05/02/23

Sepercik Cinta: Catatan perjalanan di Maluku Utara (1) | KH Dr Kholid Al Walid

"Abi, nanti dianter jam berapa ?" Teriak putri bungsuku, Najwa. Anakku ini duduk di kelas XII SMA sering kugelari pengawal, karena paling suka kalau disuruh nganter, bawa mobilnya jago apalagi kalau dapet izin "Ngebut Dek". "Jam 10an Dek, Abi masih ngisi pengajian dulu", "Emang Abi mau kemana sih, kok terbanya malem banget ?" Tanya anak sulungku Nargis, baru pulang kerja. "Abi mau ke Ternate Kak", "Ngapain sih Bi ? Seminar ya ?" "Nggak mau berenang doang" jawabku iseng. Ya   terbangnya dini hari pukul 01.00.

Istriku seperti biasa membuka kembali tasku memastikan kebutuhan perjalananku terpenuhi. Dia super terlatih dalam hal ini, ya maklum deh waktuku memang sebagian besar di perjalanan, ya seminar ya konferensi ya bawa jamaah Hajji atau Umroh, ya tugas dan ya ya yg lainnya. dan yg paling istriku tahu jangan lupa memasukkan pakaian yg paling kucinta dan bs buatku ngomel kayak ngomelin mahasiswa yg nulis skripsi gak bener, Apa tuh ? "Saruung".

Setelah mengisi pengajian melalui zoom, segera kukemas laptopku, jaket langsung kupakai menutupi baju kokoku. Hujan masih deras, Najwa sudah menyiapkan mobil.

Hujan sejak pagi membuat Jakarta sekitarnya basah, istriku setengah tertidur, walau kalau kutanya "Tidur dek ?" Pasti jawabnya "Nggaaak", ini memang sudah lewat waktu harusnya dia tidur, biasanya kalau sudah terlewat dia akan kesulitan untuk tidur.

Najwa kembali tanya "Terminal berapa Bi ?" "Terminal 2 Dek", Mobil cukup ngebut mengarah ke terminal 2B, malam larut tapi bandara soetta ramai seperti cerutu yang tak berhenti dihisap. Karena di terminal 2 istri dan anakku mengantar sampai menjelang check point menjelang masuk gate. Sudah bisa kutebak bisikkan pelan Najwa ke telingaku "Oleh-oleh ya Bi", khawatir terdengar ibunya yg sering bilang "Nggak usah Bi".

Di Gate kulirik penumpang lainnya, semua chinese, riuh rendah berbahasa mandarin cepat tanpa bisa kutangkap huruf vokalnya. 

Sebagian lainnya terkantuk-kantuk, setengah tidur. Khawatir sepertinya, menantikan panggilan. Pukul 00.50 panggilan terdengar semua berebut ingin duluan, hujan diluar masih cukup lumayan. Seatku 20 B jelas tidak mengenakkan, karena diapit 2 penumpang lainnya. Kulirik sebelah kiriku, anak muda yg sepertinya masih fresh graduate. Sebentar duduk  langsung tenggelam dalam lelap. Disebelah kananku perempuan, wajahnya Arab, mungkin berusia sekitar 30an, karena cukup sering bersama orang-orang Arab bisa kupastikan pasti Arab-Afrika, mungkin mesir atau Marokko.

Sekilas kulihat raut wajahnya gelisah, pesawat sudah take off, mulai goyangan Inull terasa. Kusapa dengan bahasa Arab ? Kaif Halik ? Kaget luar biasa, dia menatapku  mungkin tak percaya ada makhluk disini yg berbahasa Arab, padahal 90 persen penumpang dari Tiongkok. Kuulangi "Min Maghribi aw Mishr ?" Tanyaku. Baru yakin dia dan mulai tersenyum gembira "Alhamdulillah anna Tunisi" "Subhanallah, baiid"...mulailah percakapan membunuh waktu dan menghilangkan kekhawatiran dari goncangan pesawat yang tak mau berhenti walau sejenak. Berulangkali pramugari dan pilot mengingatkan "Kita terbang di cuaca yang tidak bersahabat kencangkan sabuk pengaman dan seterusnya" persis seperti di atas ombak lautan. Bagi yg sering terbang ke luar sih biasa saja, apalagi kalau melalui Bombay goyangan Sakhrukkhan pasti terasa disana. Pengalamanku jatuh pesawat atau kena badai salju memang lebih dahsyat tapi ya gimanapun di atas pesawat namanya guncangan kadang tetap membuat hati bergetar juga

Rahmah, perempuan Tunisia seorang Muhandis (Insinyur) dalam bidang minerologi, dia punya projek dengan satu perusahaan di Halmahera dan akan tinggal selama 2 bulan. Luar biasa perkasa sekali, perjalanan panjang dari Tunis seorang diri menuju ke Halmahera yang belum pernah dia jajaki.

Sekali-kali Rahmah melirik ke jendela yg gelap dan tak tampak apapun setengah gelisah, sampai dia bertanya "Apakah disini selalu seperti ini ?" "Hujan disini tinggi, apalagi dibulan ini jadi ya biasa" terlihat wajahnya berubah agak tenang. "Mengapa kamu seberani ini sendiri ?" "Saya tau disini sebagian besar muslim dan saya dapat informasi dari orang-orang yang saya tanya tentang Indonesia semua berkata orang Indonesia itu sangat baik-baik"..
Batik Air yang membawa kami kemudian landing dengan guncangan mungkin runway nya pendek sehingga pengeremannya cukup keras.

