akan ada seorang pun
menolak, jika ia menginginkan kepemimpinan ini; orang itu ialah Ali bin Abi
Thalib.”[8]
Sa’d bin Ubadah kemudian berkata: “Saya
adalah orang yang sudah tua, biarkan kami mengangkat seorang pemimpin di
antara kami, dan seorang pemimpin lain di antara kalian, wahai kaum Quraisy.”
Dalam kondisi tegang itu Umar bin Khaththab
berkata, “Bentangkan tangan Anda, Abu Bakar!” Abu Bakar pun membentangkan
tangannya kemudian Umar membaiatnya. Orang yang berada di Saqifah mengikutinya,
kecuali Sa’d bin Ubadah dan kelompoknya.
Orang-orang yang membaiat Abu Bakar berjalan
melangkahi permadani tempat Sa’d bin Ubadah duduk. Kelakuan yang kurang etis
itu direspons oleh pengawal Sa’d, yang berteriak: “Minggir, beri ruang agar
Sa’d dapat bernafas.”
Umar bin Khaththab mendekati Sa’d bin Ubadah
sambil berkata: “Saya ingin menginjak engkau sampai remuk!”
Mendengar itu, putra Sa’d bin Ubadah, Qais,
berteriak kepada Umar: “Jika engkau menyentuh sehelai rambutnya, akan aku
rontokkan semua gigimu!”
Melihat kejadian itu, Abu Bakar berteriak,
“Umar, tenang! Dalam keadaan seperti ini kita perlu ketenangan!”
Umar lalu meninggalkan Sa’d. Dengan lantang
Sa’d bin Ubadah berkata: “Jika aku dapat berdiri, aku akan membuat huru-hara di
kota Madînah agar engkau dan teman-temanmu bersembunyi ketakutan. Kemudian aku
akan menjadikanmu pelayan, bukan penguasa.”
Setelah itu, Sa’d meminta kepada pengawalnya
untuk membawanya pergi. Sejak peristiwa itu dikabarkan Sa’d tidak mau membaiat
Abu Bakar. Bahkan ketika seorang utusan dikirim untuk mengajaknya membaiat Abu
Bakar, Sa’d berkata: “Demi Allah, aku bersama keluargaku dan kaumku yang masih
patuh kepadaku akan memerangimu dengan
panah, tombak dan pisau. Demi Allah, andaikata seluruh jin dan manusia
berkumpul membantumu, aku tetap tidak akan membaiatmu sampai aku melaporkannya
kepada Tuhanku yang Maha Mengetahui tentang hisab-ku.” [9]
Setelah mendengar laporan tersebut, Umar
berkata kepada Abu Bakar: “Jangan tinggalkan sebelum dia membaiat!”
Basyir bin Sa’d pun menambah: “Ia adalah
seorang kepala batu dan ia telah menolak untuk membaiat. Ia tidak akan
membaiat sampai ia terbunuh. Kalau ia dibunuh, harus dibunuh juga anaknya,
keluarganya, dan sebagian dari kaumnya. Maka lebih baik, tinggalkan! Ia tidak
akan merugikan kamu. Ia hanya seorang diri!”
Sejak itu Sa’d bin Ubadah tidak shalat
berjamaah dan tidak berkumpul dengan mereka. Sa’d bin Ubadah dan pendukungnya memisahkan
diri dari persoalan yang berhubungan mereka.
Sejak keputusan di Saqifah,
terpilihlah Abu Bakar bin Abi Quhafah menjadi pemimpin Madinah (632-634 M.).
Tidak semua orang Islam memberikan baiat kepadanya. Kalangan yang tidak
memberikan baiat adalah keluarga Bani Hasyim dan para sahabat Nabi seperti
Al-Zubair, Utbah bin Abu Lahab, Khalid bin Said bin Al-Ash, Al-Miqdad bin Umar,
Salman Al-Farisi, Abu Dzarr, Ammar bin Yasir, Al-Barra bin Azib, dan Abu Ka`b,
Malik bin Nuwairah beserta kaum Ghatafan.[10]
Begitu juga Ahlul Bait (keluarga Rasulullah saw) tidak memberikan baiat.
Malahan oleh Sayidah Fathimah putri Rasulullah saw, Abu Bakar diprotes karena
mengambil Tanah Fadak yang merupakan harta keluarga Nabi.[11]
Dalam kondisi sakit, Abu
Bakar mengangkat Umar bin Khaththab menjadi penggantinya melalui wasiat yang
ditulis oleh Utsman bin Affan.[12]
Setelah diumumkan, Abu
Bakar bertanya kepada pengawalnya, Muaiqab Ar-Rusi. Muaiqab menjawab: “Ada yang setuju dan ada yang tidak.” Abu Bakar bertanya
lagi: “Mana yang lebih banyak?” Muaiqab menjawab: “Yang tidak setuju.” Lalu,
Abu Bakar berkata: “Kebenaran pada awalnya selalu memperlihatkan sisi pahitnya,
meski akhirnya yang menjadi pemenang.”
