Berikut review singkat buku “Jam’ul Quran: Bayna isykaliyyat al-nash wa-ru’yat al-istisyraq” (Pengumpulan al-Quran: Antara problem teks dan perspektif orientalisme) karya Dr. Abdul Jabbar Naji. Dibagi dalam 8 bab, buku ini menyorot tiga persoalan penting (1) problem sejarah teks al-Quran yang dinarasikan sumber-sumber Sunni; (2) keberadaan mushaf Ali sebelum proyek mushaf Abu Bakar dan Utsman, and (3) diversifikasi pandangan orientalis.
Jika ketiga persoalan itu diperas intinya mengarah pada pertanyaan: Kenapa para pengkaji al-Quran di Barat mengabaikan sejarah al-Quran versi Syi’ah, padahal sumber-sumber Sunni tidak menyajikan riwayat yang koheren tentang asal-muasal mushaf al-Quran?
Bagi saya, ini pertanyaan menarik dan menghentak karena para peneliti sejarah al-Quran, baik di Barat maupun di dunia Muslim, telah begitu lama mengabaikan kekayaan literatur Syi’ah. Terkecuali diskusi singkat yang dilakukan Friedrich Schwally, sarjana-sarjana Barat mendiskusikan sejarah al-Quran dengan sepenuhnya bersandar pada perspektif dan sumber-sumber Sunni.
Di dunia Muslim, karena diskusi sejarah al-Quran telah dianggap selesai, para penulis Muslim (Sunni) tidak lagi tertarik menelaah kompleksitas riwayat-riwayat seputar pengumpulan dan formasi mushaf al-Quran yang disajikan dalam sumber-sumber Sunni. Asumsi umum yang berkembang ialah bahwa riwayat pengumpulan al-Quran itu direkam dalam sumber-sumber otentik, seperti Shahih Bukhari.
Buku Abdul Jabbar ini perlu dibaca karena akan menyadarkan kita bahwa sejarah al-Quran “jauh dari selesai.” Tentu saja, seperti diduga, buku ini ditulis dari perspektif Syi’ah dan hendak menegaskan superioritas mushaf Ali dibanding mushaf-mushaf lain, termasuk yang dikenal dengan mushaf Utsmani. Sampai pada batas tertentu, Abdul Jabbar berhasil mendemonstrasikan bahwa sejarah al-Quran versi Sunni yang dimuat dalam sumber-sumber otoritatif, seperti shahih Bukhari, tidak sedemikian koheren sebagaimana umumnya diduga.
Seperti terlihat dalam SS, versi Bukhari sendiri sebenarnya tidaklah tunggal, melainkan beragam dan kontradiktif. Riwayat yang umum diketahui, ketika Zaid mulai menghimpun al-Quran, dia mengaku kehilangan 2 ayat di akhir surat al-Ahzab dan akhirnya menemukan (hanya) pada Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari. Ternyata Bukhari meriwayatkan kisah ini dengan berbagai versi. Abdul Jabbar mengidentifikasi enam versi dalam Bukhari.
Bahkan, tentang siapakah sahabat yang bernama “Khuzaimah” itu sulit ditemukan identitasnya di kalangan sahabat. Satu riwayat Bukhari menyebutkan namanya sebagai “Abu Khuzaimah,” bukan Khumaimah. Dalam versi lain, yang ditemukan itu satu ayat, bukan dua. Ada riwayat lain lagi memperlihatkan karaguan Zaid untuk mengambilnya atau tidak.
Ini baru tentang Khuzaimah dalam satu kitab yang dianggap otoritatif! Bagaimana jika dibandingkan dengan sumber-sumber lain? Bagaimana juga dengan tugas besar yang dibebankan pada seorang anak muda, bernama Zaid bin Tsabit? Dia mengaku “kehilangan” ayat dan menemukan pada Khuzaimah? Kehilangan? Kehilangan itu maksudnya kelupaan.
Bagaimana mungkin Zaid bersandar pada Khumaimah seorang diri, dan tidak dikuatkan dengan saksi-saksi lain? Memang, kemudian disebutkan suatu riwayat bahwa kesaksian seorang Khuzaimah bernilai 2 orang. Pertanyaan yang diajukan Abdul Jabbar ialah: Kenapa Zaid tidak berkonsultasi dengan sahabat-sahabat senior yang dikenal memiliki mushaf sendiri, seperti Ubay, Ibn Mas’ud, atau imam Ali sendiri, tapi malah menerima transmisi seorang Khuzaimah?
(Juga kenyataan bahwa Zaid menemukan 2 ayat hanya pada satu orang (Khuzaimah) memunculkan pertanyaan serius soal klaim “seluruh al-Quran ditransmisikan secara mutawatir.” Bagaimana mungkin bisa dikatakan mutawatir jika hanya diriwayatkan oleh satu orang? Saya pernah bicara 3 pertemuan terkait “al-Quran bersifat mutawatir” itu. Kayaknya masing2 pertemuan berdurasi 2 jam. Jadi, bicara tema itu selama 6 jam, haha. Yang ikut acara itu, silakan ngacung tangan!)
