11/07/22

Fathimiyah dan Wazir non-Muslim

Pada pemerintahan Fathimiyah, dinasti Syiah Isma’iliyah yang mulai berkembang sejak akhir abad ke-3 H atau 9 M, kepemimpinan non Muslim mencapai level yang tak ada perbandingannya dalam sejarah Islam. Selama sekitar 3 abad berkuasa, lebih banyak non-Muslim menjadi wazir ketimbang Muslim Isma’ili sendiri. 

Fenomena ini masih menjadi teki-taki di kalangan sejawaran: Apa yang menyebabkan Kristen dan Yahudi menjadi prioritas khilafah Fathimiyah? Terhitung 7 orang Kristen dan 3 Yahudi pernah menjadi wazir dalam pemerintahan Fathimiyah yang berpusat di Mesir. Belum lagi mereka yang menjabat di sektor-sektor administrasi pemerintahan lainnya.
 
Khalifah ke-4, al-Mu’izz bi-llah, memiliki istri Kristen, dan dua iparnya menjadi patriakh gereja di Alexandria dan Yerusalem. Penggantinya (anaknya), khalifah al-‘Aziz bi-llah, pernah mengangkat wazir non-Muslim, termasuk orang Kristen bernama Isa bin Nusturi dan Yahudi bernama Manasseh. 
 
Saya bermaksud mengulas dua wazir non-Muslim zaman Fathimiyah yang sangat powerful dan bisa dikategorikan, jika menggunakan istilah Mawardi, “wazir al-tafwidh.” Sedemikian powerful sehingga mereka dielu-elukan sebagai “the real president” (eh khalifah) di balik layar.
 
Wazir yang sangat powerful pada masa pemerintahan khalifah al-‘Aziz ialah seorang Yahudi bernama Ibn Killis. Memang, apakah Ibn Killis masuk Islam atau tidak masih menjadi perdebatan di kalangan penulis Muslim. Tampaknya, identitas keagamaan Ibn Killis memang tidak jelas.
 
Kebingungan soal identitas keagamaan Ibn Killis, misalnya, terefleksi dalam biografi yang ditulis Ibn Khallikan, berjudul “Wafayat al-a’yan ‘an anba’ abna’ al-zaman.” Ketika menyinggung Ibn Killis, Ibn Khallikan menulis ia sudah masuk Islam, tapi pada saat yang sama ditulis “Ibn Killis mati dalam agama awalnya (Yahudi) atau “mata ‘ala dinihi.”
 
Seharusnya Ibn Khallikan tidak perlu bingung, sebab identitas keagamaan Ibn Killis tidak penting bagi jalannya roda pemerintahan Fathimiyah, minimal di mata khalifah al-‘Aziz. Kekuasaan wazir Ibn Killis sangat luas. Semua keputusan, termasuk keputusan pengadilan (qadhi), harus mendapat persetujuannya.
 
Dan khalifah al-‘Aziz sangat menyukainya. Disebutkan, Ibn Killis mendapat gelar “wazir paling agung” (al-wazir al-ajall). Ketika Ibn Killis meninggal dunia, khalifah al-‘Aziz begitu sedih sampai menutup kantor pemerintahan (diwan) selama beberapa hari. Setelah itu, khalifah mengangkat wazir Kristen, bernama Isa bin Nusturi.
 
Wazir non-Muslim powerful kedua yang ingin saya ceritakan ialah seorang Kristen, tapi bukan Isa bin Nusturi, melainkan Bahram al-Armani. Dari namanya sudah bisa ditebak bahwa dia berasal dari Kristen Armenia, yang menjabat wazir hanya beberapa dekade sebelum keruntuhan dinasti Fathimiyah.
 
Perlu dicatat, wazir Bahram al-Armani merupakan satu-satunya wazir yang mendapat gelar yang biasanya disematkan kepada seorang Muslim, yakni “saif al-Islam” (pedang Islam). Menarik, seorang Kristen namun dipersepsikan sebagai “pedangnya orang Islam.”
 
Kekuasaan Bahram yang sedemikian luas dicatat secara detail dalam sumber-sumber pemerintahan dinasti Fathimiyah. Tidak berlebihan jika wazir Bahram disebut sebagai “taj al-daulah” (mahkota negara) dan “taj al-khilafah” (mahkota khilafah).
 
Sebenarnya kekuasaan yang begitu besar itu dapat dimengerti. Bahram menjabat wazir bukan semata atas kemauan khalifah al-Hafidh, melainkan dinominasi oleh militer. Bahram merupakan seorang tantara yang berpengaruh. Ketika menjabat wazir, sayap militer sepenuhnya berada di bawah kendalinya.
 
Nah, sekarang, apa yang menyebabkan dinasti Fathimiyah mengangkat banyak wazir non-Muslim? Banyak penjelasan bisa diajukan. Sebelumnya saya menyebutkan alasan pragmatis. Yakni, orang-orang Kristen sudah punya pengalaman mengelola pemerintahan sebelum orang-orang islam datang. Alasan itu juga berlaku bagi khilafah Fathimiyah.
 
Tapi, khusus Fathimiyah, ada alasan tambahan. Yakni, dinasti Fathimiyah yang berasal dari sekte Syi’ah Isma’iliyah berkuasa sebagai minoritas di tengah penduduk mayoritas Sunni. Situasi itu menyebabkan khulafa’ Fathimiyah berada dalam dilema jika hendak mengangkat wazir dari kalangan Muslim. (Tentu, sebagian wazir berasal dari kalangan Muslim sendiri.)
 
Jika mengangkat wazir Muslim dari Syiah Isma’iliyah, itu akan memantik reaksi keras dari kalangan mayoritas penduduk Sunni yang menganggap Syi’ah Isma’iliyah sebagai sesat. Mengangkat wazir dari kalangan Sunni dikhawatirkan justeru akan mengambilalih kekuasaan dari khalifah. Di mata dinasti Fathimiyah, wazir non-Muslim dianggap “ancaman paling minimum” (less threat).
 
Lagi-lagi, ini mengajarkan sesuatu yang penting: realitas politik lebih kompleks daripada rumusan teori pemerintahan. Terlebih lagi situasi yang dihadapi dinasti Fathimiyah cukup unik, bukan hanya soal “minoritas memimpin mayoritas,” tapi juga “khilafah berada dalam khilafah (Abbasiyah).”
 
Tak terasa, saya sudah menulis tema ini dalam 9 bagian. Jika dikembangkan dan dielaborasi, 9 tulisan pendek ini bisa menjadi buku tersendiri, hehe. Masih akan bersambung. ***

artikel dari FB Munim Sirry