09/07/22

Ritualisme

Ibrahim berasal dari Australia. Ia berganti nama, tempat tinggal, dan agama. Ia memilih tinggal di daerah Bandung Utara. Para tetangganya, yang rumah-rumahnya berjejer di pinggir jalan besar, berasal dari kelompok sosial ekonomi tinggi. Hampir semuanya Muslim dan haji, Sebagian dari mereka sudah umrah berkali-kali. Di belakang rumah gedongan itu, ada perkampungan kumuh. Di situ, ada seorang janda yang membuka rumahnya yang kecil untuk pengajian anak-anak. Setiap usai Maghrib, anak-anak tidak mampu mengaji dengan memperebutkan Al-Quran yang jilidnya sudah sobek.

Ibrahim pun terharu menyaksikan mereka. la berusaha membantu dengan menyediakan fasilitas belajar untuk mereka. la bertanya kepada saya, "Mengapa ratusan ribu orang Indonesia pergi melakukan ibadah haji, menghabiskan miliaran rupiah, tetapi tidak memperhatikan pendidikan anak-anak yang tidak mampu? Saya bertekad tidak akan naik haji sebelum anak-anak di kampung itu mendapat pendidikan yang layak."

Ibrahim belum lama masuk Islam. Ia bingung mengapa miliaran uang dibuang hanya untuk sebuah upacara ibadah. Saya bingung juga untuk menjelaskan bahwa haji adalah rukun Islam yang kelima. Haji jelas termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw, sementara membantu pendidikan tidak disebut di dalam keduanya dengan tegas. Tak ada balasan bagi haji mabrur selain surga. Apa pahala yang kita peroleh untuk membiayai pendidikan? Bila ada orang yang mampu tidak mau naik haji, ia akan mati sebagai Nasrani atau Yahudi. Bila orang kaya mengabaikan pendidikan orang miskin di sekitarnya, ia akan mati biasa saja. Bila orang meneteskan air mata di 'Arafah, Tuhan akan mengampuni seluruh dosanya. Bila Anda meneteskan air mata di gubuk orang miskin, Anda hanya orang yang cengeng saja.

Saya ingin menjelaskan semuanya kepada Ibrahim. Tetapi, saya segera sadar. Semua argumentasi itu lahir karena saya rasa ia menyerang cara beragama saya. Ia menghujat pemaknaan saya atas syariat Islam. Ia bahkan memukul hati nurani saya. Jauh di dalam lubuk hati, saya mulai bertanya-tanya juga. Layakkah kita menghabiskan dana begitu besar untuk kepuasan spiritual yang sifatnya individual? Tetapi, bila kita meninggalkan ibadah haji, tidakkah kita mengabaikan salah satu tonggak penting ajaran Islam? Yang paling baik tentu saja haji dan sekaligus juga menolong fakir-miskin. Yang begini ini lebih mudah diomongkan ketimbang dilakukan. Kenyataannya, karena dana terbatas, kita harus memilih salah satu. Yang kita pilih, tentu saja, adalah haji.

Mengapa? Argumentasi yang sama berulang. Haji jelas termaktub dalam dalil tekstual (nashsh). Apakah membantu pendidikan tidak ada dalam nashsh? Mungkinkah Tuhan yang mengatur kaki mana yang pertama kali masuk ke toilet mengabaikan persoalan pendidikan masyarakat? Soal "kaki mana yang dipilih" hampir tidak mempengaruhi kejayaan umat Islam. Kepedulian pada pendidikan jelas menentukan masa depan umat.

Saya terkejut. Saya sudah jatuh dalam ritualisme. Ada dua ciri pokok ritualisme. Pertama, kita terikat dengan makna yang tersurat dari teks-teks keagamaan. Bila tidak tercantum tegas dalam nashsh, kita mengabaikannya. Kedua, kita menjalankan ritus-ritus keagamaan dengan setia, tetapi lupa pada tujuan ritus-ritus itu sendiri. Kita sibuk memperhatikan letak tangan dalam berdiri shalat, namun lupa pada implikasi shalat kita dalam kehidupan sehari-hari. Kita hafalkan betul ucapan takbîr, tetapi mengabaikan esensi takbîr: mengecilkan diri kita dan hanya membesarkan Tuhan semata.

Keduanya bisa saling berkaitan. Karena kita memusatkan perhatian hanya pada bunyi teks, kita melupakan konteks. Karena kita tertarik hanya pada segi-segi ritual, kita mengabaikan teks yang merujuk kepada hal-hal yang esensial. Kita hafal betul ucapan Rasulullah Saw bahwa haji mabrur tidak mempunyai balasan kecuali surga. Kita abaikan Penjelasan Nabi Saw sesudah itu. Ketika Nabi Saw ditanya tentang tanda haji mabrur, beliau berkata, "Berbicara yang bagus dan membagikan makanan." Ketika berbagai cara haji disampaikan kepadanya, Nabi Saw bersabda, "Boleh, tidak apa-apa." Beliau tidak mempersoalkan ritus-ritus itu. Ketika para sahabat memperselisihkan prosedur haji, ayat Al-Quran turun: ... Barangsiapa menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji.... (QS 2: 197).

Jangan sekali-kali diartikan bahwa ritus-ritus itu tidak penting. Semua itu tetap harus dilakukan. Ritualisme keliru karena berhenti pada ritus-ritus saja. Dalam ritualisme, agama tampak hanya sebagai serangkaian upacara formal yang kering dan tidak bermakna. Berkenaan dengan ritualisme inilah Rasulullah Saw bersabda, "Akan datang kepada manusia, satu zaman, ketika tuhan-tuhan mereka adalah perut; kiblat mereka adalah seks; agama mereka adalah uang; kemuliaan mereka ada dalam kekayaan. Tidak tersisa dari iman, kecuali namanya; tak tersisa dari Islam, kecuali upacaranya; tak tersisa dari Al-Quran, kecuali pelajarannya. Masjid-masjid mereka ramai, tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Mereka tidak mengenal ulama, kecuali dari pakaian keulamaannya yang bagus. Mereka tidak mengenal Al-Quran, kecuali dari suara bacaannya yang bagus. Mereka duduk rapat di masjid, tetapi zikirnya adalah dunia dan kecintaannya adalah dunia." (Kitâb Jâmi' al-Akhbâr).

Ibrahim benar ketika ia mengkritik ritualisme, Tetapi, ia keliru ketika bertekad untuk tidak naik haji karena melihat orang yang mengabaikan pendidikan. la bergabung dengan sebagian orang yang meloncat kepada makna yang paling dalam dengan meninggalkan ritus-ritus lahiriah. Mereka mengatakan bahwa ritus-ritus itu hanya wahana saja untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Ketika mereka menyatakan tidak perlu wahana lagi, mereka sudah mengklaim dirinya sebagai orang suci. Klaim itu dalam tasawuf, disebut 'ujb (merasa kagum dengan diri sendiri). Iblis jatuh karena itu. Ritualisme sama ekstremnya dengan substansialisme. Eksoterisme sama satu sisinya dengan esoterisme. Sebagaimana Allah (“Dia-lah Yang Mahalahir dan Yang Mahabatin"-QS 57: 3), seorang Muslim menjalankan dimensi keberagamaan yang lahiriah dan yang batiniah sekaligus. ***

(buku HALAMAN AKHIR 1, Percikan Pemikiran Nalar Kritis Religius-Spiritual Islam,  Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., hlm. 55-59, Penerbit: Bernas Ilmu Utama)