Berkaitan dengan sejarah Syiah, setidaknya ada tiga pendapat tentang lahirnya Syiah. Pertama, bahwa istilah Syiah sudah dilekatkan oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib ra dan pengikutnya. Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tafsir Al-Durr al-Mantsur meriwayatkan dari Ibnu ‘Asakir kemudian dari Jabir bin Abdullah bahwa Kami sedang bersama Nabi Muhammad saw. Tidak lama kemudian Ali datang. Lalu Nabi Muhammad saw bersabda, “Demi yang jiwaku berada digenggaman-Nya, sesungguhnya ini (Ali) dan Syiahnya benar-benar orang yang menang di hari kiamat.” Juga masih dari as-Suyuthi bahwa Ibn Abbas berkata, “Ketika turun ayat, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka itulah sebaik-baik manusia, Rasulullah saw berkata kepada Ali: mereka adalah engkau dan Syiahmu.”[1]
Kemudian Ath-Thabari dalam Tafsir
At-Thabari menuliskan tentang tafsir surah Al-Bayyinah [98] ayat 7 bahwa
yang dimaksud sebaik-baik makhluk adalah Ali dan Syiah Ali. Kalau dilacak
ternyata hadis yang berkaitan dengan Syiah Ali ini jumlahnya ada 15 riwayat.[2]
Dalam Al-Quran, istilah Syiah
digunakan pada 12 tempat[3]seperti
dalam ayat “...
dan sesungguhnya Ibrahim itu
benar-benar termasuk golongannya
(syiatihi)” (QS Ash-Shaffat ayat 83) dan “... kemudian pasti akan kami tarik
dari setiap golongan (syiah) siapa di antara mereka yang sangat durhaka
kepada Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS Maryam ayat 69).
Kedua, Syiah dilekatkan pada orang-orang Islam yang tidak membaiat Abu Bakar ketika peristiwa Saqifah karena meyakini Ali bin Abi Thalib sebagai washi.[4] Dari peristiwa Saqifah (saat wafat Rasulullah saw) diketahui tidak semua umat Islam setuju dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin.[5] Selesai Rasulullah saw dikuburkan, Fathimah tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar selama enam bulan. Termasuk suaminya, Ali bin Abi Thalib, beserta cucu Rasulullah saw. Setelah wafat Fathimah, baru Ali memberikan baiat kepada Abu Bakar.[6]
Salah satu nash yang diyakini
kaum Syiah adalah hadis Ghadir Khum bahwa pada 18 Dzulhijjah 11 Hijriah,
setelah melaksanakan haji terakhir (hajj al-wada) Nabi Muhammad saw pergi
meninggalkan Makkah menuju Madinah bersama 120
ribu orang Islam[7]
dan berdiam pada satu
tempat disebut Ghadir Khum. Di
tempat ini Rasulullah
saw khutbah dan
di tengah khutbah menggandeng tangan Ali bin Abi Thalib
kemudian bersabda: “Barangsiapa
mengangkatku sebagai Maula maka
Ali adalah Maulanya
pula (ia mengulang
sampai tiga kali). Ya, Allah! Cintailah orang yang
mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah orang-orang
yang membantunya. Selamatkanlah
orang-orang yang menyelamatkannya dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke
mana pun ia berpaling (jadikan ia pusat kebenaran)![8]
Ketiga, Syiah dilekatkan
pada umat Islam
yang setia bersama
Ali bin Abi Thalib setelah
peristiwa tahkim (perundingan) yang mengakhiri Perang Shiffin. Dalam
perang antara pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan melawan pasukan Ali bin Abi
Thalib, karena terdesak maka pihak Muawiyah mengajukan perundingan dengan
mengacungkan mushaf al-Quran
di atas tombak. Atas desakan, Ali meminta Malik
Asytar selaku komandan agar menghentikan serangan. Masing-masing pihak
sepakat untuk mengirimkan perwakilan
dalam menyelesaikan peperangan.
Ali memilih Malik
Asytar, tetapi sebagian
orang yang berasal dari
Arab badawi menolak
dan menyarankan Abu
Musa Al-Asyari sebagai wakilnya.
