19/11/22

Shalat Jumat dalam Fiqih Syiah Imamiyah

Shalat Jumat dimuat dalam al-Quran surah Jumuah ayat 9, Hai orang yang beriman, idza nuudiya lis shalaati min yawmil jumu'ah... (apabila dipanggil shalat pada hari Jumat...).” Dalam mazhab Syiah Imamiyah bahwa yang berhah memanggil shalat bukan (hanya) seruan azan (muazin), tetapi Amirul Mukminin pada zamannya.

Saat zaman Rasulullah saw, beliau yang menjadi nadi (penyeru) orang-orang untuk menghadiri shalat Jumat. Di masa Khulafa dan Imam Ali maka mereka yang menjadi penyeru. Namun dalam Fiqih Jafari (Syiah Imamiyah atau Ahlulbait) yang dimaksud dengan 'sang penyeru' adalah Rasulullah saw dan para Imam yang dipilihnya karena syaratnya Imam shalat khusus ini harus 'adalat' (adil) karena salat Jumat ini bukan shalat biasa. Ini adalah pertemuan agung mingguan antara Ulil Amri (Rasul dan para Imam) dengan seluruh kaum Muslimin.

Di masa Imam ada, shalat Jumat hukumnya wajibaini. Namun dengan ghaib Imam Al-Mahdi maka shalat Jumat menjadi wajib ikhtiari (optional): shalat Jumat atau shalat Zuhur. Hanya saja ada beberapa orang yang ingin ikhtiyat (ekstra hati-hati) sehingga mereka melakukan shalat Zuhur lagi setelah menunaikan ibadah shalat Jumat dengan alasan Imam Mahdi as belum hadir.

Di Iran sendiri Imam Khomeini menganjurkan orang-orang Islam (pengikut Syiah Imamiyah) agar menunaikan shalat Jumat yang acaranya dipusatkan pada setiap kota sehingga menjadi pertemuan agung. Khotib yang memberi khutbah pun berasal dari kalangan ulama yang telah ditetapkan dengan menyampaikan pesan pemerintah dan ajaran agama Islam.

Sebagai tambahan informasi, terkait dengan shalat Jumat ini ada beberapa fatwa dari ulama Syiah Imamiyah, yaitu:

Muhaqqiq Karaki berpandangan bahwa sejak masa para Imam Ahulbait hingga kini shalat Jumat itu tidak wajib secara aini melainkan wajib ikhtiari (Ali bin Husain Karaki ‘Amili, Rasâil Muhaqqiq Karâki, jilid 1, halaman 147 dan 148; Kitab Khaneh Ayatullah Mar’asyi wa Daftar Nasyr Islami, Qum, 1409).

Wahid Bahbahani menyatakan: Dari apa yang kami sebutkan menjadi jelas bahwa pandangan yang menandaskan bahwa kewajiban shalat Jumat itu kewajiban ikhtiari. Adapun orang yang mengerjakan shalat Jumat maka hal itu lebih utama. Hal ini merupakan pendapat yang lebih kuat (aqwa)” (Mashâbih al-Zhulâm, jilid 1, halaman  403).

Sayid Kazhim Yazdi, penulis kitab Urwat al-Wutsqa berkata: “(Kewajiban) Shalat Jumat pada masa ghaibah Imam Zaman adalah kewajiban opsional berdasarkan pendapat yang lebih kuat” (Sayid Muhammad Kazhim Yazdi Thabathabai, Soâl wa Jawâb; Lisayyid al-Yazdi, halaman 79, Markaz al-Nasyr al-‘Ulum al-Islami, Teheran, 1415).

Ayatullah Khui menegaskan: “berdasarkan kabar dan riwayat (menyatakan bahwa) kewajiban shalat Jumat adalah kewajiban opsional” (Abul Qasim Khui, al-Tanqih fii Syarh al-‘Urwat al-Wutsqâ, jillid 6, halaman 40 dan 57, tanpa tahun dan tempat).

Ayatullah Bahjat berkata: Pada hari Jumat manusia (kaum Muslim) dapat mengerjakan shalat Jumat sesuai dengan yang lebih kuat sebagai ganti shalat zuhur. Dan pada masa ghaibah kewajiban shalat Jumat adalah kewajiban opsional; artinya ketika ia mengerjakan shalat Jumat maka ia tidak perlu lagi melaksanakan shalat zuhur” (Taudhi al-Masâil, al-Mahsyâh lil Imâm Khomeini, jilid 1, halaman 406).

Ayatullah Ali Khemenei berkata: Shalat Jumat pada masa ghaibah adalah kewajiban opsional” (Sayid Ali Khamenei, Ajwibâ al-Istifta’ât, Soal 606 dan 611, disadur dari software Porseman).

Ayatullah Ali Sistani berkata: Kewajiban shalat Jumat adalah kewajiban opsional” (Taudhi al-Masâil, al-Mahsyâh lil Imâm Khomeini, jilid 1, halaman 405).

Ayatullah Fadhil Langkarani dan Ayatullah Nasir Makarim Syirazi menyatakan:(Kewajiban) Shalat Jumat pada masa ghaibah kubra adalah kewajiban opsional. Ia dapat memilih antara mengerjakan shalat zuhur atau Jumat” (Taudhi al-Masâil, al-Mahsyâh lil Imâm Khomeini, jilid 1, halaman 406). ***

 

[Tulisan dirangkum oleh AHMAD SAHIDIN dari buku, himpunan fatwa, dan artikel yang tersebar di internet]