13/08/22

Cak Nur dan Pakta Umar I

Ketika hendak menulis pakta Umar II (yakni, khalifah Umayyah Umar bin Abdilaziz), saya tiba-tiba teringat dengan kegemaran Cak Nur (almarhum Nurcholish Madjid) mengutip, dan berbicara tentang, pakta Umar I. Namun bukan pakta yang diulas dalam tulisan terdahulu, melainkan kesepakatan yang dibuat Umar dengan kelompok Kristen di Yerusalem. 

Saya menunda menulis tentang Umar II dan tulisan ini akan mendiskusikan pakta Umar I yang sering disebut Cak Nur itu. Pakta ini juga dikenal dengan nama “al-‘uhdah al-umariyah”, tetapi tdk berbentuk surat yang ditulis kelompok Kristen dan ditujukan kepada Umar, melainkan dektrit yang dikeluarkan Umar sendiri memberikan jaminan damai kepada penduduk Yerusalem.
 
Jaminan keselamatan tersebut diberikan Umar saat penaklukan “Iliyah” (atau “Aelia”), nama lain kota “Yarusalem.” Menarik dicatat, nama “Aelia” lebih umum dikenal daripada “Yarusalem” sebelum kedatangan Islam. Pengepungan Aelia sendiri berlangsung selama 4 bulan, sebelum akhirnya mereka menyerahkan diri.
 
Penduduk dominan Aelia saat itu ialah Kristen monofisit (atau miafisit), yang kerap bersetegang dengan Kalsedonian (Kristen yang dianut kerajaan Bizantin). Pada paruh pertama abad ke-7, raja Heraklius mencoba merekonsiliasi konflik teologis antara monofisit dan kalsedonian dgn menawarkan jalan tengah (“Kristus punya dua natur dan satu kehendak”), namun ditolak oleh patriakh Aelia.
 
Menurut berbagai sumber, kedatangan Umar menerima penyerahan kota Aelia memang dikehendaki oleh partiakh dan penduduk Kristen Aelia sendiri. Mereka ingin bertemu langsung dgn pimpinan Muslim yang dikenal adil itu. (Disebutkan ada beberapa intrik, misalnya, pihak Muslim bermaksud mengelabuhi Kristen dgn menghadirkan komandan al-Walid yang berperawakan seperti Umar. Tapi, intrik tersebut ketahuan.)
 
Kuat diduga Umar sendiri memang ingin berkunjung ke Aelia atau Yarusalem, sebuah kota yang diasosiasikan dengan banyak Nabi (misalnya, Dawud, Sulaiman dan Isa) dan peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad. Umar bersepakat untuk datang sendiri ke Yarusalem untuk memenuhi keinginan penduduk Kristen.
 
Dalam kunjungan itulah, disebutkan Umar mengeluarkan dekrit tertulis memberikan jaminan kepada penduduk Kristen di Aelia terkait keselamatan fisik, harta dan kebebasan beragama. Meraka bebas mempertahankan agama yang dianut tanpa ada paksaan untuk masuk Islam.
 
Dari sudut pandang kritik historis, kedatangan Umar dan jaminan keselamatan yang diberikan kepada penduduk lokal sulit untuk ditolak. Namun demikian, ada beragam versi “uhdah umariyah,” dari versi pendek hingga versi yang panjang. Karena itu, sulit untuk direkonstruksi teks asli dekrit yang dikeluarkan oleh Umar sendiri.
 
Sebagian sumber Muslim, seperti karya al-Waqidi (w. 207 H/822 M), al-Baladzuri (w. 279 H/ 892 M), Ibn al-Atsir (w. 630 H/1233 M), dan Abu al-Fida’ (w. 732 H/1332 M), hanya menyebut adanya jaminan keselamatan dari Umar, tanpa menyebut teksnya. Sejarawan lain, seperti al-Ya‘qubi (w. 284 H/897 M), patriakh Alexandria, Eutychius (atau Ibn al-Batriq) (w. 328 H/940 M), al-Tabari (w. 310 H/922 M), al-Himyari (w. 727 H/ 1327 M), Mujir al-Din al-Hanbali (w. 928 H/1521 M) dan Ibn al-Jawzi (w. 597 H /1200 M), mencatat teks “uhdah umariyah” dalam versi yang berbeda-beda.
 
Dilihat secara kronologis, teks yang dicatat sejarawan lebih awal cenderung berbentuk dektrit pendek. Misalnya, dalam “Tarikh” Ya’qubi hanya disebutkan dua baris di mana Umar memberikan jaminan bagi keselamatan jiwa, harta dan gereja tak akan dirusak atau diambil-alih. Versi yang panjang dicatat sejarawan generasi berikutnya, dimulai oleh Tabari dalam Tarikh al-rusul dan al-muluknya.
 