Sedangkan Muawiyah mengutus Amr bin Ash sebagai wakilnya. Keduanya
melakukan perundingan di
Daumah Al-Jandal, Azruh, dengan waktu sekitar enam bulan
(Shafar-Ramadhan 37 H.). Keduanya sepakat untuk
menurunkan jabatan kedua
pemimpin kemudian memilih
khalifah baru melalui musyawarah.
Abu Musa menjadi
orang pertama yang
naik ke mimbar dan menurunkan Ali
dari tampuk khalifah. Kemudian Amr bin Ash dengan tanpa diduga langsung
mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu.
Peristiwa itu membuat kecewa sebagian pasukan Ali bin Abi Thalib. Mereka
meminta kepada Ali untuk membatalkannya. Saran mereka ditolaknya karena
peristiwa sudah terjadi. Akibat tidak
ditanggapi, mereka memisahkan diri dan membentuk kelompok
sendiri yang disebut Khawarij. Sedangkan orang-orang Islam yang masih
setia dengan Ali disebut Syiah Ali.[9]
Dalam sejarah, Syiah Ali ini mengalami perkembangan dan terbagi dalam golongan-golongan yang satu sama lain memiliki perbedaan dalam kepemimpinan. Di antaranya yang hingga kini masih dianut adalah Imamiyah (Itsna Asyariyah), Zaidiyah, dan Ismailiyah.[10]
Secara singkat bahwa Syiah Imamiyah merupakan umat Islam yang mengikuti
Ahlulbait sekaligus meyakini khalifah setelah Rasulullah saw berjumlah dua
belas orang dari Ahlul Bait (keturunan Fathimah dan Ali). Pemeluknya tersebar
di Iran, Bahrain, Irak, Madinah (Arab Saudi), Indonesia, Lebanon, Jerman,
Canada, dan lainnya. Kaum Syiah Zaidiyah meyakini setelah Ali Zainal Abidin
(Ali bin Husein bin Ali) wafat yang menjadi pemimpin adalah Zaid putra Ali
Zainal Abidin. Syiah Zaidiyah banyak dianut di daerah Yaman dan Bahrain.
Sedangkan Syiah Ismailiyah meyakini setelah Imam Jafar Shadiq wafat yang
menjadi imam adalah Ismail putra Imam Jafar. Kaum Syiah Ismailiyah ini berkembang
di India, Bangladesh, Lebanon, Inggris, dan lainnya. ***
[1] Muhammad Babul Ulum, Merajut
Ukhuwah: Memahami Syiah (Bandung: Marja, 2008) halaman 60-61. Buku ini
direkomendasikan oleh Kementerian Agama RI sebagai bacaan untuk pelajar Islam
Indonesia.
[2] Tim Ahlulbait Indonesia, Syiah Menurut Syiah (Jakarta: DPP ABI,
2014) halaman 274-277. Buku ini berisi klarifkasi atas sejumlah isu tentang
Syiah yang terdapat dalam Buku Panduan MUI dan diberi pengantar oleh Menteri
Agama RI Lukman Hakim Saefuddin.
[3] Abu Zahra An-Najdi, Al-Quran dan Rahasia Angka-angka (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2001) halaman 116-117.
