Seperti saat ditarik magnet Kramat Empang untuk berziarah ke sana, yg pernah saya ceritakan sebelumnya, ziarah saya ke Syaikh Sayid Nizamuddin Awliya' dan Amir Khusro juga unik. Btw, Nizamuddin Awliya' ini adalah salah satu Syaikh awal (keempat) Tarekat Chistiyah, yang kebesarannya namanya sejajar dg Moinuddin Chisti pendirinya. Sementara Amir Khusro adalah muridnya yg paling penting. Seorang sufi dan penyair besar.
Suatu kali saya diundang Pak Iwan Pranoto, Konsul Pendidikan Indonesia utk India, untuk berbicara di Universitas (khusus) Pasca Sarjana Jawaharlal Nehru di Delhi. Universitas ini terkenal sebagai pusat profesor dan mahasiswa pemberontak, sosialis, dan cenderung ateis. Mendengar ini ibu Sayed Hyder, seorang teman asal Kashmir India yang sudah seperti adik saya, khawatir: "Apa Pak Haidar tidak akan dibully di sana dengan bicara soal Islam". Sayed Hyder menenangkan ibunya dg berkata:" In sya' Allah dia akan bisa mengatasi".
Maka terbanglah saya dan isteri ke Delhi. Disambut ramah dan penuh khidmat oleh Pak Iwan yang pintar dan baik hati, serta ditempatkan di hotel besar dan indah yang masih menyimpan petilasan India lama. Saya pun nantinya sempat bicara di depan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri gajah ini.
Sehari menjelang acara di Universitas Jawaharlal Nehru, moderator acara - seorang Profesor dari Universitas itu - ingin mengajak saya berbicara dalam rangka persiapan acara esoknya. Maka kami pun bertemu. Di sebuah rumah makan India Muslim amat terkenal, tapi berlokasi di basement sebuah toko di lingkungan pasar tradisional yang amat penuh sesak orang lalu lalang. Kami pun menyantap hidangan yang nikmat itu sambil mendiskusikan agenda besok.
Sepulangnya dari situ, menuju mobil yang (harus) di parkir di pinggir jalan beberapa ratus meter dari situ, saya melihat pemandangan yang menarik. Rupanya Pak Iwan mengambil jalan lain, atau sebelumnya saya tak terlalu memperhatikan, di sana berdesakan ribuan orang lalu lalang yang, belakangan, saya lihat keluar-masuk ke suatu area di wilayah itu. Saya tak pernah bisa diam jika melihat sesuatu yang tidak biasa. Maka saya pun bertanya kepada salah seorang dari mereka: "Ada apa di sekitar sini sehingga begitu banyak orang berdatangan dan lalu lalang?" Mungkin dengan setengah keheranan, melihat saya kebingungan, jawabannya mengejutkan saya: "Ini makam Nizamuddin Awliya'", katanya. Nizamuddin Awliya'. Lah, ini kan makam salah satu tokoh sufi terbesar yang terletak di Delhi??? Tanpa berpikir panjang, saya "gelendeng" Pak Iwan Pranoto - yang bukan Muslim - masuk ke makam. Bukannya enggan, Pak Iwan justru tertarik. Selama jadi Konjen di India tampaknya beliau belum punya kesempatan mendatangi tempat ziarah kaum Muslim di sana.
Masuklah kami berdua ke area makam. Orang berjejal seperti di Masjidil Haram. Bukan hanya Muslim, bahkan orang-orang Hindu dan Sikh juga. Di India tidaklah aneh orang-orang Hindu menghormati, bahkan memuja, para awliya' Muslim. Salah satunya Nizamuddin Awliya' ini. Juga orang Sikh. Bahkan, ketika selesai ziarah dan sudah berada di luar pagar area makam - yang begitu luas - saya diperingatkan oleh seorang peziarah Sikh karena saya meletakkan kaki saya di fondasi pagar area makam. Membuat saya malu saja.
Saya, bersama Pak Iwan masuk ke area makam dan, dalam ketidaktahuan, ikut arus orang banyak mengelilingi sebuah makam, yang belakangan saya ketahui adalah makam Amir Khusro. Nyaris seperti thawaf. Dari situ saya ke Masjid yang ada di area makam, untuk shalat sunnah. Sementara Pak Iwan menunggu. Baru setelah itu kami ke makam Nizamuddin Awliya'. Makamnya dihampari karpet besar, menutupi area makam dalam diameter sekitar 3-4 meter. Karena tertutup karpet, kami harus memasukkan kepala ke dalam karpet untuk melihat makam, sehingga posisisnya seperti bersujud. Bagi yang tidak tahu, mungkin itu dianggap menyembah. Padahal, saya duga, itu dilakukan justru untuk menjaga makam dari orang-orang jail, menjauhkannya dari para peziarah yang berlebihan dalam melakukan ritus ziarah. Dari situ kami keluar dan menikmati sajian grup Qawwali, yang selalu ada dan bermain di luar makam para awliya' di wilayah subkontinen. Mengasyikkan. O, iya, dalam perjalanan masuk dan keluar dari area makam, kami melewati lorong yang merupakan pasar tradisional mirip seperti di makam-makam Wali Songo, khususnya makam Sunan Ampel....
Esoknya saya bicara di Universitas Pasca Sarjana Jawaharlal Nehru. Lancar, aman dari kritikan, apalagi kecaman. Mereka senang dengan tema Islam Cinta yang saya bawakan. Bukan tidak mungkin ini berkah dari ziarah saya ke Nizamuddin Awliya' dan Nasir Khusro sebelumnya. Sama sekali bukan tidak mungkin.... *** (Haidar Bagir, 31012023)