02/11/22

Peristiwa di Saqifah bani Saidah

Wafatnya Rasulullah saw membuat sebagian kaum Muslim terombang-ambing antara percaya dan tidak. Umar bin Khaththab yang berada di sekitar pembaringan Nabi pun tidak percaya. Umar yang berada dekat rumah Nabi sambil mengangkat pedang berkata, “Rasulullah tidak wafat! Beliau hanya menghilang dan akan kembali lagi! Beliau hanya pergi menghadap Allah, sama seperti Musa bin Imran yang menghilang dari tengah-tengah kaumnya selama empat puluh hari dan akhirnya kembali lagi kepada mereka. Barangsiapa berani mengatakan Rasulullah telah wafat, akan kupotong kaki dan tangannya!”[1] 

Lalu, muncul Abu Bakar dan berkata: “Wahai manusia, barangsiapa menyembah Muhammad maka Muhammad benar-benar telah wafat. Akan tetapi, barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Mahahidup, tidak akan mati.”[2]

Selanjutnya Abu Bakar dan Umar bin Khaththab pergi meninggalkan jenazah Nabi. Jenazah Rasulullah saw diurus oleh Ali bin Abi Thalib bersama kedua putranya, disertai Abbas bin Abdul Muthalib, Fadhl bin Abbas, Qutsam bin Abbas, Usamah bin Zaid, dan Syuqran.[3]

Selesai dikafani, Ali bin Abi Thalib menjadi imam shalat jenazah dan turun ke liang lahad menempatkan jenazah serta menguburnya di rumah Rasulullah saw.

Sementara Abu Bakar dan Umar bin Khaththab berada di Saqifah Bani Saidah. Di Saqifah ini Abu Bakar dan Umar melihat para sahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul membahas kepemimpinan Islam. Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ada enam orang dari kaum Muhajirin (Makkah) yang datang ke Saqifah. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Abu Ubaidah, Mughirah bin Syu’bah, Abdurra­hman bin Auf, dan Salim (maula Abu Hudzaifah). Setibanya di sana, seorang dari Anshar berkata: “Kami adalah Anshar Allah dan pasukan Islam, sedang kamu, wahai kaum Muhajirin, pada hakikatnya adalah kelompok kami karena kalian telah hijrah ke Madînah dan bercampur dengan kami.”[4]

Pembicaraan itu dikomentari Umar bin Khaththab: “Coba lihat, mereka hendak memutuskan kita dari asal usul kita.”

“Pelan, wahai Umar,” cegah Abu Bakar. Dalam forum itu Abu Bakar berkata: “Kebaikan yang kalian katakan tentang diri kalian, patut. Namun, orang-orang Arab tidak menerima selain kepemimpinan Quraisy. Mereka adalah orang Arab yang paling mulia dari segi keturunan maupun dari segi tempat tinggal mereka.”[5]

Abu Bakar juga mengatakan, “Kami adalah orang pertama dalam Islam. Dan di antara kaum Muslim, kedudukan kami di tengah-tengah, keturunan kami yang mulia, dan kami adalah saudara Rasul yang paling dekat. Sedang kamu, kaum anshar adalah saudara-saudara kami dalam Islam dan kawan-kawan kami dalam agama. Kalian menolong kami, melindungi kami, dan menunjang kami; mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kalian. Karena itu, kami adalah pemimpin (umara’), sedangkan kalian adalah pembantu (wuzara’, menteri). Orang Arab tidak akan tunduk kecuali kepada orang Quraisy. Tentu sebagian dari kamu mengetahui betul sabda Rasul: ‘Para pemimpin adalah dari orang Quraisy (al-a’immah min Quraisy). Maka janganlah kalian bersaing dengan saudara-saudara kalian kaum Quraisy yang telah mendapat anugerah dari Allah.”[6]

Kemudian Abu Bakar berkata, “Saya relakan kepada kalian satu dari dua orang. Pilihlah siapa yang kalian senangi.” Sambil berkata ia mengangkat tangan Umar dan tangan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, “Kaum Quraisy lebih dekat kepada Rasulullah dari pada kalian. Maka inilah Umar bin Khaththab kepada siapa Nabi berdoa, ‘Ya Allah, kuatkanlah imannya!’ dan yang lain adalah Abu Ubaidah, yang oleh Rasulullah disebut sebagai ‘seorang terpercaya dari umat ini’. Pilihlah orang yang kalian kehendaki dari mereka dan baiatlah kepadanya.” Namun, segera keduanya menolak dengan mengatakan: “Kami tidak menyukai diri kami melebi­hi Anda. Anda adalah sahabat Nabi dan orang kedua dari yang ada dalam dua (dalam gua bersama saat hijrah).[7]

Umar berkata, “Sementara Anda masih hidup? Siapa yang dapat menggeser Anda dari kedudukan Anda yang telah ditentu­kan Rasul?” Kemudian Abu Ubaidah berkata: “Wahai kaum anshar, kalian adalah yang pertama membela Islam; janganlah kamu menjadi orang yang pertama memisahkan diri dan berubah.”

