25/05/22

Asal Usul (mazhab) Syiah

Berkaitan dengan sejarah Syiah, setidaknya ada tiga pendapat tentang lahirnya Syiah. Pertama, bahwa istilah Syiah sudah dilekatkan oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib ra dan pengikutnya. Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tafsir Al-Durr al-Mantsur  meriwayatkan dari Ibnu  ‘Asakir  kemudian  dari  Jabir  bin  Abdullah  bahwa  Kami  sedang  bersama Nabi Muhammad saw. Tidak lama kemudian Ali datang. Lalu Nabi Muhammad saw bersabda,  “Demi yang jiwaku berada  digenggaman-Nya, sesungguhnya ini (Ali) dan Syiahnya benar-benar orang yang menang di hari kiamat.” Juga masih dari as-Suyuthi bahwa Ibn Abbas berkata, “Ketika turun ayat, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka itulah sebaik-baik manusia, Rasulullah saw berkata kepada Ali: mereka adalah engkau dan Syiahmu.”[1]

Kemudian Ath-Thabari dalam Tafsir At-Thabari menuliskan tentang tafsir surah Al-Bayyinah [98] ayat 7 bahwa yang dimaksud sebaik-baik makhluk adalah Ali dan Syiah Ali. Kalau dilacak ternyata hadis yang berkaitan dengan Syiah Ali ini jumlahnya ada 15 riwayat.[2]

Dalam Al-Quran, istilah Syiah digunakan pada 12 tempat[3]seperti dalam ayat “...

dan sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar termasuk golongannya (syiatihi)” (QS Ash-Shaffat ayat 83) dan “... kemudian pasti akan kami tarik dari setiap golongan (syiah) siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS Maryam ayat 69).

Kedua,  Syiah  dilekatkan pada  orang-orang  Islam  yang  tidak  membaiat Abu Bakar ketika peristiwa Saqifah karena meyakini Ali bin Abi Thalib sebagai washi.[4] Dari peristiwa Saqifah (saat wafat Rasulullah saw) diketahui tidak semua umat Islam setuju dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin.[5] Selesai  Rasulullah saw dikuburkan, Fathimah tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar selama enam bulan. Termasuk suaminya, Ali bin Abi Thalib, beserta cucu Rasulullah saw. Setelah wafat  Fathimah,  baru  Ali  memberikan baiat kepada Abu Bakar.[6]

Salah satu nash yang diyakini kaum Syiah adalah hadis Ghadir Khum bahwa pada 18 Dzulhijjah 11 Hijriah, setelah melaksanakan haji terakhir (hajj al-wada) Nabi Muhammad saw pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah bersama 120  ribu orang Islam[7] dan berdiam  pada  satu  tempat  disebut Ghadir  Khum. Di  tempat  ini  Rasulullah  saw  khutbah  dan  di  tengah  khutbah menggandeng tangan Ali bin Abi Thalib kemudian bersabda: “Barangsiapa  mengangkatku sebagai  Maula  maka  Ali  adalah  Maulanya  pula  (ia  mengulang  sampai  tiga  kali). Ya, Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah  orang-orang  yang  membantunya.  Selamatkanlah  orang-orang yang menyelamatkannya dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke mana pun ia berpaling (jadikan ia pusat kebenaran)![8]

