Berulang saya katakan. Baik sarjana revisionis barat yang merevisi maupun sarjana tradisional Islam yang direvisi keduanya sama-sama politis-ideologis yang syarat dengan kepentingan penguasa. Sama-sama tidak mampu mengungkap apa yang sebenarnya terjadi pada sejarah Islam awal. Kalau sarjana Islam, jelas keberpihakannya pada sejarah penguasa atau sejarah mainstream. Dalam buku al-Muawiyyat, saya jelaskan secara detail disertai bukti-bukti tentang keberpihakan (penulis) sejarah pada penguasa, dan peran penguasa dalam menciptakan mitos sejarah.
Dalam sejarah umat manusia penguasa selalu berasal dari kelas elit, kelas borjuis, bukan kelas proletar. Tidak terkecuali sejarah Islam. Maka dari itu sejarah Islam adalah sejarah elitis kaum borjuis. Ahli sejarah yang ingin eksis mau tidak mau harus mengikuti kehendak penguasa. Dan itulah sejarah Islam yang sampai kepada kita. Oleh Karenanya, banyak materi sejarah yang kontradiktif antara satu dengan yang lain dan sulit didamaikan yang karena itu menjadi obyek kritik sarjana revisionis barat terhadap sumber utama sejarah tradisional Islam, hal itu terjadi karena perubahan setting sosial-politik dan afiliasi ideologis para penulisnya. Pada bagiannya nanti akan saya tunjukkan bukti yang mendukung kesimpulan ini.
Para penguasa datang silih berganti. Seperti penguasa Umayyah yang diganti oleh penguasa Abbasiyah. Tapi para penulis sejarah atau tepatnya editor sejarah tetap pada khithahnya; menulis dan mengedit sejarah atas pesanan penguasa. Karena watak dasar sejarah Islam yang elitis inilah maka kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sejarah Islam awal yang menjadi sumber kritik sarjana Islam revisionis Barat. Poin ini seharusnya menjadi perhatian serius kaum revisionis saat mengkritisi sumber sejarah Islam yang acak-adul, semrawut, tidak karuan babar blas.
Namun sayang poin yang sebenarnya krusial untuk membereskan kesemrawutan sumber tradisional itu mereka abaikan. Jika sejarah Islam yang mereka kritik bersifat elitis, maka tuntutan metodologis mengharuskan Islam ilmiah mencari sejarah non elitis. Dengan kata lain bila sejarah Islam adalah sejarah penguasa maka harus dicari sejarah oposisi. Bila sejarah Islam adalah sejarah kaum borjuis, maka harus dicari sejarah kaum proletar sebagai pembanding.
Kesimpulannya, sejarah Islam adalah sejarah politik. Sejarah politik adalah sejarah penguasa. Dan penguasa adalah makhluk tuhan yang paling suka mengubah sejarah yang bahkan tuhan yang maha kuasa pun tak mampu melakukannya; merubah sejarah. Maka untuk mencari tau what really happened harus dicari pada sejarah sosial sebagai anti-tesa dari sejarah politik. Sayang, sarjana revisionis tidak mampu menemukannya malah merujuk pada sumber kristiani atau Yahudi sebagai pembanding bagi sumber tradisional yang acak-adul.
Alih-alih menemukan, mereka malah menjauh dari apa yang mereka cari. Jauh panggang dari api. Dan Islam ilmiah mampu menemukan apa yang gagal mereka temukan. Oleh karena itu sekali lagi Islam ilmiah kita sebut sebagai post-revisionis. Itu, kan, sarjana Islam. Lha kalau sarjana revisionis, mana bukti ideologisnya?
Bagi yang pernah membaca buku Orientalis karya Edward Said, filosuf Amerika kelahiran Palestina, akan dapat memahami tesis di atas dengan baik. Dalam bukunya tersebut, Said menunjukkan kepada kita hegemoni Barat terhadap dunia Islam yang tidak hanya di bidang politik, bidang ilmu pengetahuan pun hegemoni Barat tampak nyata. Knowledge is power, and studying an object is an act of establishing control over it. Itu misi akademisi Barat, baik akademisi rumpun ilmu sosial maupun eksak.
Saya akan berikan contoh di mana kita nanti dapat menyimpulkan bahwa studi Islam dunia barat tidak netral. Tidak ada yang netral di dunia ini. Sama seperti yang lainnya dunia akademik barat cenderung pada ideologi tertentu, yaitu ideologi imperialisme, kapitalisme, liberalisme, borjuisme.
Satu di antara ciri imperialis modern adalah memandang dunia ketiga sebagai masyarakat yang bodoh dan terbelakang. Karena itu kemudian mereka paksakan berbagai istilah yang mereka anggap dapat melepaskan dunia ketiga dari kebodohan dan keterbelakangan. Bila kita jeli mengamati pelbagai idiom yang mendominasi ranah akademik. Seperti idiom Islam dan modernitas, Islam dan demokrasi, Islam dan HAM dll. Tidak lain upaya barat menebar hegemoninya pada dunia Islam. Mereka paksa kita untuk menerima demokrasi liberal kaum borjuis yang belum tentu cocok dengan kita. Islam ilmiah tidak anti demokrasi dalam makna yang sesungguhnya. Tapi anti terhadap politik barat yang ambigu dalam penerapan prinsip demokrasi yang sejati.
Demokrasi bagi Barat berlaku kalau tak menganggu kepentingannya. Tapi kalau mengganggu, omong kosong semua jargon itu. Lihatlah sikap mereka terhadap Yaman yang dijajah Saudi. Sikap mereka terhadap Palestina. Omong kosong semua itu. Mana suara pengusung HAM Barat-Timur terhadap tragedi kemanusiaan Yaman dan Palestina. Cukup tunjukan sisi kemanusiaan kita bukan afiliasi agama-politik untuk berempati terhadap tragedi kemanusiaan di Yaman dan Palestina. Bullshit semua jargon demokrasi, HAM, dan berbagai idiom sejenis, tidak lebih dari jajajan Barat yang dipasarkan untuk memperkuat hegemoni mereka di dunia ketiga.
Arogansi seperti itu juga mereka terapkan pada ranah akademik. Karena itu Islam ilmiah hadir untuk membebaskan dunia akademik dari cengkeraman hegemoni Barat (imperialis-sekuler) dan timur (imperialis-Islamis) dengan menciptakan genre baru studi Islam yang la syarqiyyah (borjuis-klasik) wa la gharbiyyah (borjuis-modern). Dunia akademik yang membebaskan dan mencerahkan. Tidak dibelenggu dengan dogma Islam-penguasa dan tidak disetir oleh psuedo-ilmiah barat yang sekuler. Itulah visi Islam ilmiah alias post-revisionis made in asli Ciputat. Karena itu, saya beri judul post-revisionis madzhab Ciputat. ***
Muhammad Babul Ulum, Doktor bidang Hadis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta