29/03/22

Ramadhan dan Syawal, Ormas IJABI Mengikuti Ketetapan Pemerintah

 Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.

PictureSesuai arahan Ketua Dewan Syura IJABI  Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, bahwa sejak awal berdiri ormas IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) mengikuti Ketetapan Pemerintah Republik Indonesia dalam penetapan tanggal 1 Ramadhan dan Idul Fitri (1 Syawal).
Menurut para ahli fiqih, keputusan waliyyul amri atau hakim syar'i atau pemerintah, yarfa'ul khilaf, menyelesaikan perpecahan. Secara sederhana, hukum fiqh terbagi dua, yaitu urusan privat dan urusan publik.
Kita boleh berbeda dalam mengamalkan hukum-hukum fiqh yang berkaitan dengan urusan privat. Soal fiqh wudhu, shalat, puasa, bahkan haji boleh kita lakukan sesuai mazhab masing-masing. 

Tapi ketika ibadah kita atau hukum-hukum fiqh sudah memasuki wilayah publik, kita tidak boleh ikhtilaf. Demi kepastian hukum dan ketertiban umum. Mazhab-mazhab yang berbeda menetapkan hari wukuf di Arafah yang juga berbeda-beda.

Tapi ketika Kerajaan Saudi menetapkan hari wukuf (misalnya Kamis), maka seluruh jamaah haji mematuhi. Apapun mazhabnya. Syiah dan Sunni wukuf pada hari yang sama. Bisa Anda bayangkan apa yang terjadi sekiranya setiap mazhab bertahan dengan keputusan yang berbeda-beda? Bayangkan kacau balaunya ibadah haji karena dua kali wukuf, dua kali melempar jumrah, dan seterusnya. 

Karena itu, sesuai fatwa Ayatullah Sayyid Ali Khamenei (semoga Allah panjangkan usia beliau dalam keberkahan) bahwa dalam penetapan tanggal 1 bulan Ramadhan, kita harus mengikuti Keputusan Hakim Syar'i di negerinya masing-masing (dalam hal ini, di Indonesia adalah Pemerintah Republik Indonesia c.q. Kementerian Agama).

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei
Tambahan penjelasan dengan merujuk dari kitab Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, Ajwibah Istifta'at.

Perkara no. 837:
Sekiranya penentuan awal bulan Ramadhan atau Idul Fitri karena tiadanya kemungkinan melihat Hilal atau menentukan wujudnya di langit karena sebab yang lain, dan 30 hari di bulan Sya'ban atau bulan Ramadhan belum lengkap sepenuhnya, apakah bagi kami yang tinggal di Jepang diperbolehkan untuk mengikuti Ufuq Iran atau mengikuti penanggalan yang kami yakini? Apa kewajiban kami?

Jawab: Sekiranya awal bulan tidak memungkinkan diketahui dari ru'yat Hilal, bahkan di ufuk kota-kota yang bertetangga yang satu ufuk, atau dari kesaksian dua orang adil, atau dari ketentuan Hakim (pemerintah), maka ia harus ihtiyath hingga awal bulan ditentukan.

Perkara no. 841:
Sekiranya di antara para ulama satu kota terjadi ikhtilaf menentukan keberadaan Hilal dan semua ulama itu dikenal adil di antara para mukallaf, bahkan dalil-dalil yang mereka berikan pun meyakinkan, apa kewajiban kami dalam perkara seperti ini?

Jawab:  Sekiranya ikhtilaf yang terjadi antara kepastian "iya" dan "tidak", yaitu bahwa yang satu menegaskan keberadaan Hilal dan yang lain menegasikannya, ikhtilaf ini menjatuhkan kedua pendapat itu. Kewajiban mukallaf adalah untuk mengesampingkan keduanya. Dan mengenai berpuasa atau tidak, mendasarkan dirinya pada ketentuan asal. Tapi sekiranya perbedaan yang terjadi adalah antara yang menegaskan wujud Hilal dan yang tidak mengetahui tentangg keberadaannya, maka sekiranya yang menegaskan keberadaan Hilal dikenal sebagai seorang yang adil, maka itu cukup menjadi hujjah syar'i, wajib untuk diikuti. Begitu pula sekiranya keberadaan Hilal sudah ditentukan oleh Hakim Syar'i, ketentuan itu hujjah syar'i  dan bagi semua mukallaf wajib untuk menaati dan mengikutinya.