Kemudian Abdurrahman bin Auf berdiri dan berkata: “Kalian memang berjasa, tetapi kalian tidak memiliki orang-orang seperti Abu Bakar, Umar, dan Alî.” Seorang anshar bernama Al-Mundzir bin Arqam menjawab: “Kami tidak menolak kebajikan-kebajikan yang kalian sebutkan, tetapi sesungguhnya ada seorang di antara kalian yang tidak akan ada seorang pun menolak, jika ia menginginkan kepemimpinan ini; orang itu ialah Ali bin Abi Thalib.”[8]

Sa’d bin Ubadah kemudian berkata: “Saya adalah orang yang sudah tua, biarkan kami mengangkat seor­ang pemimpin di antara kami, dan seorang pemimpin lain di antara kalian, wahai kaum Quraisy.”

Dalam kondisi tegang itu Umar bin Khaththab berkata, “Bentangkan tangan Anda, Abu Bakar!” Abu Bakar pun memben­tangkan tangannya kemudian Umar membaiatnya. Orang yang berada di Saqifah mengikutinya, kecuali Sa’d bin Ubadah dan kelompoknya.

Orang-orang yang membaiat Abu Bakar berjalan melangkahi permadani tempat Sa’d bin Ubadah duduk. Kelakuan yang kurang etis itu direspons oleh pengawal Sa’d, yang berteriak: “Minggir, beri ruang agar Sa’d dapat bernafas.”

Umar bin Khaththab mendekati Sa’d bin Ubadah sambil berkata: “Saya ingin menginjak engkau sampai remuk!”

Mendengar itu, putra Sa’d bin Ubadah, Qais, berteriak kepada Umar: “Jika engkau menyentuh sehelai rambutnya, akan aku rontokkan semua gigimu!”

Melihat kejadian itu, Abu Bakar berteriak, “Umar, tenang! Dalam keadaan seperti ini kita perlu ketenangan!”

Umar lalu meninggalkan Sa’d. Dengan lantang Sa’d bin Ubadah berkata: “Jika aku dapat berdiri, aku akan membuat huru-hara di kota Madînah agar engkau dan teman-temanmu bersembunyi ketakutan. Kemudian aku akan menjadikanmu pelayan, bukan penguasa.”

Setelah itu, Sa’d meminta kepada pengawalnya untuk membawanya pergi. Sejak peristiwa itu dikabarkan Sa’d tidak mau membaiat Abu Bakar. Bahkan ketika seorang utusan dikirim untuk mengajaknya membaiat Abu Bakar, Sa’d berkata: “Demi Allah, aku bersama keluargaku dan kaumku yang masih patuh kepadaku akan memerangimu  dengan panah, tombak dan pisau. Demi Allah, andaikata seluruh jin dan manusia berkumpul membantumu, aku tetap tidak akan membaiatmu sampai aku melaporkannya kepada Tuhanku yang Maha Mengetahui tentang hisab-ku.” [9]

Setelah mendengar laporan tersebut, Umar berkata kepada Abu Bakar: “Jangan tinggalkan sebelum dia membaiat!”

Basyir bin Sa’d pun menambah: “Ia adalah seorang kepala batu dan ia telah menolak untuk mem­baiat. Ia tidak akan membaiat sampai ia terbunuh. Kalau ia dibu­nuh, harus dibunuh juga anaknya, keluarganya, dan sebagian dari kaumnya. Maka lebih baik, tinggalkan! Ia tidak akan merugikan kamu. Ia hanya seorang diri!”

Sejak itu Sa’d bin Ubadah tidak shalat berjamaah dan tidak berkumpul dengan mereka. Sa’d bin Ubadah dan pendukungnya memisahkan diri dari persoalan yang berhubungan mereka.

Sejak keputusan di Saqifah, terpilihlah Abu Bakar bin Abi Quhafah menjadi pemimpin Madinah (632-634 M.). Tidak semua orang Islam memberikan baiat kepadanya. Kalangan yang tidak memberikan baiat adalah keluarga Bani Hasyim dan para sahabat Nabi seperti Al-Zubair, Utbah bin Abu Lahab, Khalid bin Said bin Al-Ash, Al-Miqdad bin Umar, Salman Al-Farisi, Abu Dzarr, Ammar bin Yasir, Al-Barra bin Azib, dan Abu Ka`b, Malik bin Nuwairah beserta kaum Ghatafan.[10] Begitu juga Ahlul Bait (keluarga Rasulullah saw) tidak memberikan baiat. Malahan oleh Sayidah Fathimah putri Rasulullah saw, Abu Bakar diprotes karena mengambil Tanah Fadak yang merupakan harta keluarga Nabi.[11]

Dalam kondisi sakit, Abu Bakar mengangkat Umar bin Khaththab menjadi penggantinya melalui wasiat yang ditulis oleh Utsman bin Affan.[12]

Setelah diumumkan, Abu Bakar bertanya kepada pengawalnya, Muaiqab Ar-Rusi. Muaiqab menjawab: “Ada yang setuju dan ada yang tidak.” Abu Bakar bertanya lagi: “Mana yang lebih banyak?” Muaiqab menjawab: “Yang tidak setuju.” Lalu, Abu Bakar berkata: “Kebenaran pada awalnya selalu memperlihatkan sisi pahitnya, meski akhirnya yang menjadi pemenang.”

