Jailani tersenyum ramah, ia menyalamiku dan memperkenalkan pada sahabatnya Arif. Sepertinya mereka habis berdiskusi cukup alot tebakanku pasti tentang politik karena di kaos Arif tertulis Panwaslu.
Ngobrol sejenak saya meminta izin untuk sholat. Selesai sholat kami segera meminta izin untuk meneruskan perjalanan. Jailani hanya berkata "Ya Ustad, masih jauh perjalanannya".
Saya melihat Pak Yudi sudah agak mengantuk, kutawari dia untuk cari kopi. Dia bilang "Nanti Ustad, 3 kilo dari sini ada tempat ngopi cukup bagus." Seperti yang disebutkan Pak Yudi kami berhenti di sebuah tikungan. Sebelah kiri jalan ada dinding bukit yang dipenuhi pohon-pohon besar dan sebelah kanan ada warung-warung kecil mengikuti tikungan dan langsung menghadap laut. Di hadapan lautan itu berdiri gunung perkasa. Gunung Wato Wato. Pemandangan yang betul-betul indah. Tempat ini dikenal sebagai Tanjung Barnabas, saya tidak sempat bertanya kenapa dinamakan dengan nama Barnabas. Dan saya yakin juga tidak ada yang tahu disitu.
Tak lama kopi susu yang kami pesan keluar, hanya rasa manis susu dan gula yang terasa rasa kopinya entah hilang lenyap tak bersisa bahkan warnya coklat keputih2an. Ini bukan Kopi Susu tapi Susu Gula.
Waktu sudah beranjak gelap, kami masih menyusuri jalan yang membelah Maluku Utara. Sampai Tobello pukul 8 malam tapi perjalanan kami belum berhenti masih menuju Galea. Mustari dan Pak Yudi bergantian seperti guide menjelaskan tentang konflik kristen-muslim yang pernah terjadi. Tobello pusatnya Kristen
Mereka menunjukkan kuburan massal di desa Popilo ada 200 kristen yang mati dan 60 dari kalangan muslim. Peristiwa di awali konflik di Ambon tapi kemudian menjalar ke Maluku Utara, satu keluarga di Popilo ini dibantai dan jamaah masjid di bom. Sehingga kemudian menimbulkan huru hara.
30 menit dari Tobello kami sampai ke Galea. Paman Mustari menjamu saya menginap di rumahnya.
Pagi harinya kami menuju desa Tutumaloleo tempat kami melakukan test penerimaan calon Mahasiswa Sadra demgan di antar Pak Bahtar dan istrinya. Desa Tutumaloleo merupakan salah satu dapil Bu Siti, ada empat suku yang mendiami desa ini Tibelo, Sangir, Maba dan Gorab.
Sekolahnya agak jauh masuk ke dalam hutan kira-kira 3 km dari rumah penduduk, jalannya seadanya, perkebunan kelapa milik H. Adnan Amal salah seorang sejarawan yang cukup terkenal. Sekolahnya terdiri dari 3 bangunan 1 lantai bantuan APBD dikelilingi hutan dengan pohon-pohon tinggi dan lebat, cukup bersih walau sangat sederhana. Penjaganya sekaligus guru disitu Pak Wahyuddin Kari guru bahasa Inggris dan tampaknya merangkap jadi guru-guru lainnya.
Beberapa orang tua telah menanti saya mereka hampir tidak percaya ada kampus di Jakarta pula yang berbeasiswa. (Atau Modus ini) jadi saya diminta menjelaskan dulu. Saya sangat paham ini tapi kesan sedehana saya di Maluku ini mereka orang-orang yang tangguh dan cukup mementingkan pendidikan bagi anak2nya. Walau menurut cerita Pak Dr. Mubinnoho munculnya perusahan-perusahaan asing banyak membuat anak-anak tamat sma tergiur bekerja diperusahaan-perusahaan tersebut.