Perkara no. 848:
Apakah awal bulan suci Ramadhan atau akhirnya harus ditentukan dari ru'yat Hilal atau dapat kami tentukan dari penanggalan, walaupun bulan Sya'ban belum genap tigapuluh hari?

Jawab: Awal atau akhir bulan Ramadhan ditentukan oleh ru'yat mukallaf sendiri, atau kesaksian dua adil, atau dia yang dikenal karena keilmuannya atau dengan genap berlalunya tiga puluh hari atau dengan ketentuan hukum Hakim (di sini tanpa tertulis syar'i--penerjemah).

Perkara no. 849:
Sekiranya sudah diperbolehkan mengikuti pengumuman ru'yat hilal dari Pemerintah (bahasa Persianya: Daulat), dan pengumuman pemerintah itu bersandarkan pada dalil-dalil ilmiah untuk juga menentukan keberadaan bulan bagi negara-negara di sekitarnya, apakah "Islami" atau tidaknya menjadi syarat bagi pemerintah ini? Sekiranya pemerintahnya zalim dan fajir, apakah juga boleh mengikuti pengumumannya?

Jawab: (Yang menjadi) Ukuran dalam hal ini adalah ketercapaian keyakinan/ketenangan (hushul itmi’nan) dengan rukyah di daerah itu. Cukuplah bagi mukallid (untuk mengikutinya).

Catatan penerjemah: Untuk konteks pertanyaan/perkara no. 849 itu diajukan berkaitan dengan posisi Pemerintah, maka bila hasil rukyah pemerintah itu menghasilkan ketercapaian keyakinan, ia sah dijadikan rujukan.

(Diterjemahkan oleh Ustadz Miftah F. Rakhmat dari Risalah-e Ajwibah-e al-Istiftaa'at, Bahasa Persia, halaman 186 - 189. Cetakan Intisyarat Bainal Milali al-Huda 1386 HS, Teheran. Terimakasih kepada Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat, Anggota Dewan Syura IJABI, yang telah mengutip dan menerjemahkan bagian-bagian tersebut untuk diketahui para pengikut Ahlulbait, khususnya Ijabiyyun se-Indonesia)

Dr.KH.Jalaluddin Rakhmat [Ketua Dewan Syura IJABI] 
Saya akan kutipkan penjelasan Ayatullah Al-Uzhma Syaikh Ja'far Subhani dalam kitabnya yang bisa diakses di internet: http://imamsadeq.org/ar.php/page.530BookAr18P3.html. Nama bukunya, Al-Shawm fi al-Syariah al-Islamiyah al-Ghurra, fasal 12, fi thuruq tsubuti hilal Ramadhan wa Syawwal lishshawm wa ifthar.

Intinya: ada lima cara penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Pertama, dengan rukyat seorang mukallaf saja. Kedua, dengan berita yang menyebar secara mutawatir. Ketiga, berita tersebar yang tidak didustakan orang. Keempat, lewat 30 hari bulan Syawwal. Kelima (untuk ke-5, saya terjemahkan langsung, lihat halaman 64):  "bayyinah syar'iyyah, bukti syarak, yaitu khabar dari 2 orang yang adil, baik ketika bersaksi di depan hakim, dan kesaksiannya diterima, atau tidak bersaksi di depan hakim, atau keduanya bersaksi dan ditolak kesaksiannya. Siapa saja yang bersaksi di hadapannya 2 orang adil bahwa ia melihat hilal, ia boleh bahkan wajib mengikutinya untuk puasa dan ifthar. Tidak jadi soal, apakah bayyinah itu datang dari dalam negeri atau di luar negeri, baik karena ada tandanya di langit atau tidak ada."
***
Sumber https://www.altanwir.net/buletin/1-ramadhan-dan-1-syawal-ijabi-mengikuti-pemerintah-republik-indonesia