Ketiga,  Syiah  dilekatkan  pada  umat  Islam  yang  setia  bersama  Ali  bin Abi Thalib setelah peristiwa tahkim (perundingan) yang mengakhiri Perang Shiffin. Dalam perang antara pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan melawan pasukan Ali bin Abi Thalib, karena terdesak maka pihak Muawiyah mengajukan perundingan dengan mengacungkan  mushaf  al-Quran  di  atas  tombak. Atas desakan, Ali meminta Malik Asytar selaku komandan agar menghentikan serangan. Masing-masing  pihak  sepakat  untuk mengirimkan  perwakilan  dalam menyelesaikan  peperangan. Ali  memilih  Malik  Asytar,  tetapi  sebagian  orang yang  berasal  dari  Arab  badawi  menolak  dan  menyarankan  Abu  Musa  Al-Asyari sebagai wakilnya. Sedangkan Muawiyah mengutus Amr bin Ash sebagai wakilnya.  Keduanya  melakukan  perundingan  di  Daumah Al-Jandal, Azruh, dengan waktu sekitar enam bulan (Shafar-Ramadhan 37 H.). Keduanya sepakat untuk  menurunkan  jabatan  kedua  pemimpin  kemudian  memilih  khalifah baru  melalui  musyawarah.  Abu  Musa  menjadi  orang  pertama  yang  naik  ke mimbar dan menurunkan Ali dari tampuk khalifah. Kemudian Amr bin Ash dengan tanpa diduga langsung mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu. Peristiwa itu membuat kecewa sebagian pasukan Ali bin Abi Thalib. Mereka meminta kepada Ali untuk membatalkannya. Saran mereka ditolaknya karena peristiwa sudah terjadi. Akibat tidak  ditanggapi, mereka memisahkan diri dan membentuk  kelompok  sendiri yang disebut Khawarij. Sedangkan orang-orang Islam yang masih setia dengan Ali disebut Syiah Ali.[9]

Dalam  sejarah,  Syiah Ali  ini  mengalami  perkembangan  dan  terbagi dalam  golongan-golongan  yang  satu  sama  lain  memiliki  perbedaan  dalam kepemimpinan. Di antaranya yang hingga kini masih dianut adalah Imamiyah  (Itsna Asyariyah), Zaidiyah, dan Ismailiyah.[10] 

Secara singkat bahwa Syiah Imamiyah merupakan umat Islam yang mengikuti Ahlulbait sekaligus meyakini khalifah setelah Rasulullah saw berjumlah dua belas orang dari Ahlul Bait (keturunan Fathimah dan Ali). Pemeluknya tersebar di Iran, Bahrain, Irak, Madinah (Arab Saudi), Indonesia, Lebanon, Jerman, Canada, dan lainnya. Kaum Syiah Zaidiyah meyakini setelah Ali Zainal Abidin (Ali bin Husein bin Ali) wafat yang menjadi pemimpin adalah Zaid putra Ali Zainal Abidin. Syiah Zaidiyah banyak dianut di daerah Yaman dan Bahrain. Sedangkan Syiah Ismailiyah meyakini setelah Imam Jafar Shadiq wafat yang menjadi imam adalah Ismail putra Imam Jafar. Kaum Syiah Ismailiyah ini berkembang di India, Bangladesh, Lebanon, Inggris, dan lainnya. ***




[1] Muhammad Babul Ulum, Merajut Ukhuwah: Memahami Syiah (Bandung: Marja, 2008) halaman 60-61. Buku ini direkomendasikan oleh Kementerian Agama RI sebagai bacaan untuk pelajar Islam Indonesia.

[2] Tim Ahlulbait Indonesia, Syiah Menurut Syiah (Jakarta: DPP ABI, 2014) halaman 274-277. Buku ini berisi klarifkasi atas sejumlah isu tentang Syiah yang terdapat dalam Buku Panduan MUI dan diberi pengantar oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim Saefuddin.

[3] Abu Zahra An-Najdi, Al-Quran dan Rahasia Angka-angka (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001) halaman 116-117.