Saya mulai menjelaskan dengan menceritakan kesulitan saya dahulu untuk sekolah dan betapa banyak anak negeri ini tidak mendapatkan kesempatan yang layak padahal mereka sesungguhnya cerdas. Mereka khusyu memperhatikan saya bicara entah paham atau tidak. Cuma ketika saya tanya "Apakah ibu-ibu dan Bapak--bapak maunya anaknya kerja atau menikah ?" Salah satu dari ibu-ibu itu menjawab dengan logat Maluku yang khas "Kita toh ingin anak kita biar sekolah tinggi-tinggi. Masih kecil untuk kawin"... menarik. biasanya di daerah-daerah orang tua lebih menginginkan anak-anaknya kerja atau menikah dibanding kuliah. Tapi disini nun jauh di ujung timur Indonesia mereka semangat anak-anaknya sekolah tinggi.
Saya sempat tanya kepada Mustari tentang sikap masyarakat Halut (Halmahera Utara) tentang pendidikan. "Di sini Ustad orang rela tidak makang asal anaknya bisa sekolah." Keren, jarang seperti ini, makanya di Ternate banyak sekali Perguruan Tinggi berdiri.
Beberapa siswa yang sudah siap mengikuti test saya bagikan form untuk diisi dan juga soal-soal. Dengan tertib mereka mengikuti test ini. Semoga mereka sukses.
Waktu sudah pukul 13.00 kami mengarah kembali ke desa, Pak Bahtar rupanya sudah pesan Ikang pada salah satu warga desa Ahmad Sitoru, usianya mungkin 45an tubuhnya kekar dan atletis. Pernah lama jadi centeng di pelabuhan Tanjung Priok kini menjadi petani kopra, anaknya 3, yang ke 2 dan ke 3 kembar laki dan perempuan. Istrinya yang masak Ikang segar yang baru didapat dari laut, pisang bebe di goreng tipis dan ada sambal untuk pisang. Di Wilayah Timur mereka makan pisang dengan sambal, aneh ya?
Di Jakarta kita makan pisang dengan coklat dan keju. Kami makan di bagian belakang rumah Pak Ahmad yang justru eksotis karena langsung menghadap laut terbuka, anak-anak usia sd dan smp ramai bermain bola. Saja ajak mereka berfoto sebagian malu-malu, saya janjikan hadiah bagi mereka. Selesai foto saya keluarkan uang 100 ribu dan bilang ini hadiahnya, silahkan jajan. Salah satu anak langsung merebut dan mereka langsung lari menghambur, berkejaran mungkin ke warung.
Ikang laut yang segar dengan bumbu rica-rica saya nikmati, seorang Mama bawakan saya nasi. Ikang sungguh segar, dagingnya empuk dan manis. Tuhan memang menyediakan surga bagi masyarakat disini. Laut yang kaya, tanah yang subur dan tambang pasir besi, nikel dan emas yang tak berbatas. Sedihnya masyarakatnya masih 'miskin', entahlah faktor apa.
Selesai menikmati lezatnya ikang laut Halut, seorang Mama menghampiri saya, dia bawa anak perempuannya yang kelas XII SMA minta saya test supaya bisa kuliah. Widya walau terlihat malu ketika ditanya tapi semangat ingin kuliahnya tinggi.
Kami kembali menuju Galea, Pak Bahtar mengajak kami mengelilingi Talaga Galea, danau terbesar di Maluku. Desa Galea mengelilingi danau ini.
Pak Bahtar menceritakan bahwa desa Galea ini pernah dikuasai Jepang dan di seberangnya Pulau Morotai dikuasai Amerika mereka berperang dulu. Ketika Hisrosima di bom jepang pergi, mereka tenggelamkan senjata-senjatanya di danau. Ketika terjadi bentrokan antara Muslim dan Kristen, kalangan muslim menyelami danau dan mengambil senjata-senjata peninggalan Jepang. Banyak senjata berat bahkan ada senjata untuk menembak pesawat dan itu digunakan mereka untuk menembaki kalangan kristen.
Saya saksikan memang di Galea ada desa yang semuanya Kristen dengan gereja yang banyak dan ada desa muslim yang banyak masjidnya, batasnya hanyalah gardu. Bahkan di desa Mamuya satu desa terbagi 2 sebagian kristen sebagian muslim ditengah ada posko tentara yang menjaga. Terlihat bahwa bara itu belum sepenuhnya padam walau mereka sudah hidup bersama lagi.
