14/08/22

Umar II dan Hak-hak Politik Kristen

Jika Syurut Umariyah (aturan pembatasan terhadap Kristen yang diatribusikan kepada Umar bin Khattab) sangat diragukan otentisitasnya, dekrit yang dikeluarkan oleh Umar bin Abdilaziz (Umar II), khalifah Umayyah, menjadi perdebatan di kalangan sejarawan modern. Dekrit Umar II, sebagaimana Syurut Umariyah Umar I, juga memuat aturan diskriminatif terhadap non-Muslim, terutama Kristen. 

Sebelum mengulas perdebatan terpelajar yang melibatkan Milka Levy-Rubin dan Luke Yarbrough, beberapa observasi tipis-tipis tentang Umar II perlu disebutkan. Pertama, di antara khulafa’ Umayyah, Umar bin Abdilaziz merupakan figur yang paling banyak mendapat perhatian di kalangan penulis Muslim. Dia digambarkan sebagai khalifah paling adil dan salih, sehingga kerap diguluki “khalifah kelima” dari Khulafa’ Rasyidun. 

Kedua, sebagai konsekwensi, narasi tentang Umar dihiasi dengan kisah-kisah spektakuler sehingga sulit dibedakan antara kenyataan faktual atau mitos, narasi historis atau glorifikasi (pengagungan). Begitulah manakala seorang figur, termasuk Nabi, diidealisasikan. Maka fakta dan mitos berbaur menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. 

Ketiga, kita dapat menengok bagaimana kehidupan Umar II diceritakan oleh sejarawan Muslim seperti Ibnu Asakir dalam karynya Tarikh Madinah Dimasq. Disebutkan, pengaruh ke-salih-an Umar II bukan hanya dirasakan manusia, melainkan juga hewan. Serigala dan domba pun dapat hidup dalam satu kandung secara rukun. Juga, disebutkan Umar II dapat berbincang-bincang dengan debu. Dia menyapa jin yang berbentuk ular. 

Cerita-cerita menakjubkan seperti itu dapat ditemukan dalam Tarikh Madinah Dimasq jilid 45 (saya mengecek edisi Dar al-fikr, Beirut, yang terdiri dari 80 jilid). Apakah narasi tentang dektrit Umar II termasuk bagian dari mitos yang dihembuskan penulis Muslim belakangan untuk mengidolakannya? 

Pertanyaan itu merupakan bagian dari perdebatan Milka dan Luke. Milka, seorang peneliti di National Library of Israel, menyarankan agar kita jangan terburu-buru menganggap dekrit Umar II sebagai mitos. Baginya, ada alasan cukup kuat untuk meyakini bahwa dektrit itu otentik. 

Dektrit yang dimaksud ialah surat yang dikirim Umar II kepada gubernurnya melarang pengangkatan Kristen menjabat di lingkungan pemerintahan. Di samping itu, dektrit Umar II juga mengulang beberapa restriksi atau pembatasan bagi kalangan ahl al-dzimmah (non-Muslim yang hidup di negara Islam) sebagaimana tertuang dalam dektrit Umar I. 

Regulasi diskriminatif itu mencakup, misalnya, umat Kristen tidak boleh memperlihatkan salib di ruang publik; Kristen dan Yahudi tidak boleh naik kuda dengan sadel yang biasanya digunakan kaum Muslim; mereka juga tidak boleh memakai serban di kepala atau para wanita ahl al-dzimmah tidak boleh mengenakan pakaian dari sutera. 

Paragraf akhir surat itu berbunyi begini: “Saya mendapat informasi bahwa banyak orang Kristen di wilayahmu kembali mengenakan serban, tidak lagi menggunakan sabuk khusus, dan mulai memanjangkan rambut. Saya bersumpah, jika informasi itu benar adanya, maka hal itu menandakan kelemahanmu dan ketidakmampuan kamu mengendalikan mereka. Awas, patuhi apa yang saya perintahkan dan apa yang saya larang. Sekian.” 

Berbeda dengan syurut umariyah yang hanya direkam dalam sumber-sumber belakangan sejak abad ke-5 H atau ke-11 M, dekrit Umar II ini dicatat oleh penulis Muslim cukup awal. Kutipan dekrit yang saya terjemahkan di atas ditemukan dalam Kitab al-kharaj-nya Abu Yusuf (w. 165 H), yang hidup pada paruh pertama abad ke-2 H. 

Milka Levy-Rubin berpendapat, ada cukup alasan untuk meyakini otentisitas dekrit tersebut. Pada tahun 2011, Milka menulis buku keren, berjudul Non-Muslims in the Early Islamic Empire: From Surrender to Coexistence. Bab 3 buku tersebut secara khusus mendiskusikan dektrit Umar II ini. 

Setidaknya, Milka mengajukan dua argumen. Pertama, sumber-sumber Muslim awal mencatat dekrit ini dan sepakat menisbatkannya kepada Umar II. Lebih jauh, menurut Milka, kendati terdapat variasi, struktur bahasa dektrit dalam berbagai versi ternyata ada kesamaan yang cukup kuat. Untuk membuktikan klaimnya, ia membandingkan berbagai versi dektrit yang dicatat sumber-sumber awal. 

Kedua, isi dekrit tersebut juga sejajan dengan kebijakan dan ideologi yang dianut Umar II. Yakni, anti non-Muslim. Umar II mengembangkan kebijakan revolusiner untuk menekan penduduk non-Muslim masuk Islam. Menurut Milka, Umar II merupakan pemimpin Muslim pertama yang membebaskan non-Arab dari kewajiban membayar jizyah apabila mereka masuk Islam. Jika mereka memilih bertahan dengan agamanya, orang Kristen harus menerima konsekwensi dihinakan (al-dzull wa’l-sighar). 

Berdasar argumen tersebut, Milka mengatakan dektrit Umar II tak ada hubungannya dengan pencitraan yang dihembuskan para penulis Muslim era Abbasiyah. Kita perlu tahu, sejarah Umayyah memang direkonstruksi oleh para sejarawan Muslim sejak abad ke-9 M, yakni pada periode Abbasiyah. 

Luke Yarbrough mempersoalkan pandangan Milka. Saat ini Luke mengajar di UCLA; dia menyelesaikan PhD-nya di Princeton. Dia dan saya menyelesaikan studi pada tahun yang sama (2012), dan kita sering berkomunikasi. (Makanya, dalam artikel “The Public Role of non-Muslim Dhimmis during ‘Abbasid Times,” saya secara khusus mengucapkan terima kasih kepadanya karena dia berkontribusi memberikan saran-saran.) 

Tahun 2019, Luke menerbitkan buku, Friends of the Emir: Non-Muslim State Officials in Islamic Thought, mendokumentasikan dan mendiskusikan kalangan non-Muslim yang menjabat posisi politik tertentu dalam pemerintahan Muslim awal. Dalam buku itu dia mengkritik Milka (kritik Luke sangat intelektual, bukan sok berkata kasar untuk menyebarkan kebencian!) karena tidak memperhatikan realitas keterlibatan non-Muslim dalam jajaran administrasi negara. 

Dalam buku itu – dan juga banyak tulisan sebelumnya – Luke menunjukkan, terlepas bahwa Umar II menganut ideologi diskriminatif, adanya praktik mengangkat non-Muslim ke dalam pemerintahan sebagai kebijakan yang umum. Memang, dalam sumber-sumber Muslim, terutama fikih, kerap disebutkan bahwa Umar II memberhentikan pegawai non-Muslim. Tapi, kata Luke, tak ada dokumen historis yang membuktikan itu. 

Argumen kedua yang dikembangkan Luke ialah penelitian terhadap bukti-bukti yang tersedia, baik periwayatan dektrit maupun kesaksian sumber non-Muslim. Caranya “membongkar” sumber-sumber periwayatan sangat luar biasa. Saya mengenal Luke dari dulu. Dia tipe peneliti yang bergelut dengan teks dengan tak kenal lelah. 

Luke menghimpun semua riwayat tentang dektrit dan meneliti setiap perawi, termasuk darimana berasal. Langkah lebih lanjut, dia kumpulkan riwayat “syurut umariyah,” dan mendeteksi perawinya dengan cara yang sama. Ternyata semua perawi dua dektrit tersebut (dektrit Umar I dan Umar II) berasal dari Kufah. Jadi, bisa dipastikan dekrit itu awalnya beredar di daerah tersebut, dan kemungkinan memang berasal dari situ, yang kemudian diatribusikan kepada kedua Umar. Karena itu, bukan kebetulan bahwa keduanya dipersepsikan sebagai pemimpin yang adil. 

