Menurut Al-Quran bahwa tugas para Nabi bukan hanya mengajarkan ibadat dan doa. Misi mereka adalah “Melepaskan mereka dari beban penderitaan mereka dan belenggu-belenggu yang memasung kebebasan mereka” (QS. Al-A’raf: 157). Pada tahun pertama dakwahnya, Rasulullah Saw lebih banyak menyampaikan kritik sosial ketimbang mengajarkan ibadat. Ia mengecam para tiran yang menyebabkan kesengsaraan rakyat, orang kaya yang mengabaikan derita orang miskin, dan orang besar yang merampas hak-hak orang kecil.
Oleh karena itu, dakwahnya
berhadapan dengan para tiran di zamannya; khususnya kaum aristrokrat
Qurays—Bani Umayyah. Muhammad saw sebagai tokoh revolusioner berhadapan dengan Abu
Sofyan, tokoh reaksioner. Dalam perjuangannya, ia dan keluarganya diboikot
secara ekonomis, pengikutnya dikejar-kejar dan dianiaya, dan ia sendiri
akhirnya diusir dari tanah kelahirannya. Di tempat hijrahnya, ia tidak
henti-hentinya diperangi. Melalui perlawanan yang tegar, setelah memenangkan
lebih dari 80 peperangan, ia akhirnya berhasil meruntuhkan kepongahan para
tiran.
Setelah penaklukan Mekkah, ketika
ia pulang dari haji Wada’, pada tanggal 18 Dzulhijjah, ia mengumumkan
pengangkatan penerus perjuangannya: Ali bin Abi Thalib. “Siapa saja yang
menerima aku sebagai maula (pemimpin) hendaknya juga menerima Ali
sebagai maula-nya”, katanya di tengah-tengah ribuan sahabatnya. Tetapi setelah
Rasulullah Saw meninggal dunia, secara perlahan tetapi pasti Bani Umayyah
merebut kekuasaan kembali. Pada jaman Umar, Mu’awiyyah bin Abu Sofyan menjadi
gubernur Mesir. Pada jaman Utsman, yang juga anggota dari keluarga besar Bani
Umayyah, mereka hampir menguasai seluruh wilayah kaum Muslimin.
Ketika Ali ditunjuk sebagai
khalifah setelah terbunuhnya Utsman, ia berusaha untuk menegakkan kembali
keadilan Islam. Ia mendapat perlawanan yang tidak ada henti-hentinya dari para
penguasa Bani Umayyah. Para pengikutnya mengkhianatinya. Seorang demi seorang
dari sahabatnya yang setia dipanggil Tuhan. Sementara itu, para tiran
menggunakan kekayaan dan kekerasan untuk menguasai rakyat banyak. Pada tanggal
17 Ramadhan, 40 H./661 M., di dalam relung mihrabnya, Ali
dibunuh ketika shalat Shubuh.
Al-Hasan bin Ali, anak lelaki
pertama Ali bin Abi Thalib, diangkat menjadi khalifah. Ia melihat ketakutan dan
kezaliman telah menyelimuti kota Madinah, Kufah, Basrah, dan kota-kota besar
dunia Islam. Kaum Muslimin yang saleh tidak henti-hentinya mendapat
penganiayaan. Mu’awiyyah juga terus menerus memfitnah keluarga Nabi Saw dan
menyebarkan keresahan. Setelah berunding dengan Al-Husein, ia memutuskan untuk
menghentikan semua derita umat ini melalui perjanjian damai dengan Muawiyyah.
Di antara isi perjanjian itu adalah (1) Rakyat Syria, Iraq, Hijaz, Yaman dan
kota-kota lainnya tidak boleh dianiaya; (2) Para pengikut dan sahabat Ali serta
perempuan dan anak-anak mereka harus dilindungi dari marabahaya; (3) Muawiyyah
harus segera menghentikan kecaman dan laknat kepada Ahlul Bait (kutukan kepada
Ali saat khutbah Jumat) dan Muawiyyah tidak boleh menunjuk pengganti
sesudahnya.
Segera setelah perjanjian damai
itu, Muawiyyah masuk ke Kufah. Ia berkata, “Hai, penduduk Kufah. Adakah
kamu mengira aku memerangi kalian agar shalat, zakat, dan haji. Aku tahu kalian
sudah melakukan shalat, zakat, dan haji. Kuperangi kalian untuk menguasai
kalian. Untuk itu, aku akan tumpahkan darah; dan seluruh perjanjian yang telah
aku buat akan aku letakkan di bawah injakan kakiku.” Ia melanggar perjanjiann
itu, pertama
dengan membunuh Al-Hasan bin Ali dengan racun. Hasan syahid pada
tahun 50 H./670 M. Kedua, ia meneruskan
pembantaian dan penganiayaan terhadap para pengikut Ali. Ketiga, ia dan
para pejabatnya menggunakan harta umat (baitul mal) untuk kepentingan pribadi dan
terakhir, ia mengangkat Yazid sebagai putra Mahkota dan memerintahkan dengan
paksa agar rakyat menerimanya.