Semoga para pemain politik tidak lagi menggunakan isu agama, kasihan masyarakat yang menjadi korban. Di antara mereka sebenarnya masih ada ikatan keluarga satu sama lain tapi konflik menjauhkan mereka. Mustari bercerita kalau berkelahi antar anak-anak muslim dan anak-anak Kristen, anak-anak muslim akan teriak "Jihad, jihad". Konflik 1990-2000 menimbulkan korban jiwa ratusan dan rumah-rumah yang dibakar, di salah satu desa saya masih melihat bekas gereja yang terbakar. Menyedihkan dan harga yang begitu mahal harus ditanggung rakyat.
Dalam hati saya miris, mereka yang hidup berdampingan sekian abad, terikat dalam rantai keluarga, memandang masjid dan gereja berdampingan dan kadang berhadapan tiba-tiba dibelah dan tentu bukanlah dari masyarakat itu sendiri saya yakin seribu persen.
Kami tiba dirumah Pak Bahtar sy segera sholat dan mengemasi pakaian. Ada 2 anak muda datang untuk mengantar saya ke Tobali, Irfan dan Aris. Irfan alumni Universitas Alauddin Makassar bidang Kesehatan Masyarakat, istrinya dokter puskesmas Galea dan Aris alumni tekhnik di Makasar. Keduanya murid Ustad Ashar Makassar. Berempat dengan Mustari kami menuju Tobali, perjalanan diisi diskusi hangat persoalan kekinian, seakan mereka haus karena sudah lama tidak ikut kajian2.
Dari Tobali saya dan Mustari menyewa mobil ke Halmahera. Sopirnya Jafir Hahamehe ternyata masih satu suku dengan Mustari. Sama persis seperti Pak Yudi sebelumnya, Avanzanya seperti tidak ada rem, hujan membuat basah jalan tapi tak mengurangi semangat Jafir menambah kecepatan. Setelah 1.5 jam perjalanan, di jalanan turun yang sepi setengah mengantuk terlihat ada binatang lewat, jalanan yang licin dan upaya menghindari binatang membuat mobil avanza tua itu berputar dijalan hampir 120 derajat dan dengan tangkas serta reflek yang sangat terlatih Jafir mengarahkan kembali mobil ke 'jalan yang benar', Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa dan Jafir kembali memacu mobil dengan kecepatan aba kadabranya dan saya hanya bisa baca sholawat.
Waktu sudah lewat maghrib ketika kami berhenti di satu kedai, cukup ramai disitu saya mengambil nasi dan lauk yang hanya ada ikang, saya tanya tempe sama sekali tidak ada. Saya sholat maghrib dan isya disitu, selesai sholat ada seseorang yang memperhatikan saya dan dengan logat khasnya "Saya seperti pernah lihat Bapak ini ? Betul, Bapak saya lihat di You Tube" hehehe saya merasa jadi Youtuber..minta foto lagi, serasa jadi artis hehehe.
Kami melanjutkan perjalanan dan tiba di Halmahera pukul 21.15 menit, di pelabuhan sepi, pemilik boat segera mendekati dan menawarkan boatnya. Cukup lama mengisi penuh boat hingga pukul 11.30.
Cuaca hujan gerimis dan ombak sedang kami menyeberang diantara gelapnya laut dan hujan gerimis. 1 jam kami tiba di Ternate. Jam sudah menunjukkan pukul 00.30, di depan pelabuhan ada kedai kopi dan sebelahnya kafe. Saya memesan kopi susu di kafe cukup ramai dan musik jazz dengan lagu-lagu Frank Sinatra, Louis Amstrong, Etta James dinyanyikan, keren juga nih cafe walau sangat sederhana. Mustari mengambil motor dirumah Kaka nya tak jauh dari situ. Dia hubungi juga Udin alumni Rausyan Fikr, asn di P.U sekarang dia dan istrinya sedang menyelesaikan s2 di Unibraw Malang pada bidang Manajemen Administrasi. Udin mengajak saya untuk istirahat dirumahnya, dengan motor Mio saya dibonceng, jalannya menanjak tajam dan motor matic Mio seperti sangat-sangat terpaksa mengangkut kami, rumahnya di bahu Gunung Gamalama. Pemandangan ke bawahnya sangat menakjubkan, kota Ternate di malam hari. Lampu-lampu kota gemerlapan dan lampu dari perahu-perahu nelayan yang berkelap-kelip di lautan.
