03/11/22

Al-Husein dan Peristiwa Karbala

 Menurut Al-Quran bahwa tugas para Nabi bukan hanya mengajarkan ibadat dan doa. Misi mereka adalah “Melepaskan mereka dari beban penderitaan mereka dan belenggu-belenggu yang memasung kebebasan mereka” (QS. Al-A’raf: 157). Pada tahun pertama dakwahnya, Rasulullah Saw lebih banyak menyampaikan kritik sosial ketimbang mengajarkan ibadat. Ia mengecam para tiran yang menyebabkan kesengsaraan rakyat, orang kaya yang mengabaikan derita orang miskin, dan orang besar yang merampas hak-hak orang kecil.

Oleh karena itu, dakwahnya berhadapan dengan para tiran di zamannya; khususnya kaum aristrokrat Qurays—Bani Umayyah. Muhammad saw sebagai tokoh revolusioner berhadapan dengan Abu Sofyan, tokoh reaksioner. Dalam perjuangannya, ia dan keluarganya diboikot secara ekonomis, pengikutnya dikejar-kejar dan dianiaya, dan ia sendiri akhirnya diusir dari tanah kelahirannya. Di tempat hijrahnya, ia tidak henti-hentinya diperangi. Melalui perlawanan yang tegar, setelah memenangkan lebih dari 80 peperangan, ia akhirnya berhasil meruntuhkan kepongahan para tiran.

Setelah penaklukan Mekkah, ketika ia pulang dari haji Wada’, pada tanggal 18 Dzulhijjah, ia mengumumkan pengangkatan penerus perjuangannya: Ali bin Abi Thalib. “Siapa saja yang menerima aku sebagai maula (pemimpin) hendaknya juga menerima Ali sebagai maula-nya”, katanya di tengah-tengah ribuan sahabatnya. Tetapi setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, secara perlahan tetapi pasti Bani Umayyah merebut kekuasaan kembali. Pada jaman Umar, Mu’awiyyah bin Abu Sofyan menjadi gubernur Mesir. Pada jaman Utsman, yang juga anggota dari keluarga besar Bani Umayyah, mereka hampir menguasai seluruh wilayah kaum Muslimin.

Ketika Ali ditunjuk sebagai khalifah setelah terbunuhnya Utsman, ia berusaha untuk menegakkan kembali keadilan Islam. Ia mendapat perlawanan yang tidak ada henti-hentinya dari para penguasa Bani Umayyah. Para pengikutnya mengkhianatinya. Seorang demi seorang dari sahabatnya yang setia dipanggil Tuhan. Sementara itu, para tiran menggunakan kekayaan dan kekerasan untuk menguasai rakyat banyak. Pada tanggal 17 Ramadhan, 40 H./661 M., di dalam relung mihrabnya, Ali dibunuh ketika shalat Shubuh.

Al-Hasan bin Ali, anak lelaki pertama Ali bin Abi Thalib, diangkat menjadi khalifah. Ia melihat ketakutan dan kezaliman telah menyelimuti kota Madinah, Kufah, Basrah, dan kota-kota besar dunia Islam. Kaum Muslimin yang saleh tidak henti-hentinya mendapat penganiayaan. Mu’awiyyah juga terus menerus memfitnah keluarga Nabi Saw dan menyebarkan keresahan. Setelah berunding dengan Al-Husein, ia memutuskan untuk menghentikan semua derita umat ini melalui perjanjian damai dengan Muawiyyah. Di antara isi perjanjian itu adalah (1) Rakyat Syria, Iraq, Hijaz, Yaman dan kota-kota lainnya tidak boleh dianiaya; (2) Para pengikut dan sahabat Ali serta perempuan dan anak-anak mereka harus dilindungi dari marabahaya; (3) Muawiyyah harus segera menghentikan kecaman dan laknat kepada Ahlul Bait (kutukan kepada Ali saat khutbah Jumat) dan Muawiyyah tidak boleh menunjuk pengganti sesudahnya.

Segera setelah perjanjian damai itu, Muawiyyah masuk ke Kufah. Ia berkata, “Hai, penduduk Kufah. Adakah kamu mengira aku memerangi kalian agar shalat, zakat, dan haji. Aku tahu kalian sudah melakukan shalat, zakat, dan haji. Kuperangi kalian untuk menguasai kalian. Untuk itu, aku akan tumpahkan darah; dan seluruh perjanjian yang telah aku buat akan aku letakkan di bawah injakan kakiku.” Ia melanggar perjanjiann itu, pertama dengan membunuh Al-Hasan bin Ali dengan racun. Hasan syahid pada tahun 50 H./670 M. Kedua, ia meneruskan pembantaian dan penganiayaan terhadap para pengikut Ali. Ketiga, ia dan para pejabatnya menggunakan harta umat (baitul mal) untuk kepentingan pribadi dan terakhir, ia mengangkat Yazid sebagai putra Mahkota dan memerintahkan dengan paksa agar rakyat menerimanya.