“Yazid adalah manusia yang selalu
berbuat dosa dan maksiat, peminum khamar, pembunuh orang yang tidak bersalah. Ia
lakukan kefasikan dan kemaksiatannya secara terbuka. Orang sepertiku tidak
mungkin berbaiat kepada orang seperti Yazid,” kata Al-Husein bin Ali. Cucu Rasulullah saw itu akhirnya memutuskan untuk
melakukan perlawanan terhadap Yazid. Orang yang menghabiskan malam dalam
beribadat kepada Tuhan, dan siang dalam berkhidmat kepada insan, sekarang
berhadapan dengan orang yang menghabiskan malam untuk bermaksiat kepada Yang
Mahakuasa dan siang untuk berkhianat kepada manusia. Al-Husein beserta keluarga
meninggalkan Madinah menuju Makkah. Begitu sampai di Makkah, ia menerima 12.000 surat dari Kufah. Mereka
mengundang Al-Husein untuk datang ke Kufah dan membaiatnya sebagai khalifah. Al-Husein mengirim Muslim bin Aqil untuk berkoordinasi dengan penduduk Kufah.
Dari Makkah, dengan meninggalkan
wuquf di Arafah, Al-Husein beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya berangkat
menuju Kufah. Kawan-kawannya mendesak Husein untuk membatalkan kepergiannya,
tetapi Husein berkata, “Aku berangkat bukan karena ambisi, pamer, untuk
berbuat dzalim atau untuk menimbulkan kerusakan. Aku berangkat untuk
mendatangkan kemashlahatan pada umat kakekku. Aku ingin memerintahkan makruf
dan melarang munkar.” Maka berangkatlah kafilah Husein, dalam terik
matahari musim panas yang membakar, untuk menempuh perjalanan sejauh 1800 km.
Ketika kafilah Husein sampai di
dekat Kufah, ia menerima berita yang sangat mengejutkan. Muslim bin Aqil dan
dua orang pendukungnya di Kufah sudah dibunuh oleh Ibnu Ziyad, gubernur Kufah.
Husein mengumpulkan pengikutnya dan menceritakan berita itu. Karena ketakutan,
sebagian pengikutnya meninggalkan Husein. Husein melanjutkan perjalanan sampai
ia berhadapan dengan 1000 penunggang kuda yang dipimpin oleh Al-Hurr. Ia
didesak ke sebuah tempat yang kemudian disadari oleh Husein sebagai Karbala, pada
tanggal 2 Muharram 61 H.
Ibnu Ziyad mengirim pasukan
tambahan di bawah pimpinan Umar bin Saad. Pada tanggal 9 Muharram, pasukan Umar
mengepung kemah-kemah rombongan Husein. Ia meminta
Umar untuk menangguhkan serangan sampai keesokan harinya. Bersama para
pengikutnya yang setia, Husein menghabiskan malam
dalam ibadat. Husein berkata, “Musuh hanya
menghendaki nyawaku. Dengan senang aku akan izinkan kalian untuk
pulang.” Pengikutnya berkata, “Demi Allah, tidak mungkin dan
tidak pernah terjadi. Kami hidup bersama anda atau mati bersama Anda.”
Pada tanggal 10 Muharram atau
Asyura, berhadapanlah 72 pecinta Tuhan dengan 5000 pasukan
musuh di bawah pimpinan Umar bin Saad, segelintir penegak keadilan dengan ribuan pendukung
kezaliman. Sudah beberapa hari kelompok keluarga Rasulullah saw kehausan karena jalan ke sungai
Eufrat (Furat) ditutup musuh. Beberapa saat sebelum terjadi pertempuran, Al-Hurr menyesali perbuatannya
dan bergabung dengan Husein.
Menjelang sore hari, sudah 70 orang pengikut Al-Husein syahid, setelah perjuangan yang sangat keras di tengah sengatan matahari dan kehausan. Musuh bertindak sangat kejam, dengan secara membuta membunuh siapa saja, termasuk Ali Asghar, bayi berusia 6 bulan, yang bersimbah darah di tangan Husein. Mereka juga membakar kemah-kemah para perempuan dan anak-anak. Pembantaian keluarga Nabi ini berakhir, ketika ribuan tentara mengeroyok seorang Husein.
Syimr melepaskan kepala Husein dan
ribuan kuda mencabik-cabik dan menginjak-injak jenazahnya. Kepalanya bersama kepala-kepala para
syuhada lainnya ditancapkan pada ujung tombak dan diarak sepanjang 965 km. Di samping dan belakang mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak
diseret dalam belenggu. Sebuah prosesi yang paling mengharukan dalam sejarah
umat manusia. Sebuah prosesi yang
melambangkan perlawanan tanpa henti terhadap kepongahan para tiran! Bagi setiap
Mukmin, setiap hari adalah Asyura, dan setiap bumi adalah Karbala! Kullu
yaumin ‘Asyura wa kullu ardhin Karbala!