Di antara sahabat yang tidak
setuju adalah Thalhah. Umar pun menjadi pemimpin Madinah (634-644 M.)
menggantikan Abu Bakar yang meninggal dunia. Ketika mengetahui Umar menjadi
penguasa baru, Sa’d bin Ubadah (yang dahulu menolak baiat kepada Abu Bakar di
Saqifah) pergi ke Syam. Di negeri ini Sa’d dibunuh oleh Muhammad bin Maslamah
Al-Anshari yang dibantu oleh Khalid bin Walid.[13]
Di akhir masa hidup, Umar bin
Khaththab berani membuka rahasia yang disimpan tentang pembaiatan di Saqifah
Bani Saidah. Umar berkata, “Pembaiatan Abu Bakar sebenarnya faltah,[14]
hanya saja Allah telah menjaga kaum Muslim dari pengaruh buruk pembaiatan
tersebut.”[15]
Sebelum wafat, Umar membentuk dewan formatur yang dipimpin oleh
Abdurrahman bin Auf dan menetapkan Utsman bin Affan sebagai pemimpin. Setelah
wafat Utsman yang dibunuh pemberontak, umat Islam memilih Ali bin Abi Thalib
sebagai pemimpin di Masjid Nabawi. ***
[1] H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, Sejarah
Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a (Jakarta: Lembaga Penyelidikan Islam, 1981)
Bab V : Wafatnya Rasul Allah SAW.
[2] KH.Firdaus A.N, Detik-detik Terakhir
Kehidupan Rasulullah (Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984) halaman 37.
[3] Lihat bagian peristiwa pengurusan
jenazah Rasulullah saw dalam makalah ini.
[4] Rasul Ja`farian menerangkan bahwa yang
berbicara demikian adalah Hubab bin Mundzir, tokoh kaum Anshar. Di Saqifah,
Hubab berkata: “Berkat pedang kaum Ansharlah Islam memperoleh kemenangan.”
Lihat Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya
Dinasti Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta: Lentera, 2006) halaman 3.
[5] O.Hashem, Saqifah: Awal Perselisihan Umat (Lampung:
YAPI, 1983) Bab 8:
Pembaiatan Abu Bakar.
[6] Al-Baladzuri, Ansab Al-Asyraf, jilid 1, halaman 582.
[7] Ya’qubi, Tarikh, jilid 2, halaman 123.
[8] Ya’qubi, Tarikh jilid 2, halaman 123;
Ibn Abil-Hadid, Syarh Nahju al-Balaghah jilid 6, halaman 19-20.
[9] Ibnu Atsir, Tarikh Al-Kamil, jilid 2,
halaman 126; Kanzu’l-Ummâl, jilid 3, halaman 134; Imamah wa-Siyasah,
jilid 1, halaman 10; Al-Baladzuri, Sirah al-Halabiyah, jilid 4, halaman
397.
[10] Malik bin Nuwairah dan kaum Ghatafan
diperangi oleh Abu Bakar dengan alasan menolak bayar zakat. Padahal, mereka ini
berpegang pada wasiat Nabi untuk membagikan langsung zakat di lingkungannya.
[11] Protes Sayidah Fathimah kepada Abu Bakar bisa
dibaca pada karya Ali Syariati, Fatimah: The Greatest Woman In Islamic
History (Jakarta: Tahira, 2008) halaman 285-288.
[12] Muhammad Baqir Shadr, Kepemimpinan Pasca
Nabi (Jakarta: Al-Huda, 2010) halaman 32-33.
[13] Al-Mas’udi, Muruj Adz-Dzahab, jilid 1, halaman 414, dan jilid 2, halaman 194. Ibnu Sa’d
meriwayatkan dalam Thabaqat al-Kubra, jilid 3, halaman 145; dan Abu
Hanifah, Al-Ma’arif, halaman 113, bahwa ia sedang duduk sambil kencing
kemudian dibunuh dan mati di tempat. Lihat Rasul Ja`farian, Sejarah Islam:
Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah (11-132 H.)
(Jakarta: Lentera, 2006) halaman 16.
[14] Makna harfiah: percikan api. Bisa juga
diartikan: penyelewengan.
[15] Muhammad Baqir Shadr, Kepemimpinan Pasca
Nabi (Jakarta: Al-Huda, 2010) halaman 23; yang bersumber dari kitab
Tarikh At-Thabari, juz 5, halaman 42. Pengakuan Umar ini diriwayatka pula
dalam kitab Tarikh Khulafa karya Jalaluddin As-Suyuthi.