Penulis buku Bukan Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heterodoksi Syiah, yaitu Syamsuddin Arif merupakan dosen Unida Gontor hanya satu contoh dari sesat pikir kaum terpelajar dalam membaca mitos Ibnu Saba. Kasus ini kita jadikan timbangan untuk mengukur kualitas intelektual dan obyektifitas seorang akademisi.
Bukan hanya Arif, hampir semua sarjana tradisional Islam melakukan kesalahan fatal dalam riset akademik mereka. Karena itu menjadi sasaran kritik madzhab revisionis Barat. Kesalahan tersebut berporos pada penelitian bukti. Yaitu menjadikan paham/ideologi/dogma sebagai alat bukti. Ilmu logika menyebutnya kesalahan a priori. Tan Malaka dalam Madilog menyebutnya mistifikasi dan post-revisionis menyebutnya khayalisasi. Yaitu khayalan dibuat sebagai alat bukti.
Mistifikasi tidak ada hubungannya dengan kadar kecerdasan seseorang. Mosok sih dosen yang konon menguasai lima bahasa asing disebut tak cerdas. Akan tetapi, ini berhubungan dengan kepercayaan yang “mistik”. Karena itu, Tan Malaka menyebutnya sebagai mistifikasi. Atau berhubungan dengan keyakinan yang hanya ada di alam khayal. Yang diciptakan oleh imajinasinya sendiri. Karena itu, saya menyebutnya sebagai khayalisasi.
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat argumentasi Syamsuddin Arif tentang Ibnu Saba yang dalam khayalan-akademiknya sebagai pencipta madzhab Syiah. Pembahasan ini agak teknis. Mbuled. Sirkular tak berujung pangkal. Jadi, harap membacanya pelan-pelan.
Syamsuddin Arif berkeyakinan bahwa paham Ali sebagai washi/khalifah/pengganti Nabi dalam keyakinan Syiah berasal dari Yahudi. Apa buktinya? Disodorkan nama Ibnu Saba yang dianggapnya sebagai pencipta paham ini.
Kalau kita tanya lagi, apa bukti Ibnu Saba pencipta madzhab Syiah. Akan dijawab, karena ia pencetus paham Ali washi nabi. Kemudian bila kita tanya lagi, apa bukti paham Ali washi nabi sebagai ajaran Yahudi. Maka akan dijawab karena pembawanya Ibnu Saba.
Kalau ditanya lagi, apa bukti Ibnu Saba pencetus ajaran Syiah. Akan dijawab, karena dia pencetus paham Ali sebagai washi nabi. Demikian seterusnya. Jawabannya pasti berputar-putar. Kembali ke situ lagi situ lagi. Mbuled ora karuan. Tak berujung pangkal. Sejak zaman old sampai zaman now. Nyanyian seperti itu yang selalu diputar untuk membuktikan keyahudian Syiah. Dan ini cacat logika yang menghinggapi bangsa kadrun.
Padahal mestinya yang harus dibuktikan adalah siapa Ibnu Saba itu. Dan bukan menjadikan Ibnu Saba sebagai bukti keyahudian Syiah. Maka dari itu, Syamsuddin Arif pun terserang cacat logika yang lain. Yaitu generalisasi yang berlebihan. Bahwa adanya kesamaan paham wishayah antara Syiah dengan Yahudi, lalu disimpulkan bahwa Syiah dibuat oleh Ibnu Saba yang Yahudi. Ini kesalahan fatal dalam berpikir.
Kesamaan paham A dengan B tidak bisa disimpulkan bahwa A berasal dari B. Karena kalau kesimpulan seperti itu diterima, maka jangan marah kalau orang menyimpulkan bahwa Unida Gontor dibuat oleh orang Wahabi. Kenapa? Karena ada kesamaan paham antara madzhab Unida Gontor dengan madzhab Wahabi. Yaitu sama-sama menyesatkan mazhab Syiah. Yang seperti itu namanya over generalisasi. Mau tidak disimpulkan seperti itu?
Cacat logika berikutnya adalah salah melihat bukti. Silahkan baca ulang diskusi Ibnu Saba ini pada postingan yang lalu. Untuk membuktikan bahwa Syiah berasal dari Yahudi, Syamsuddin Arif sodorkan nama Ibnu Saba. Yang menurutnya riwayat valid yang dibawa oleh Saif bin Umar dan dinukil ath-Thabari dengan memakai metode isnad yang juga terbukti valid.
Di sini tampak kalau Syamsuddin Arif memaksakan Ibnu Saba yang ia yakini sebagai bukti keyakinannya. Dan bukan membuktikan Ibnu Saba yang ia yakini. Padahal itu yang harusnya ia lakukan. Ibaratnya ia menjadikan delman menarik kuda. Dan bukan kuda yang menarik delman. Ini satu bentuk kesalahan metodologis yang secara figuratif dinamakan putting the cart before the horse. Mengapa?
Karena ternyata kitab rijal hadis tidak ada yang menilai Saif sebagai rawi yang valid. Selain itu, bukti yang diajukannya tentang Ibnu Saba ini kontradiktif. Yang sulit dikompromikan antara satu dengan yang lain. Bahkan dalam satu riwayat saja narasinya kontradiktif. Apalagi bila disandingkan dengan riwayat yang lainnya. Akan semakin jelas kontradiksinya.
Siapa sejatinya Ibnu Saba yang ia yakini itu? Abdullah bin Saba bin siapakah dia? Siapa muridnya? Siapa gurunya? Apakah biografi lengkapnya ada di kitab rijal? Siapa yang membakarnya? Imam Ali, atau cicitnya, Imam al-Baqir? Setelah katanya dipanggang hidup-hidup oleh Imam Ali, kenapa sosoknya muncul lagi pada zaman Imam al-Baqir? Apakah dia tahan bakar seperti Nabi Ibrahim? Lalu dikabarkan dibakar lagi oleh Imam al-Baqir. Tapi kemudian dihidupkan lagi. Untuk apa dibakar kalau dihidupkan lagi? Siapa sih sebenarnya si doi ini?
Terbukti Syamsuddin Arif gagal membuktikan siapa Ibnu Saba yang ia maksud. Karena sekali lagi ia sedang tidak membuktikan. Tapi sedang memaksakan pembuktian. Lebih tepatnya memaksakan keyakinannya menjadi alat bukti. Bukan sedang mencari kebenaran bagi keyakinannya. Tapi sedang mencari pembenaran bagi keyakinannya.
Kesimpulannya, Syamsuddin Arif bukan sedang mencari kebenaran alat bukti, tapi sedang mencari pembenaran alat bukti. Itulah ciri umum bangsa kadrun. Mencari pembenar bukan mencari kebenaran. ***
Muhammad Babul Ulum, doktor bidang hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta