01/04/22

Syiah Berkembang di Indonesia Pascarevolusi Iran

Bermula dari sebuah revolusi Islam Iran 1979. Ketika itu, seorang ulama Iran yang berdomisili di Prancis, Ayatullah Rohullah Khomeini, dan para pengikutnya berhasil menumbangkan pemerintahan otokrasi di Iran yang dipimpin oleh Mohammad Reza Shah Pahlavi, atau dikenal dengan Shah Iran.

Menurut Jalaluddin Rakhmat, penasihat IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia), kemenangan kaum revolusioner Iran tersebut luar biasa karena dilakukan tanpa perlawanan senjata atau pertumpahan darah, melainkan dengan moral. “Pemerintahan otokrasi Iran dikalahkan oleh revolusi dengan xeroxisasi,” kata Jalaluddin kepada Tempo ketika ditemui di Sekretariat IJABI, Kamis, 30 Agustus 2012.


Xeroxisasi ini maksudnya adalah perlawanan Ayatullah Khomeini terhadap penguasa tirani Iran dari pengasingan di Prancis melalui pidato, ceramah, atau khotbah, yang selanjutnya diperbanyak dengan mesin fotokopi merek Xerox dan simpatisannya disebarluaskan ke seantero negeri Iran.

Sejak itu, gaung revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dengan ideologi Syiah-nya meretas jarak antarnegara, termasuk ke Pakistan, India, Malaysia, Indonesia, dan negara-negara Timur Tengah. Sebaliknya, Kerajaan Arab Saudi yang dikenal dengan penganut kuat paham wahabi mencurigai Iran bakal mengekspor ideologi Syiah ke negara penguasa Masjidil Haram ini. “Hal ini sangat membahayakan,” kata Jalaluddin.

Kendati ditentang oleh sebagian negara di Timur Tengah, semangat revolusi Iran melalui ideologi dan pemikiran Syiah disambut hangat oleh kalangan kampus dan intelektual Indonesia pada 1980-an. Buku-buku maupun tulisan lepas karya pemikir Iran, Ali Syari’ati, antara lain berjudulHaji; Misi Seorang Pemikir Bebas; Manusia Bebas dan Kebebasan Manusia; serta Mati Syahid, laku keras sekaligus menjadi bahan diskusi kalangan terbatas (usrah).

Pemikir Iran lainnya yang mendapatkan perhatian intelektual Indonesia adalah Murtadha Muthahari, seorang pemikir dan salah seorang arsitek revolusi Iran. Beberapa bukunya yang menjadi rujukan diskusi di kalangan kampus adalah Mengapa Kita Diciptakan; Manusia Sempurna; serta Islam dan Tantangan Zaman.

Buku-buku dari Iran yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu dibaca di kampus-kampus karena isinya penuh semangat revolusioner. Waktu itu, Jalaluddin memaparkan, pemerintah Indonesia sedang kuat-kuatnya menjalankan kebijaksanaan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) dengan cara memberangus segala kegiatan yang berbau politik melalui organisasi di lingkungan perguruan tinggi, termasuk melarang keberadaan Dewan Mahasiswa. 

“Akibat tekanan yang kuat terhadap kehidupan mahasiswa, maka mereka berhimpum ke masjid, disusul masuknya buku-buku dari Negeri Mullah,” ujarnya.

Pria yang mengaku sebagai penganut Syiah ini mengatakan gelora revolusi Islam Iran marak di hampir seluruh kampus di Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat (Bandung), Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Solo, dan sebagainya. “Saya tertarik dengan ideologi dan pemikiran Syiah pada 1982,” katanya.

Pendapat Jalaluddin mengenai perkembangan Syiah di kalangan kampus dibantah oleh Mutamimmul Ula, anggota Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera (MPP-PKS). Menurut mantan anggota DPR 1999-2009 dari PKS ini, pengaruh revolusi Iran di kalangan kampus pada 1980-an memang ada, namun mereka tak serta-merta mengikuti ideologi Syiah. “Meskipun sebagian para aktivis itu pada akhirnya menganut Syiah, tak semuanya. Mereka hanya terpengaruh oleh semangat revolusi Iran, namun tetap sebagai seorang Sunni,” kata Mutamimmul Ula kepada Tempo melalui telepon, Jumat, 31 Agustus 2012.

Pengaruh semangat revolusi Islam Iran, menurut bekas Ketua Umum PB PII (Pelajar Islam Indonesia) ini, mulai memudar pada awal 1990-an. Aktivis kampus justru memilih gerakan Tarbiyah atau Usroh. “Ideologi Syiah berpengaruh pada awal revolusi Islam Iran pada 1980-an di sini, namun pengaruh itu memudar awal 1990-an. Para aktivis lebih memilih gerakan Tarbiyah atau Usroh,” katanya.[]

Sumber https://nasional.tempo.co/read/426945/syiah-berkembang-di-indonesia-pascarevolusi-iran