“Yazid adalah manusia yang selalu berbuat dosa dan maksiat, peminum khamar, pembunuh orang yang tidak bersalah. Ia lakukan kefasikan dan kemaksiatannya secara terbuka. Orang sepertiku tidak mungkin berbaiat kepada orang seperti Yazid,” kata Al-Husein bin Ali. Cucu Rasulullah saw itu akhirnya memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Yazid. Orang yang menghabiskan malam dalam beribadat kepada Tuhan, dan siang dalam berkhidmat kepada insan, sekarang berhadapan dengan orang yang menghabiskan malam untuk bermaksiat kepada Yang Mahakuasa dan siang untuk berkhianat kepada manusia. Al-Husein beserta keluarga meninggalkan Madinah menuju Makkah. Begitu sampai di Makkah, ia menerima 12.000 surat dari Kufah. Mereka mengundang Al-Husein untuk datang ke Kufah dan membaiatnya sebagai khalifah. Al-Husein mengirim Muslim bin Aqil untuk berkoordinasi dengan penduduk Kufah.

Dari Makkah, dengan meninggalkan wuquf di Arafah, Al-Husein beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya berangkat menuju Kufah. Kawan-kawannya mendesak Husein untuk membatalkan kepergiannya, tetapi Husein berkata, “Aku berangkat bukan karena ambisi, pamer, untuk berbuat dzalim atau untuk menimbulkan kerusakan. Aku berangkat untuk mendatangkan kemashlahatan pada umat kakekku. Aku ingin memerintahkan makruf dan melarang munkar.” Maka berangkatlah kafilah Husein, dalam terik matahari musim panas yang membakar, untuk menempuh perjalanan sejauh 1800 km.

Ketika kafilah Husein sampai di dekat Kufah, ia menerima berita yang sangat mengejutkan. Muslim bin Aqil dan dua orang pendukungnya di Kufah sudah dibunuh oleh Ibnu Ziyad, gubernur Kufah. Husein mengumpulkan pengikutnya dan menceritakan berita itu. Karena ketakutan, sebagian pengikutnya meninggalkan Husein. Husein melanjutkan perjalanan sampai ia berhadapan dengan 1000 penunggang kuda yang dipimpin oleh Al-Hurr. Ia didesak ke sebuah tempat yang kemudian disadari oleh Husein sebagai Karbala, pada tanggal 2 Muharram 61 H.

Ibnu Ziyad mengirim pasukan tambahan di bawah pimpinan Umar bin Saad. Pada tanggal 9 Muharram, pasukan Umar mengepung kemah-kemah rombongan Husein. Ia meminta Umar untuk menangguhkan serangan sampai keesokan harinya. Bersama para pengikutnya yang setia, Husein menghabiskan malam dalam ibadat. Husein berkata, “Musuh hanya menghendaki nyawaku. Dengan senang aku akan izinkan kalian untuk pulang.” Pengikutnya berkata, “Demi Allah, tidak mungkin dan tidak pernah terjadi. Kami hidup bersama anda atau mati bersama Anda.”

Pada tanggal 10 Muharram atau Asyura, berhadapanlah 72 pecinta Tuhan dengan 5000 pasukan musuh di bawah pimpinan Umar bin Saad, segelintir penegak keadilan dengan ribuan pendukung kezaliman. Sudah beberapa hari kelompok keluarga Rasulullah saw kehausan karena jalan ke sungai Eufrat (Furat) ditutup musuh. Beberapa saat sebelum terjadi pertempuran, Al-Hurr menyesali perbuatannya dan bergabung dengan Husein.

Menjelang sore hari, sudah 70 orang pengikut Al-Husein syahid, setelah perjuangan yang sangat keras di tengah sengatan matahari dan kehausan. Musuh bertindak sangat kejam, dengan secara membuta membunuh siapa saja, termasuk Ali Asghar, bayi berusia 6 bulan, yang bersimbah darah di tangan Husein. Mereka juga membakar kemah-kemah para perempuan dan anak-anak. Pembantaian keluarga Nabi ini berakhir, ketika ribuan tentara mengeroyok seorang Husein. 

Syimr melepaskan kepala Husein dan ribuan kuda mencabik-cabik dan menginjak-injak jenazahnya. Kepalanya bersama kepala-kepala para syuhada lainnya ditancapkan pada ujung tombak dan diarak sepanjang 965 km. Di samping dan  belakang mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak diseret dalam belenggu. Sebuah prosesi yang paling mengharukan dalam sejarah umat manusia. Sebuah prosesi yang melambangkan perlawanan tanpa henti terhadap kepongahan para tiran! Bagi setiap Mukmin, setiap hari adalah Asyura, dan setiap bumi adalah Karbala! Kullu yaumin ‘Asyura wa kullu ardhin Karbala!