Cukup ulasan “uhdah umariyah” ini. Sekarang, kenapa Cak Nur cukup peduli mendiskusikan pakta Umar ini dan mengabaikan pakta Umar lain yang saya diskusikan dalam tulisan sebelumnya? Setahu saya, please koreksi saya jika salah, Cak Nur tak pernah mendiskusikan syurut Umariyah yang cenderung mendiskreditkan kelompok Kristen.
 
Saya tidak yakin Cak Nur tidak mengetahui “syurut Umariyah.” Sebagaimana saya juga tidak yakin Cak Nur meragukan otentisitasnya. (Cak Nur kurang berminat kajian kritik historis.) Jawaban atas pertanyaan di atas, saya kira, terkait dengan semangatnya untuk menghadirkan potret toleransi Islam awal. Dan, pakta Umar di Aelia memberikan satu bukti tentang itu.
 
Semangat menghadirkan “Islam inklusif” mendorong Cak Nur untuk merajut lembaran-lembaran sejarah Islam yang memperlihatkan sisi inklusifisme. Maka, selain pakta Umar di Aelia, Cak Nur kerap merujuk pada “Piagam Madinah” yang dianggapnya sebagai fondasi masyarakat Madani.
 
Inklusifisme Islam awal, Islam yang relatif toleran terhadap agama lain, ditegaskan Cak Nur dengan kesaksian atau pengakuan dari sarjana-sarjana non-Muslim. Maka, terkait “Piagam Madinah,” dia kerap menyebut Robert Bellah, atau terkait pengakuan Yahudi hidup damai di bawah bulan sabit dia mengutip sarjana Yahudi Max Dimont.
 
Pilihan untuk menonjolkan pakta Umar di Aelia bukan tidak punya alasan penting di zaman Cak Nur. Ketika gemuruh “Pembaharuan Islam” bergelora di tahun 80-an dan 90-an, Umar bin Khattab merupakan figur yang banyak didiskusikan kaum pembaharu terutama karena “keberaniannya” berijtihad menggali “raison de’tre” di balik teks. Di mata para pembaharu, Umar I bahkan dipandang berani meninggalkan makna literal teks untuk menyerap kebutuhan konteks (zaman).
 
Jadi, pilihan Cak Nur pada pakta Umar di Aelia tak bisa dilepaskan dari pertimbangan “ideologis” kaum pembaharu (mungkin banyak orang tidak suka saya menggunakan frasa “pertimbangan ideologis” ini). Disadari atau tidak, kita memang membawa asumsi-asumsi awal yang kita pegang dalam membaca teks atau memilih teks.
 
Berbeda dengan Cak Nur, pemikir Muslim di Amerika Abdulaziz Sachedina lebih suka berbicara tentang pakta diskrimatif Umar (syurut Umariyah) karena pertimbangan ideologis berbeda. Yakni, ide-ide Sachedina bahwa teks fondasional Islam (al-Qur’an) yang relatif toleran dipahami dan dipraktikkan berbeda oleh kaum Muslim belakangan yang cenderung intoleran.
 
Bagi Sachedina, pakta Umar I yang diskrimantif merupakan bukti konkret bagaimana kaum Muslim mengembangkan regulasi diskrimatif. Padahal, al-Qur’an secara tegas memberikan kebebasan beragama (tak ada paksaan dalam agama) dan jaminan beribadah bagi setiap umat di rumah ibadahnya masing-masing.
 
Jadi, pilihan Cak Nur dan Sachedina pada pakta Umar I yang berbeda dilatari oleh kepentingan ideologis berbeda. Apakah ketika saya mendiskusikan kedua pakta Umar I berarti saya tak punya kepentingan ideologis? Jelas, saya juga punya pertimbangan ideologis. Yakni, mendiskusikan apa saja yang saya pelajari dan ketahui, tak peduli saya akan digolongkan apa atau apakah orang-orang tertentu akan membenci saya. Saya akan mendiskusikan semua sisi yang saya pelajari demi kepentingan akademis.
 
Hemat saya, “ideologi” semacam itulah yang diperlukan dalam dunia pendidikan saat ini. Ideologi yang tidak tebang-pilih (cherry-pick). Kita perlu terbuka belajar dari berbagai sudut pandang. Bukan hanya membaca apa yang kita mau, tapi juga membaca apa yang perlu. (Tiba-tiba teringat buku kawan Ahmet Kuru dilarang beredar oleh ulama al-Azhar. Kabar terakhir, pelarangan itu bukan atas iniatif Azhar. Apapun, pelarangan buku beredar adalah contoh paling buruk ketertutupan berpikir dan tak perlu dicontoh!)
 
Oh ternyata tulisan ini agak panjang. Tulisan berikutnya akan merangkum debat antara Milka Levy-Rubin dan Luke Yarbrough terkait sikap Umar II terhadap Kristen. Masih akan bersambung. ***

Sumber FB Munim Sirry