Shalat Jumat dimuat dalam al-Quran surah Jumuah ayat 9, “Hai orang yang beriman, idza nuudiya lis shalaati min yawmil jumu'ah... (apabila dipanggil shalat pada hari Jumat...).” Dalam mazhab Syiah Imamiyah bahwa yang berhah memanggil shalat bukan (hanya) seruan azan (muazin), tetapi Amirul Mukminin pada zamannya.
Saat zaman Rasulullah saw, beliau yang menjadi nadi (penyeru) orang-orang untuk menghadiri shalat Jumat. Di masa Khulafa dan Imam Ali maka mereka yang menjadi penyeru. Namun dalam Fiqih Jafari (Syiah Imamiyah atau Ahlulbait) yang dimaksud dengan 'sang penyeru' adalah Rasulullah saw dan para Imam yang dipilihnya karena syaratnya Imam shalat khusus ini harus 'adalat' (adil) karena salat Jumat ini bukan shalat biasa. Ini adalah pertemuan agung mingguan antara Ulil Amri (Rasul dan para Imam) dengan seluruh kaum Muslimin.
Di masa Imam ada,
shalat Jumat hukumnya wajib ‘aini. Namun dengan ghaib Imam Al-Mahdi maka shalat Jumat menjadi wajib ikhtiari (optional): shalat Jumat atau shalat Zuhur. Hanya saja ada
beberapa orang yang ingin ikhtiyat (ekstra hati-hati) sehingga mereka melakukan
shalat Zuhur lagi setelah menunaikan ibadah shalat Jumat dengan alasan Imam
Mahdi as belum hadir.
Di Iran sendiri Imam
Khomeini menganjurkan orang-orang Islam (pengikut Syiah Imamiyah) agar
menunaikan shalat Jumat yang acaranya dipusatkan pada setiap kota sehingga
menjadi pertemuan agung. Khotib yang memberi khutbah
pun berasal dari kalangan ulama yang telah ditetapkan dengan menyampaikan pesan
pemerintah dan ajaran agama Islam.
Sebagai tambahan informasi, terkait dengan shalat Jumat ini ada beberapa
fatwa dari ulama Syiah Imamiyah, yaitu:
Muhaqqiq
Karaki berpandangan bahwa sejak masa para Imam Ahulbait hingga kini shalat Jumat itu tidak
wajib secara aini’ melainkan wajib ikhtiari (Ali bin Husain Karaki ‘Amili, Rasâil
Muhaqqiq Karâki, jilid 1, halaman 147 dan 148; Kitab Khaneh Ayatullah Mar’asyi wa
Daftar Nasyr Islami, Qum, 1409).
Wahid
Bahbahani menyatakan:
“Dari
apa yang kami sebutkan menjadi jelas bahwa pandangan yang menandaskan bahwa
kewajiban shalat Jumat itu kewajiban ikhtiari. Adapun orang yang mengerjakan
shalat Jumat maka hal itu lebih utama. Hal ini merupakan pendapat yang lebih
kuat (aqwa)” (Mashâbih
al-Zhulâm, jilid 1, halaman 403).
Sayid
Kazhim Yazdi, penulis kitab Urwat al-Wutsqa berkata: “(Kewajiban) Shalat
Jumat pada masa ghaibah Imam Zaman adalah kewajiban opsional berdasarkan pendapat
yang lebih kuat” (Sayid
Muhammad Kazhim Yazdi Thabathabai, Soâl wa Jawâb; Lisayyid al-Yazdi, halaman
79, Markaz al-Nasyr al-‘Ulum al-Islami, Teheran, 1415).
Ayatullah
Khui menegaskan: “berdasarkan kabar dan riwayat (menyatakan bahwa) kewajiban
shalat Jumat adalah kewajiban opsional” (Abul Qasim
Khui, al-Tanqih fii Syarh al-‘Urwat al-Wutsqâ, jillid 6, halaman 40 dan 57,
tanpa tahun dan tempat).
Ayatullah
Bahjat berkata: “Pada hari Jumat manusia (kaum Muslim) dapat mengerjakan shalat Jumat
sesuai dengan yang lebih kuat sebagai ganti shalat zuhur. Dan pada masa
ghaibah kewajiban shalat Jumat adalah kewajiban opsional; artinya ketika ia
mengerjakan shalat Jumat maka ia tidak perlu lagi melaksanakan shalat zuhur” (Taudhi al-Masâil, al-Mahsyâh lil Imâm
Khomeini, jilid 1, halaman 406).
Ayatullah Ali Khemenei berkata: “Shalat Jumat pada masa ghaibah adalah kewajiban opsional” (Sayid Ali Khamenei, Ajwibâ al-Istifta’ât,
Soal 606 dan 611, disadur dari software Porseman).
Ayatullah
Ali Sistani berkata: “Kewajiban shalat Jumat
adalah kewajiban opsional” (Taudhi
al-Masâil, al-Mahsyâh
lil Imâm Khomeini, jilid 1, halaman 405).
Ayatullah
Fadhil Langkarani dan Ayatullah Nasir Makarim Syirazi menyatakan: “(Kewajiban) Shalat Jumat
pada masa ghaibah kubra adalah kewajiban opsional. Ia dapat memilih antara
mengerjakan shalat zuhur atau Jumat” (Taudhi
al-Masâil, al-Mahsyâh
lil Imâm Khomeini, jilid 1, halaman 406). ***
[Tulisan dirangkum oleh AHMAD SAHIDIN dari buku, himpunan fatwa, dan artikel yang tersebar di internet]