Allah SWT berfirman: "Sekiranya engkau khawatir maka jatuhkanlah ke dalam sungai" (QS 28:7). Yaitu ketika ibu Nabi Musa as meletakkan Nabi Musa as yang masih bayi ke sungai sebagai kepercayaan yang penuh kepada Allah SWT kalaulah bukan karena Allah SWT menurunkan rasa kepercayaan penuh di hati sang ibu tidak mungkin dia akan melakukan hal tersebut. Kepercayaan adalah inti tawakal, yang meliputi penyerahan, dan sumber ketundukkan.
Manzilah Pertama adalah Tingkatan Putus
asa, yaitu putus asanya hamba bersandar pada kekuatan dalam melaksanakan
ketetapan, dan melepaskan dari kontradiksi bagian serta menghilangkan rasa malu
dalam melangkah. Kepercayaan bermakna tak ada keraguan pada ketetapan Allah
karena tidak mungkin terjadi sesuatu yang bertentangan dengan keputusan dan
ketetapan Allah.
Imam Ali as. berkata:
"Ketahuilah Ilmu Yaqin tidaklah Allah menjadikan bagi seorang hamba
sesuatu yang tinggi nilainya kecuali kuat juga keinginan atasnya dan berat juga
usahanya", seorang Arif adalah orang yang paling keras usahanya dan paling
berat ujiannya. Putusan asa atas daya dan kekuatan dalam menjalankan ketetapan
yang Alalh tetapkan dan di antara tanda akan hal tersebut bahwa Salik tidak
mencari ketetapan lain kecuali hanya apa yang telah Allah tetapkan untuk
dirinya. Bahwa ketetapan yang telah Allah tetapkan untuk dirinya tidak ada yang
mampu menolaknya.
"Tidaklah apa yang
menimpa dari musibah di muka bumi dan tidak pula pada dirimu kecuali telah
ditetapkan pada kitab sebelum itu dan telah dipaparkan sesungguhnya yang
demikian bagi Allah adalah mudah. Sehingga tidak menyusahkan atas apa yang
hilang dari sisimu dan tidaklah menggembirakan atas apa yang kamu dapat"
(QS 57:22-23).
Melepaskan diri dari
kontradiksi bagian yaitu berusaha dengan semangat yang berlebihan untuk
mendapatkan bagian yang lebih dari yang sudah ditetapkan sehingga menimbulkan
keadaan yang kontradiktif pada diri salik. Menghilangkan atau terlepas dari
rasa malu dalam melangkah yaitu menerima bahwa itulah ketetapan yang telah
ditetapkan untuk dirinya dan padanya tidak ada kekuatan yang dapat merubah
semua ketetapan itu kecuali hanya Allah karena itu tak ada lagi rasa malu
baginya dalam memohon kepada Allah agar memberikan ketetapan-ketetapan yang
baik baginya karena dirinya sendiri sudah tidak memiliki daya apa pun.
Manzilah Kedua adalah Tingkatan
Aman, yaitu amannya seorang hamba dari kehilangan apa yang telah ditetapkan dan
kekurangannya pada apa yang tertulis, sehingga dipenuhi dengan ruh ridho dan
sekiranya tidak maka dengan Aynul Yaqin dan kalau tidak maka dihiasi kesabaran.
Ini tingkatan yang
terjadi setelah putus asa terhadap daya dalam mewujudkan ketetapan timbullah
rasa aman atas apa yang telah di tetapkan dan apa yang telah dituliskan pada
Lauh al-Mahfudz. Ketika telah sampai pada derajat ini timbullah pandangan ridho
sehingga tenang selamanya. Atau dengan Aynul Yakin yang melihat segala
ketetapan berkesuaian dengan kemampuan yang ada sehingga tidak akan tergores
ketidakpuasan dan kritik atas ketetapan yang terjadi.
Sekiranya belum sampai
pada tingkat di atas maka Allah dengan kelembutan-Nya menaruh pada hatinya rasa
sabar dan memberikan kemuliaan padanya dengan kesabaran tersebut dan
mendudukkannya pada posisi mulia sebagai bagian orang-orang yang sabar seperti
yang Allah sebutkan dalam 96 tempat di dalam al-Qur'an.
Manzilah Ketiga adalah Menetapkan
yang Azali hingga terlepas dari keburukan tujuan dan kewajiban menahan diri dan
dorongan untuk berada pada jalan perantara. Yang dimaksud menetapkan yang Azali
menyaksikan Tajalli al-Haqq sejak Azali dalam forma realitas dan keadaanya
(Ahwal) sehingga terlepas dari dorongan untuk menuntut hal yang berbeda dan
bertentangan. Apa yang tidak ditetapkan tidak mungkin diwujudkan. Upaya menahan
diri dari segala keburukan, bala' dan bencana tidak mungkin terwujud karena
sudah merupakan ketetapan. Upaya dirinya berada mencari jalan perantara atau
sebab dalam melepaskan diri atau pertolongan tidaklah terjadi kecuali setelah
ketetapan Azali.
Sebagaimana Nabi Saw
berkata kepada Ibn Abbas: "Wahai Putraku ketahuilah sekiranya seluruh
ummat berkumpul untuk memberikan manfaat bagimu tidak akan mampu memberikan
manfaat bagimu sedikitpun kecuali telah ditetapkan Allah dan sekiranya ummat
berkumpul untuk mencelakakan dirimu maka tidak akan mungkin engkau celaka
sedikitpun kecuali telah ditetapkan Allah sebelumnya." ***
Dr Kholid Al Walid
adalah dosen STAI Sadra dan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta; pengasuh kajian Belajar Tasawuf di Misykat TV