Di antara sahabat yang tidak setuju adalah Thalhah. Umar pun menjadi pemimpin Madinah (634-644 M.) menggantikan Abu Bakar yang meninggal dunia. Ketika mengetahui Umar menjadi penguasa baru, Sa’d bin Ubadah (yang dahulu menolak baiat kepada Abu Bakar di Saqifah) pergi ke Syam. Di negeri ini Sa’d dibunuh oleh Muhammad bin Maslamah Al-Anshari yang dibantu oleh Khalid bin Walid.[13]

Di akhir masa hidup, Umar bin Khaththab berani membuka rahasia yang disimpan tentang pembaiatan di Saqifah Bani Saidah. Umar berkata, “Pembaiatan Abu Bakar sebenarnya faltah,[14] hanya saja Allah telah menjaga kaum Muslim dari pengaruh buruk pembaiatan tersebut.”[15]

Sebelum wafat, Umar membentuk dewan formatur yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf dan menetapkan Utsman bin Affan sebagai pemimpin. Setelah wafat Utsman yang dibunuh pemberontak, umat Islam memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin di Masjid Nabawi. *** 

 

note

[1] H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a (Jakarta: Lembaga Penyelidikan Islam, 1981) Bab V : Wafatnya Rasul Allah SAW.

[2] KH.Firdaus A.N, Detik-detik Terakhir Kehidupan Rasulullah (Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984) halaman 37.

[3] Lihat bagian peristiwa pengurusan jenazah Rasulullah saw dalam makalah ini.

[4] Rasul Ja`farian menerangkan bahwa yang berbicara demikian adalah Hubab bin Mundzir, tokoh kaum Anshar. Di Saqifah, Hubab berkata: “Berkat pedang kaum Ansharlah Islam memperoleh kemenangan.” Lihat Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta: Lentera, 2006) halaman 3. 

[5] O.Hashem, Saqifah: Awal Perselisihan Umat (Lampung: YAPI, 1983) Bab 8: Pembaiatan Abu Bakar.

[6] Al-Baladzuri, Ansab Al-Asyraf, jilid 1, halaman 582.

[7] Ya’qubi, Tarikh, jilid 2, halaman 123.

[8] Ya’qubi, Tarikh jilid 2, halaman 123; Ibn Abil-Hadid, Syarh Nahju al-Balaghah jilid 6, halaman 19-20.

[9] Ibnu Atsir, Tarikh Al-Kamil, jilid 2, halaman 126; Kanzu’l-Ummâl, jilid 3, halaman 134; Imamah wa-Siyasah, jilid 1, halaman 10; Al-Baladzuri, Sirah al-Halabiyah, jilid 4, halaman 397.

[10] Malik bin Nuwairah dan kaum Ghatafan diperangi oleh Abu Bakar dengan alasan menolak bayar zakat. Padahal, mereka ini berpegang pada wasiat Nabi untuk membagikan langsung zakat di lingkungannya.

[11] Protes Sayidah Fathimah kepada Abu Bakar bisa dibaca pada karya Ali Syariati, Fatimah: The Greatest Woman In Islamic History (Jakarta: Tahira, 2008) halaman 285-288.

[12] Muhammad Baqir Shadr, Kepemimpinan Pasca Nabi (Jakarta: Al-Huda, 2010) halaman 32-33.

[13] Al-Mas’udi, Muruj Adz-Dzahab, jilid 1, halaman  414, dan jilid 2, halaman 194. Ibnu Sa’d meriwayatkan dalam Thabaqat al-Kubra, jilid 3, halaman 145; dan Abu Hanifah, Al-Ma’arif, halaman 113, bahwa ia sedang duduk sambil kencing kemudian dibunuh dan mati di tempat. Lihat Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta: Lentera, 2006) halaman 16.

[14] Makna harfiah: percikan api. Bisa juga diartikan: penyelewengan.  

[15] Muhammad Baqir Shadr, Kepemimpinan Pasca Nabi (Jakarta: Al-Huda, 2010) halaman 23; yang bersumber dari kitab Tarikh At-Thabari, juz 5, halaman 42. Pengakuan Umar ini diriwayatka pula dalam kitab Tarikh Khulafa karya Jalaluddin As-Suyuthi.