Sumber-sumber Kristen, seperti History of the Patriarchs of Alexandria, memang menyinggung soal Umar II. Gambaran Umar II dalam kronikel Kristen ini agak ambivalen. Di satu sisi, Umar II dipuji karena kebaikannya meniadakan pajak bangunan gereja. Tapi, di sisi lain, juga digambarkan sikap diskriminatif Umar II terhadap kaum Kristiani. Terlepas dari ambivalensi itu, kronikel Kristen tidak menyebut adanya dektrit yang dikeluarkan oleh Umar II. 

Milka menjawab kritik Luke dalam tulisannya berjudul “Umar II’s Ghiyar Edict: Between Ideology and Practice,” terbit tahun 2016. Milka mengakui keterlibatan Kristen dalam pemerintahan Muslim sejak masa Umayyah dan terus berlanjut pada era Abbasiyah. Namun demikian, menurutnya, dektrit merupakan satu hal dan implementasinya adalah hal lain. Terbukti, khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil berambisi mewujudkan kebijakan Umar II yang gagal diimplementasikan oleh si pembuat dektrit sendiri. 

Dalam artikel tersebut, Milka mendemonstrasikan secara meyakinkan bahwa praktik diskriminasi menghinakan Kristen (dan non-Muslim lainnya) merupakan konsekwensi dari ideologi yang mulai berkembang saat itu untuk ‘izzul Islam wa’l-muslimin (keunggulan Islam dan kaum Muslim). Tak mengherankan, kata Milka, sejak periode Umar II berkembang adagium “al-islam ya’lu wa-la yu’la ‘alaihi” (Islam unggul dan tak [akan] diungguli [agama lain]). 

Pada tahun yang sama, Luke menerbitkan artikel berjudul “Did ‘Umar b. Abd al-‘Aziz Issue an Edict concerning Non-Muslim Officials?” untuk menguatkan tesis-tesisnya sambil merespons Milka. Bagi yang mengikuti tulisan-tulisan Luke, artikel ini memang tidak mengedepankan bukti-bukti baru. Artikel agak panjang itu seperti ringkasan dari berbagai penelitian yang telah dipublikasikan sebelumnya. 

Membaca debat terpelajar seperti ini menyadarkan saya betapa sumber-sumber yang ada harus dibaca lagi, dipelajari dan diteliti. Saya sendiri melihat debat seperti ini sebagai pintu untuk memasuki ruang pergulatan dengan sumber-sumber Muslim dan non-Muslim secara lebih intens. Setelah bergulat sendiri, terbuka kesempatan untuk membandingkan berbagai interpretasi, kemudian mencoba menawarkan pembacaan atau penafsiran alternatif. 

Teman-teman yang membaca status ini – yang mencoba meringkas perdebatan mereka – semoga mendapatkan gambaran bagaimana kesarjanaan serius itu bekerja. Keseriusan mereka bergelut dengan sumber-sumber yang sebagian tak mudah diakses. Juga keseriusan saya meringkas perdebatan mereka untuk Anda, hehe. 

Wa-akhirul kalam, saya sengaja menulis status ini agak panjang untuk mengakhiri tulisan berseri tentang “partisipasi Kristen dalam sejarah Islam.” Bukan berarti saya akan berhenti menulis status. Cuman saya cukupkan menulis berseri tentang tema itu. Masih informasi lain, tapi cukuplah tiga belas tulisan. Semoga tulisan berseri ini memberikan gambaran kompleksitas “relasi Islam-Kristen” pada masa awal. 

Saya berharap 13 tulisan terdahulu memberikan gambaran bahwa hubungan kedua agama bukan hanya soal perang, konflik dan rivalitas. Ada banyak momen di mana kolaborasi, dialog dan persahabatan sejati mewarnai hubungan Kristen dan Muslim. Kita tak boleh melupakan momen-momen sejarah yang bersejarah itu. Setuju kan? Selamat berakhir pekan! ***

Sumber FB Munim Sirry