Ini baru satu contoh. Episode-episode lain dalam sejarah pengumpulan al-Quran, baik pada masa Abu Bakar maupun Utsman bin Affan, sama sekali tidak steril dari pertanyaan kritis Abdul Jabbar. Jika dalam contoh di atas dikesankan peran sentral dari seorang Zaid, dalam riwayat Bukhari yang lain dikesankan sebagai kerja tim.
Disebutkan oleh Bukhari, Utsman memerintahkan Zaid untuk menuliskan apa yang didektikan oleh Sa’id bin al-Ash dan dihadiri oleh Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin al-Harits (baca buku Abdul Jabbar hal. 41 dan seterusnya). Melalui pengamatan yang jeli, Abdul Jabbar mempersoalkan akurasi riwayat ini karena mereka semua masih sangat muda. Sa’id bin al-Ash itu lahir pada tahun hijrah, artinya dia berumur 10 tahun ketika Nabi wafat. Demikian juga Abdurrahman yang berumur belasan tahun saat Nabi meninggal.
Pertanyaan retorisnya: Masak iya tugas maha besar menghimpun dan mengumpulkan al-Quran dibebankan kepada bocah-bocah, padahal banyak sahabat lain yang lama hidup bersama baginda Nabi dan lebih mengetahui seluk-beluk turunnya ayat-ayat al-Quran?
Ada sejumlah poin lain dalam buku ini yang perlu direnungkan serius. Misalnya, soal alasan Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Quran. Yakni, karena sejumlah sahabat penghafal al-Quran gugur pada perang Yamamah. Pertanyaan Abdul Jabbar, jika memang itu motivasinya, lalu di mana peran para penghafal al-Quran itu (mereka yang tidak gugur di Yamamah) dalam narasi pengumpulan al-Quran? Mereka tak disebutkan dalam riwayat pengumpulan al-Quran.
Terus terang, saya suka dengan sikap kritis Abdul Jabar, termasuk kritiknya terhadap kajian orang-orang Barat, yang disebutnya orientalis. Diakui atau tidak, para pengkaji al-Quran di Barat terlalu bersandar pada sumber-sumber Sunni, dan mengabaikan sumber Syi’ah. Dengan nada sedikit meledek, Abdul Jabbar berkata: “Pantesan kajian orientalis sampai pada kesimpulan beragam, karena mereka bersandar pada sumber-sumber yang penuh kontradiksi!”
Sayangnya, sikap kritis Abdul Jabbar tidak tampak ketika dia mendiskusikan sumber-sumber Syi’ah terkait superioritas mushaf Ali. Memang benar sumber-sumber Sunni pun sebenarnya menyebut mushaf Ali. Namun demikian, jika dia bersikap kritis pada koherensi sumber-sumber Sunni, seharusnya dia memperlihatkan sikap yang sama terhadap sumber-sumber Syiah.
Saya setuju bahwa sumber-sumber Syi’ah perlu mendapatkan tempat dalam kajian akademis. Sudah saatnya sejarah versi Syi’ah didiskusikan secara serius, bukan dilupakan. Saya juga setuju bahwa sumber-sumber Sunni perlu dilihat dengan kacamata kritis. Tapi, sangat disayangkan jika kritisisme Abdul Jabbar pada narasi Sunni semata dimotifasi oleh semangat sektarianisme, sehingga dia tak kuasa untuk bersikap kritis pada sumber Syiah.
Kenyataannya, problem-problem yang dihadapi sumber Sunni, sebagaimana saya tulis dalam “Rekonstruksi Islam Historis” dan “Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis”, juga ditemukan dalam sumber Syiah. Itu sebabnya penulis-penulis Syi’ah modern yang bersandar pada sumber-sumber Syi’ah seperti al-Khu’i dan Hadi Ma’rifat, sampai pada kesimpulan berbeda soal sejarah al-Quran. Coba pelajari pandangan keduanya terkait apakah sudah ada kitab al-Quran pada zaman Nabi. Khu’i mengatakan ada, sementara Ma’rifat menolaknya.
Ala kulli hal, kajian akademis mensyaratkan sikap kritis tanpa memandang apakah itu terkait iman kita sendiri atau pihak lain. Jika hanya mau ngritik pihak lain sementara mengagung-agungkan keimanan sendiri sebagai satu-satunya kebenaran, jangan bermimpi jadi sarjana yang serius. Ada profesi lain yang lebih pas. Misalnya, da’i atau khatib. Syukur-syukur bisa masuk daftar penda’i yang dulu pernah diinisiasi Kemenag untuk diberikan sertifikat.
Semua profesi itu mulia. Cuma masing-masing punya karakteristik dan persyaratannya sendiri. Iyo orak? Eh ternyata review ini tidak singkat. ***
artikel dari FB Munim Sirry