[4] Jalaluddin Rakhmat, Asal Usul Sunnah Sahabat: Studi Historiograf atas Tarikh Tasyri (Desertasi di UIN Alauddin Makassar tahun 2014) menyatakan bahwa washi adalah pandangan politik kaum Syiah yang memegang konsep washaya (meyakini Nabi telah berwasiat). Pada halaman 101-102, Kang Jalal mengutip dari Tafsir Maalim Al-Tanzil / Al-Baghawi bahwa Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Abdul Ghaffar bin Al-Qasim, dari al-Minhal ibn ’Amr, dari ’Abd Allah bin Naufal bin al-Harits bin ’Abd al-Muthalib, dari ’Abd Allah bin Abbas, dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa ketika turun surat Asy-Syua’ara [26] ayat 214, Nabi Muhammad Saw mengumpulkan keluarganya dan berkata: Hai Bani ’Abd al-Muthallib, aku membawa kepada kalian kebaikan dunia dan akhirat. Allah telah memerintahkan kepadaku untuk memanggil kalian kepadanya. Siapakah di antara kalian yang mau membantuku dalam urusanku ini? Sehingga ia menjadi saudaraku, washi-ku, dan khalifah-ku (penggantiku) untuk kalian? Semua orang diam seribu bahasa. Lalu aku (Ali bin Abi Thalib ra) berkata (dan aku adalah yang paling muda di antara mereka): aku, ya Nabi Allah. Aku mau menjadi wazirmu untuk urusan ini. Lalu ia menyentuh pundakku dan berkata: inilah saudaraku, washi-ku, dan khalifah-ku (penggantiku) untuk kalian. Dengarkan dia dan taati dia. Orang-orang pun berdiri sambil tertawa. Mereka berkata kepada Abu Thalib: ia memerintahkan kamu mendengarkan Ali dan mematuhinya. Halaman 103, dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw berkata: ”Wahai Anas, curahkan air bagiku untuk berwudhu.” Kemudian ia berdiri melakukan shalat dua rakaat. Lalu, ia berkata: ”Orang yang pertama masuk melalui pintu ini adalah ’Amirul Mu’minin, pemimpin yang mempunyai tanda bekas wudhu (al-ghurr al-muhjalin), dan penutup para washi.” Anas berkata: Aku berdoa: Tuhan jadikan dia itu seorang lelaki Anshar, dan aku menyembunyikannya. Tiba-tiba datang Ali. Rasulullah Saw bertanya: Siapa dia, Anas? Kataku: Ali. Ia berdiri dengan wajah ceria dan memeluknya. Ia usapkan keringat di mukanya ke muka Ali dan mengusapkan keringat di muka Ali ke wajahnya. Ali berkata: Ya Rasul Allah, telah aku lihat engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah kau lakukan sebelumnya. Ia bersabda: Mengapa tidak? Engkaulah yang melaksanakan perintahku, mendengarkan suaraku, dan menjelaskan kepada mereka apa yang dipertentangkan di antara mereka sepeninggalku (Ahmad bin Hanbal, Fadail Shahabah, 2, diterbitkan di Makkah, Markaz Al-Bahs al-Ilmi, 1403 ). Halaman 130, disebutkan bahwa dalam Tarikh al-Thabari, jilid 2, halaman 320-321 (Kairo: Dar al-Maarif, tt) dimuat secara lengkap hadis yang menyatakan: Inilah Ali saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kalian sesudahku.
[5] Kelompok Islam yang
menetapkan Abu Bakar di Saqifah sebagai khalifah secara terminologi politik
bisa disebut Ahlus Saqifah.
[6] Tentang baiat Ali kepada
Abu Bakar, saya dapatkan informasinya dari Prof Aff Muhammad (Gurubesar UIN SGD
Bandung dalam sebuah diskusi bersama teman-teman LPIK UIN SGD Bandung) bahwa
ketika Abu Bakar dan Umar memimpin umat Islam disebutkan Ali diangkat sebagai
penasihat. Orang yang dipercaya, diangkat menjadi pejabat, atau penasihat, tentunya
orang yang setuju dengan orang meminta diberi nasihat.
[7] Lihat
artikel “Al-Ghadir: Belum Tuntas tapi yang Terlengkap” dalam Majalah Itrah,
edisi Muharram 1428 H. halaman 33.
[8] Riwayat Ghadir Khum terdapat dalam Ibnu Katsir kitab Al-Bidayah wa Al-Nihayah, At-Tirmidzi, Muslim, Al-Hakim, Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan lainnya. Lihat Tim Ahlulbait Indonesia, Syiah Menurut Syiah (Jakarta: DPP ABI, 2014) halaman 292-297.
[9] Pendapat ini diyakini oleh Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual
Islam (Jakarta: Bulan Bintang: 1994) halaman 11-12.
[10] Aliran-aliran Syiah beserta ajarannya bisa
dibaca pada buku Kalam Islam: Kajian Teologis dan Isu-isu Kemazhaban
karya Ali Rabbani Gulpaygani (Jakarta: Nur Al-Huda, 2014) halaman 63-192.