Sejenak tidur lumayan menghilangkan lelah, sebelum subuh saya sudah kembali bangun. Saya lihat Udin dan Mustari masih berdiskusi, ada kopi yang tinggal seperempat dan dua bungkus rokok, entah sudah berapa batang rokok yang mereka hisab tapi itulah style aktivis.
Suara sholawat di Masjid-masjid cukup ramai bertabrakan satu dengan lainnya, saya membersihkan diri dan kemudian sholat subuh. Setelah subuh dengan motor mio kami kembali melintasi jalan-jalan Ternate menuju Bandara di antara jalan menurun itu Udin menunjukkan rumah Dorce Gamalama, gelar Gamalamanya langsung didapat dari Sultan menurur penjelasan Udin. Saya mengira sebelumnya Dorce dari Padang ternyata dari Ternate atau mungkin seperti Uda Alen orang tua Padang yang merantau ke Maluku..Wallahu'alam.
Karena belum bisa masuk ke dalam saya sempatkan memesan nasi goreng untuk sarapan, saya makan sendiri karena Udin dan Mustari sudah makan. Warna nasi gorengnya gelap entah karena kebanyakan kecap atau sudah disimpan lama dan dipanaskan..sepertinya yang kedua karena menghidangkannya gak pake lama..harganya 80 ribu..Duh, ya tapi dah pesen.
Sebelum berpisah Mustari minta foto bersama, saya baru sadar belum ada foto bersama Mustari. Saya juga lupa menceritakan Mustari. Dia pernah kuliah di Jogja tapi hanya semester 3 tidak selesai tapi aktiv di Rausyan Fikr bersama Ustad Sofwan, kemudiab melanjutkan di Sadra. Di kelas dia hanya bisa bertahan 20 menit selanjutnya dia berjemur karena tidak tahan AC, di asrama sering tidak ada, jiwa aktivisanya tidak bisa dibendung, biasanya dia gabung dengan mahasiswa organisasi lain memikirkan nasib negara. Fil Akhir dia cabut dari Sadra kembali ke Ternate, membuat kajian dan jualan buku-buku. Rupanya itu tidak memuaskan baginya dia balik ke kampungnya Tutumaloleo, menggarap lagi lahan warisan keluarganya, selain menanam kopra dia juga menanam pisang yang dapat dipanen per 3 bulan. Dari panen kopra yang lalu dia biayai beberapa calon mahasiswa untuk dididik di Makassar. Alasannya memilih jadi petani lagi agar lebih bebas menjalankan aktivitas Ahlul Baitnya. Usianya mungkin 27an, saya tanya kenapa belum menikah 'Saya ingin istri yang mendukung perjuangan Ahlul Bait saya kalau tidak saya tidak mau"..luar biasa perjuangannya. Jika mau tau wajahnya, lihatlah lembaran uang 1000 yang lama, persis Patimura dengan sedikit kurus saja, wajahnya ada sedikit 'Arab'sepertinya tapi rupa timurnya sangat jelas. Dan kami berpisah di Bandara Sultan Babullah Ternate
Penerbangan 3.5 jam ke Jakarta kali ini terasa sangat nyaman, tidak ada turbulance sama sekali dan lelap membuai saya hingga landing di Soetta. Putriku Najwa menyambut dengan mengerlingkan mata, kode rahasia antara kami berdua dan istriku sudah siap berpakaian kondangan, saya harus segera hadir untuk baca doa di pernikahan anak tetangga. Besok sore saya harus kembali terbang ke Surabaya
Saya kembali terbayang wajah anak-anak desa Tutumaloleo dan Dodowo yang polos dan bersinar bak mutiara lautan Arafuru, mereka ingin merubah sejarah kehidupan berjuang melanjutkan pendidikan, persis seperti diriku dahulu. Secercah cintaku jatuh di lipatan hatiku untuk mereka. Semoga lebih banyak anak-anak bangsa ini mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih baik. Tamat. ***