[4] Jalaluddin Rakhmat, Asal Usul Sunnah Sahabat: Studi Historiograf atas Tarikh Tasyri (Desertasi di UIN Alauddin Makassar tahun 2014) menyatakan bahwa washi adalah pandangan politik kaum Syiah yang memegang konsep washaya (meyakini Nabi telah berwasiat). Pada halaman 101-102,  Kang Jalal mengutip dari Tafsir Maalim Al-Tanzil / Al-Baghawi bahwa  Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Abdul Ghaffar bin Al-Qasim, dari al-Minhal ibn ’Amr, dari ’Abd Allah bin Naufal bin al-Harits bin ’Abd al-Muthalib, dari ’Abd Allah bin Abbas, dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa ketika turun surat Asy-Syua’ara [26] ayat 214, Nabi Muhammad Saw mengumpulkan keluarganya dan berkata:  Hai Bani ’Abd al-Muthallib, aku membawa kepada kalian kebaikan dunia dan akhirat. Allah telah memerintahkan kepadaku untuk memanggil kalian kepadanya. Siapakah di antara kalian yang mau membantuku dalam urusanku ini? Sehingga ia menjadi saudaraku, washi-ku, dan khalifah-ku (penggantiku) untuk kalian? Semua orang diam seribu bahasa. Lalu aku (Ali bin Abi Thalib ra) berkata (dan aku adalah yang paling muda di antara mereka): aku, ya Nabi Allah. Aku mau menjadi wazirmu untuk urusan ini. Lalu ia menyentuh pundakku dan berkata: inilah saudaraku, washi-ku, dan khalifah-ku (penggantiku) untuk kalian. Dengarkan dia dan taati dia. Orang-orang pun berdiri sambil tertawa. Mereka berkata kepada Abu Thalib: ia memerintahkan kamu mendengarkan Ali dan mematuhinya.  Halaman 103, dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw berkata: ”Wahai Anas, curahkan air bagiku untuk berwudhu.”  Kemudian ia berdiri melakukan shalat dua rakaat. Lalu, ia berkata: ”Orang yang pertama masuk melalui pintu ini adalah ’Amirul Mu’minin, pemimpin yang mempunyai tanda bekas wudhu (al-ghurr  al-muhjalin), dan penutup para washi.”  Anas berkata: Aku berdoa: Tuhan jadikan dia itu seorang lelaki Anshar, dan aku menyembunyikannya. Tiba-tiba datang Ali. Rasulullah Saw bertanya:  Siapa dia, Anas? Kataku: Ali. Ia berdiri dengan wajah ceria dan memeluknya. Ia usapkan keringat di mukanya ke muka Ali dan mengusapkan keringat di muka Ali ke wajahnya. Ali berkata: Ya Rasul Allah, telah aku lihat engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah kau lakukan sebelumnya. Ia bersabda: Mengapa tidak? Engkaulah yang melaksanakan perintahku, mendengarkan suaraku, dan menjelaskan kepada mereka apa yang dipertentangkan di antara mereka sepeninggalku  (Ahmad bin Hanbal, Fadail Shahabah, 2, diterbitkan di Makkah, Markaz Al-Bahs al-Ilmi, 1403 ). Halaman 130, disebutkan bahwa dalam Tarikh al-Thabari, jilid 2, halaman 320-321 (Kairo: Dar al-Maarif, tt) dimuat secara lengkap hadis yang menyatakan: Inilah Ali saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kalian sesudahku.

[5] Kelompok Islam yang menetapkan Abu Bakar di Saqifah sebagai khalifah secara terminologi politik bisa disebut Ahlus Saqifah.

[6] Tentang baiat Ali kepada Abu Bakar, saya dapatkan informasinya dari Prof Aff Muhammad (Gurubesar UIN SGD Bandung dalam sebuah diskusi bersama teman-teman LPIK UIN SGD Bandung) bahwa ketika Abu Bakar dan Umar memimpin umat Islam disebutkan Ali diangkat sebagai penasihat. Orang yang dipercaya, diangkat menjadi pejabat, atau penasihat, tentunya orang yang setuju dengan orang meminta diberi nasihat.

[7] Lihat artikel “Al-Ghadir: Belum Tuntas tapi yang Terlengkap” dalam Majalah Itrah, edisi Muharram 1428 H. halaman 33.

[8] Riwayat Ghadir Khum terdapat dalam Ibnu Katsir kitab Al-Bidayah wa Al-Nihayah, At-Tirmidzi, Muslim, Al-Hakim, Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan lainnya. Lihat Tim Ahlulbait Indonesia, Syiah Menurut Syiah (Jakarta: DPP ABI, 2014) halaman 292-297. 

[9] Pendapat ini diyakini oleh Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang: 1994) halaman 11-12.

[10] Aliran-aliran Syiah beserta ajarannya bisa dibaca pada buku Kalam Islam: Kajian Teologis dan Isu-isu Kemazhaban karya Ali Rabbani Gulpaygani (Jakarta: Nur Al-Huda, 2014) halaman 63-192.