Terakhir sebelum mengucapkan "Maa Salamah" berbasa basi menanyakan apakah ada yang jemput. Rahmah menjawab "Ya dari perusahaan ada yang menjemput". Di luar bandara Sultan Babullah kulihat tulisan besar "Selamat Datang di bumi rempah Ternate" langsung pikiranku membayang "Karena ini Portugis, Inggris, Spanyol dulu datang jauh kesini"

Kucari Mushollah tapi waktu disini sudah hampir pukul 7 pagi ternyata, kulihat di Musholla ada beberapa anak muda selesai sholat, mereka jg dari Jakarta. "Wah subuh dah lewat nih ya" salah satu dari mereka bilang"Ikuti waktu Jakarta aja Pak"...waduh.

Mustari 'Alumni' Sadra belum datang menjemput, cari kopi dulu nih. Tidak lama Mustari dengan gayanya yang khasa datang menemuiku, masih seperti dulu, dengan baju kaosnya dan jeans belelnya dan tas ransel yang dulu juga datang. Menyalamiku dan sepertj dulu juga berusaha mencium tanganku. Ini yang paling gak kusuka dicium tangan oleh murid, masih merasa belum layak dihormati seperti itu.

Saya minta dicarikan penginapan sangat murah, sekedar untuk mandi dan bersih-bersih. Dapet yang 100 ribu, setelah tawar menawar sengit, segera bersih-bersih tancap gas lagi. Tujuan ke Madrasah Aliyah, M.A Al-Khairat kami masuki, salah satu tokoh al-Khairat sahabatku  DR. Habib Ali al-Jufri tapi sayangnya beliau di Palu. Sayang pimpinanya tidak ada di tempat, akhirnya kutitpkan salam dan brosus STAI Sadra lanjut ke MAN Model guru-gurunya sedang rapat dan murid-muridnya di pulangkan, ngobrol sejenak dengan T.U mereka suruh promosi 2 hari waduh gak ada waktu besok sudah harus kembali ke Jakarta.

Keberadaanku di Ternate terendus juga temen2 dosen di IAIN, aku di tunggu Warek III, DR Mubinnoho, orangnya enak, ngobrol cukup panjang dan hangat. Beberapa kesepakatan informal kami buat. Setelahnya saya ditunggu untuk ngopi bareng dosen politik Universitas Muhamadiyah Ternate, sayangnya ketika ditunggu di kedai kopi. 
Beliau ada rapat mendadak dan waktu tidak memungkinkan jadi kuputuskan untuk jalan. Perjalanan masih cukup panjang. Kami menyeberang ke Halmahera menggunakan boat. Menyeberang selama 40 menit karena ombak yang cukup besar, boat kami hanya berisi 4 orang saya, Mustari, seorang ibu dan sopir. Awal perjalanan bagus, tapi ditengah laut air sudah sama dengan pinggiran boat, ombak kadang terlihat lebih tinggi dari boat tapi karena yang lain tenang jadi tenang juga.

Dari Halmahera kami menyewa mobil. Sopir Innova Pak Yudi asli suku Tobello suku terbesar di Maluku Utara. Dia hafal betul setiap lekuk jalan. Kami menuju Galea 30 menit di atas Tobello. Saya tanya Mustari "Berapa perjalanan kita" Mustari dengan irama khas Indonesia Timur, Intonasi yang membesar dan mengecil, menjawab "Dekat saja Ustad, 5 jam saja", "Alamaaak"...

Perjalanan menelusuri jalan lintas Maluku Utara yang hanya pas 2 mobil kami lalui, hutan perawan dan pohon-pohon kopra pemandangan kiri kanan jalan. Pak Yudi memacu mobil dengan kecepatan yang 'setan'pun takut. Jalanan gelap seperti tak berujung, sekali-sekali ada kendaraan lain yang melintas kadang suara musik dari mobil lainnya terdengar seperti sedang di Discotique. Jalanan umumnya bagus tidak seperti perjalanan dengan Pak Ahmad Jubaili ke Jambi (episode berikutnya). Hanya jalanan berbukit dan tikungan tajam, licin dan miring. Pak Yudi menyebutnya tikungan Asmara saya tanya kok disebut begitu ? Dia bilang ya banyak yang lewat berujung mencium jurang..hehhe.

Jarak satu desa ke desa 5lainnya berkisar 30 menit sampai 1 jam, biasanya hanya beberapa rumah penduduk, petani kopra atau nelayan. Ditengah perjalanan sy ingat belum sholat krn sy pikir bisa sholat ditujuan. Saya minta berhenti, Mustari yang tertidur, bangun dan tanya "Kenapa berhenti Ustad ?" Saya mau sholat jawabku, Mustari memperhatikan tempat kami berhenti seperti mencari sesuatu kemudian "Ustad disini ada murid Ust. Shafwan, di rumahnya saja kita sholat." Ajaib ternyata tempat kami berhenti persis di sebelah rumah Jailani, alumni Rausyan Fikr Jogja. Subhanallah, di desa Kaow yang dikeliling hutan kopra Maluku Tengah ternyata ada pecinta Ahlul Bait as. Jailani kini menjadi petani Kopra, rambutnya rada berantakan dan badannya rada gemuk, melihat wajahnya saya ingat pernah jumpa di Jogja silam. *** (Bersambung)